Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 142

Yuk bagikan infonya...

Al-Baqarah: 142

سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُل لِّلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ

Terjemahan

“Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: “”Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?”” Katakanlah: “”Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus””.”

Tafsir (Ibnu Katsir)

Tafsir Surat Al-Baqarah: 142-143

Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata, “”Apakah yang memalingkan mereka dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?”” Katakanlah, “”Kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian.

Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”” Menurut Az-Zajjaj, yang dimaksud dengan Sufaha dalam ayat ini ialah orang-orang musyrik Arab. Menurut Mujahid adalah para rahib Yahudi. Sedangkan menurut As-Suddi, mereka adalah orang-orang munafik. Akan tetapi, makna ayat bersifat umum mencakup mereka semua. Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na’im; ia pernah mendengar Zubair menceritakan hadits berikut dari Abu Ishaq, dari Al-Barra ,bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, padahal dalam hatinya beliau lebih suka bila kiblatnya menghadap ke arah Baitullah Ka’bah.

Mula-mula shalat yang beliau lakukan (menghadap ke arah kiblat) adalah shalat Asar, dan ikut shalat bersamanya suatu kaum. Maka keluarlah seorang lelaki dari kalangan orang-orang yang shalat bersamanya, lalu lelaki itu berjumpa dengan jamaah suatu masjid yang sedang mengerjakan shalat (menghadap ke arah Baitul Maqdis), maka ia berkata, “”Aku bersaksi kepada Allah, sesungguhnya aku telah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke arah Mekah (Ka’bah).”” Maka jamaah tersebut memutarkan tubuh mereka yang sedang shalat itu ke arah Baitullah. Tersebutlah bahwa banyak lelaki yang meninggal dunia selama shalat menghadap ke arah kiblat pertama sebelum dipindahkan ke arah Baitullah.

Kami tidak mengetahui apa yang harus kami katakan mengenai mereka. Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Al-Baqarah: 143) Imam Al-Bukhari menyendiri dalam mengetengahkan hadits ini melalui sanad tersebut. Imam Muslim meriwayatkannya pula, tetapi melalui jalur sanad yang lain. Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Abu Khalid, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan hadits berikut, bahwa pada mulanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis dan sering menengadahkan pandangannya ke arah langit, menunggu-nunggu perintah Allah.

Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 144) Lalu kaum laki-laki dari kalangan kaum muslim mengatakan, “”Kami ingin sekali mengetahui nasib yang dialami oleh orang-orang yang telah mati dari kalangan kami sebelum kami dipalingkan ke arah kiblat (Ka’bah), dan bagaimana dengan shalat kami yang menghadap ke arah Baitul Maqdis.”” Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah:143) Kemudian berkatalah orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia; mereka adalah Ahli Kitab, yang disitir oleh firman-Nya: Apakah yang memalingkan mereka (kaum muslim) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya? (Al-Baqarah: 142) Maka Allah menurunkan firman-Nya: Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata. (Al-Baqarah: 142), hingga akhir ayat.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar’ah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Atiyyah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat menghadap ke arah Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan, sedangkan hati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih suka bila diarahkan menghadap ke Ka’bah, maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (Al-Baqarah: 144); Al-Barra melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Maka berkatalah orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia, yaitu orang-orang Yahudi, yang disitir oleh firman-Nya: Apakah yang memalingkan mereka (kaum muslim) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka berkiblat kepadanya? (Al-Baqarah: 142) Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Katakanlah, “”Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.”” (Al-Baqarah: 142) Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari lbnu Abbas, bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Allah memerintahkannya agar menghadap ke arah Baitul Maqdis (dalam salatnya).

Maka orang-orang Yahudi gembira melihatnya. dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kepadanya selama belasan bulan. padahal di dalam hati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri lebih suka bila menghadap ke arah kiblat Nabi Ibrahim. Untuk itu. beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berdoa kepada Allah serta sering menengadahkan pandangannya ke langit. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Palingkanlah mukamu ke arahnya. (Al-Baqarah: 144) Orang-orang Yahudi merasa curiga akan hal tersebut, lalu mereka mengatakan: Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya? (Al-Baqarah: 142) Lalu Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Katakanlah, “”Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.”” (Al-Baqarah: 142) Banyak hadits yang menerangkan masalah ini, yang pada garis besarnya menyatakan bahwa pada mulanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke arah Sakhrah di Baitul Maqdis. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di Mekah selalu shalat di antara dua rukun yang menghadap ke arah Baitul Maqdis. Dengan demikian, di hadapannya ada Ka’bah; sedangkan ia menghadap ke arah Sakhrah di Baitul Maqdis (Ycaissalem). Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, beliau tidak dapat menghimpun kedua kiblat itu; maka Allah memerintahkannya agar langsung menghadap ke arah Baitul Maqdis. Demikianlah menurut Ibnu Abbas dan jumhur ulama.

Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat mengenai perintah Allah kepadanya untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis, apakah melalui Al-Qur’an atau lainnya? Ada dua pendapat mengenainya. Imam Qurtubi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Ikrimah Abul Aliyah dan Al-Hasan Al-Basri, bahwa menghadap ke Baitul Maqdis adalah berdasarkan ijtihad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Yang dimaksudkan dengan menghadap ke Baitul Maqdis ialah setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah. Hal tersebut dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama belasan bulan, dan selama itu beliau memperbanyak doa dan ibtihal kepada Allah serta memohon kepada-Nya agar dihadapkan ke arah Ka’bah yang merupakan kiblat Nabi Ibrahim ‘alaihissalam Hal tersebut diperkenankan oleh Allah, lalu Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkannya agar menghadap ke arah Baitul Atiq. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah kepada orang-orang dan memberitahukan pemindahan tersebut kepada mereka. Salat pertama yang beliau lakukan menghadap ke arah Ka’bah adalah shalat Asar, seperti yang telah disebutkan di atas di dalam kitab Shahihain melalui hadits Al-Barra Akan tetapi, di dalam kitab Imam An-Nasai melalui riwayat Abu Sa’id ibnul Ma’la disebutkan bahwa shalat tersebut (yang pertama kali dilakukannya menghadap ke arah Ka’bah) adalah shalat Lohor.

Abu Sa’id ibnul Ma’la mengatakan, dia dan kedua temannya termasuk orang-orang yang mula-mula shalat menghadap ke arah Ka’bah. Bukan hanya seorang dari kalangan Mufassirin dan lain-lainnya menyebutkan bahwa pemindahan kiblat diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua rakaat dari shalat Lohor, turunnya wahyu ini terjadi ketika beliau sedang shalat di masjid Bani Salimah, kemudian masjid itu dinamakan Masjid Qiblatain. Di dalam hadits Nuwailah binti Muslim disebutkan, telah datang kepada mereka berita pemindahan kiblat itu ketika mereka dalam shalat Lohor. Nuwailah binti Muslim melanjutkan kisahnya, “”Setelah ada berita itu, maka kaum laki-laki beralih menduduki tempat kaum wanita dan kaum wanita menduduki tempat kaum laki-laki.”” Demikianlah menurut apa yang dituturkan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar An-Namiri.

Mengenai ahli Quba, berita pemindahan itu baru sampai kepada mereka pada shalat Subuh di hari keduanya, seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) dari Ibnu Umar yang menceritakan: Ketika orang-orang sedang melakukan shalat Subuh di Masjid Quba, tiba-tiba datanglah kepada mereka seseorang yang mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerima wahyu tadi malam yang memerintahkan agar menghadap ke arah Ka’bah. Karena itu, menghadaplah kalian ke Ka’bah. Saat itu wajah mereka menghadap ke arah negeri Syam, lalu mereka berputar ke arah Ka’bah. Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa hukum yang ditetapkan oleh nasikh masih belum wajib diikuti kecuali setelah mengetahuinya, sekalipun turun dan penyampaiannya telah berlalu.

Karena ternyata mereka tidak diperintahkan untuk mengulangi shalat Asar, Magrib, dan Isya. Setelah hal ini terjadi, maka sebagian orang dari kalangan kaum munafik, orang-orang yang ragu dan Ahli Kitab merasa curiga, dan keraguan menguasai diri mereka terhadap hidayah. Lalu mereka mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya: “”Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?”” (Al-Baqarah: 142) Dengan kata lain, mereka bermaksud ‘mengapa kaum muslim itu sesekali menghadap ke anu dan sesekali yang lain menghadap ke anu’.

Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya sebagai jawaban terhadap mereka: Katakanlah, “”Kepunyaan Allah-lah timur dan barat.”” (Al-Baqarah: 142) Yakni Dialah yang mengatur dan yang menentukan semuanya, dan semua perintah itu hanya di tangan kekuasaan Allah belaka. Maka ke mana pun kalian menghadap, di situlah wajah Allah. (Al-Baqarah: 115) Adapun firman-Nya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah kebaktian orang yang beriman kepada Allah. (Al-Baqarah: 177) Dengan kata lain, semua perkara itu dinilai sebagai kebaktian bilamana didasari demi mengerjakan perintah-perintah Allah.

Untuk itu ke mana pun kita dihadapkan, maka kita harus menghadap. Taat yang sesungguhnya hanyalah dalam mengerjakan perintah-Nya, sekalipun setiap hari kita diperintahkan untuk menghadap ke berbagai arah. Kita adalah hamba-hamba-Nya dan berada dalam pengaturan-Nya, kita adalah pelayan-pelayan-Nya; ke mana pun Dia mengarahkan kita, maka kita harus menghadap ke arah yang diperintahkan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala mempunyai perhatian yang besar kepada hamba dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya. Hal ini ditunjukkan melalui petunjuk yang diberikan-Nya kepada dia untuk menghadap ke arah kiblat Nabi Ibrahim kekasih Tuhan Yang Maha Pemurah, yaitu menghadap ke arah Ka’bah yang dibangun atas nama Allah subhanahu wa ta’ala semata, tiada sekutu bagi-Nya.

Ka’bah merupakan rumah Allah yang paling terhormat di muka bumi ini, mengingat ia dibangun oleh kekasih Allah subhanahu wa ta’ala, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam Karena itu, di dalam firman-Nya disebutkan: Katakanlah, “”Kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.”” (Al-Baqarah: 142) “” Imam Ahmad meriwayatkan dari Ali ibnu ‘Ashim, dari Husain ibnu Abdur Rahman, dari Amr ibnu Qais, dari Muhammad ibnul Asy’As, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda sehubungan dengan kaum Ahli Kitab: Sesungguhnya mereka belum pernah merasa dengki terhadap sesuatu sebagaimana kedengkian mereka kepada kita atas hari Jumat yang ditunjukkan oleh Allah kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya; dan atas kiblat yang telah ditunjukkan oleh Allah kepada kita, sedangkan mereka sesat darinya, serta atas ucapan kita amin di belakang imam.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. (Al-Baqarah: 143) Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “”Sesungguhnya Kami palingkan kalian ke arah kiblat Ibrahim ‘alaihissalam dan Kami pilihkan kiblat tersebut untuk kalian, hanya karena Kami akan menjadikan kalian sebagai umat yang terpilih, dan agar kalian kelak di hari kiamat menjadi saksi atas umat-umat lain, mengingat semua umat mengakui keutamaan kalian.”” Al-wasat dalam ayat ini berarti pilihan dan yang terbaik, seperti dikatakan bahwa orang-orang Quraisy merupakan orang Arab yang paling baik keturunan dan kedudukannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang yang terbaik di kalangan kaumnya, yakni paling terhormat keturunannya. Termasuk ke dalam pengertian ini salatul wusta, shalat yang paling utama, yaitu shalat Asar, seperti yang telah disebutkan di dalam kitab-kitab shahih dan lain-lainnya. Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan umat ini (umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) merupakan umat yang terbaik; Allah subhanahu wa ta’ala telah mengkhususkannya dengan syariat-syariat yang paling sempurna dan tuntunan-tuntunan yang paling lurus serta jalan-jalan yang paling jelas, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tua kalian Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian dan supava kalian semua menjadi saksi atas segenap manusia. (Al-Hajj: 78) .

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waqi’, dari Al-A’masy, dari Abu Saleh, dari Abu Sa’id yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Nabi Nuh kelak dipanggil di hari kiamat, maka ditanyakan kepadanya, “”Apakah engkau telah menyampaikan (risalahmu)?”” Nuh menjawab, “”Ya.”” Lalu kaumnya dipanggil dan dikatakan kepada mereka, “”Apakah dia telah menyampaikan(nya) kepada kalian?”” Maka mereka menjawab, “”Kami tidak kedatangan seorang pemberi peringatan pun dan tidak ada seorang pun yang datang kepada kami.”” Lalu ditanyakan kepada Nuh, “”Siapakah yang bersaksi untukmu?”” Nuh menjawab, “”Muhammad dan umatnya.”” Abu Sa’id mengatakan bahwa yang demikian itu adalah firman-Nya, “”Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil”” (Al-Baqarah: 143), al-wasat artinya adil.

Kemudian kalian dipanggil dan kalian mengemukakan persaksian untuk Nabi Nuh, bahwa dia telah menyampaikan (nya) kepada umatnya, dan dia pun memberikan kesaksiannya pula terhadap kalian. Hadits riwayat Imam Al-Bukhari, Imam At-Tirmidzi, Imam An-Nasai. Dan Imam Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Al-A’masy. Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Abu Saleh, dari Abu Sa’id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Seorang nabi datang di hari kiamat bersama dua orang laki-laki atau lebih dari itu, lalu kaumnya dipanggil dan dikatakan, “”Apakah nabi ini telah menyampaikan(nya) kepada kalian?”” Mereka menjawab, “”Tidak.”” Maka dikatakan kepada si nabi, “”Apakah kamu telah menyampaikan(nya) kepada mereka?”” Nabi menjawab, “”Ya.”” Lalu dikatakan kepadanya, “”Siapakah yang menjadi saksimu?”” Nabi menjawab, “”Muhammad dan umatnya.”” Lalu dipanggillah Muhammad dan umatnya dan dikatakan kepada mereka, “”Apakah nabi ini telah menyampaikan kepada kaumnya?”” Mereka menjawab, “”Ya.”” Dan ditanyakan pula, “”Bagaimana kalian dapat mengetahuinya?”” Mereka menjawab, “”Telah datang kepada kami Nabi kami, lalu dia menceritakan kepada kami bahwa rasul-rasul itu telah menyampaikan risalahnya.”” Yang demikian itu adalah firman-Nya, “”Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil agar kalian men-jadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian”” (Al-Baqarah: 143).

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Abu Saleh, dari Abu Sa’id Al-Khudri, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehubungan dengan firman-Nya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil. (Al-Baqarah: 143) Bahwa yang dimaksud dengan wasatan ialah adil. Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadits Abdul Wahid ibnu Ziad, dari Abu Malik Al-Asyja’i, dari Al-Mugirah ibnu Utaibah ibnu Nabbas yang mengatakan bahwa seseorang pernah menuliskan sebuah hadits kepada kami dari Jabir ibnu Abdullah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Aku dan umatku kelak di hari kiamat berada di atas sebuah bukit yang menghadap ke arah semua makhluk; tidak ada seorang pun di antara manusia melainkan dia menginginkan menjadi salah seorang di antara kami, dan tidak ada seorang nabi pun yang didustakan oleh umatnya melainkan kami menjadi saksi bahwa nabi tersebut benar-benar telah menyampaikan risalah Tuhannya.

Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan pula, sedangkan lafaznya menurut apa yang ada pada Ibnu Mardawaih melalui hadits Mus’ab ibnu Sabit, dari Muhammad ibnu Ka’b Al-Qurazi, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan: “” “” bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri suatu jenazah di kalangan Bani Maslamah, sedangkan aku berada di sebelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Maka sebagian dari mereka mengatakan, “”Demi Allah, wahai Rasulullah, dia benar-benar orang yang baik, sesungguhnya dia semasa hidupnya adalah orang yang memelihara kehormatannya lagi seorang yang berserah diri (muslim),”” dan mereka memujinya dengan pujian yang baik.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “”Anda berani mengatakan yang seperti itu?”” Maka laki-laki itu menjawab, “”Hanya Allah Yang Mengetahui rahasianya. Adapun yang tampak pada kami, begitulah.”” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “”Hal itu pasti (baginya).”” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri pula jenazah lain di kalangan Bani Harisah, sedangkan aku berada di sebelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Maka sebagian dari mereka (orang-orang yang hadir) berkata, “”Wahai Rasulullah, dia adalah seburuk-buruk manusia, jahat lagi kejam.”” Lalu mereka membicarakannya dengan pembicaraan yang buruk. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sebagian mereka, “”Anda berani mengatakan yang seperti itu?”” Jawabnya, “”Hanya Allah Yang Mengetahui rahasianya. Adapun yang tampak pada kami, begitulah.”” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “”Hal itu pasti (baginya).”” Mus’ab ibnu Sabit berkata, “”Pada saat itu Muhammad ibnu Ka’b mengatakan kepada kami, ‘Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu,’ kemudian ia membacakan firman-Nya: ‘Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian ‘ (Al-Baqarah: 143).”” Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sanadnya, tetapi keduanya (Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya. . “” Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Abul Furat, dari Abdullah ibnu Buraidah, dari Abul Aswad yang menceritakan hadits berikut: Aku datang ke Madinah, maka aku jumpai kota Madinah sedang dilanda wabah penyakit, hingga banyak di antara mereka yang meninggal dunia.

Lalu aku duduk di sebelah Khalifah Umar , maka lewatlah suatu iringan jenazah, kemudian jenazah itu dipuji dengan pujian yang baik. Khalifah Umar ibnul Khattab berkata, “”Hal itu pasti baginya.”” Kemudian lewat pula suatu iringan jenazah yang lain. Jenazah itu disebut-sebut sebagai jenazah yang buruk. Maka Umar berkata, “”Hal itu pasti baginya.”” Abul Aswad bertanya, “”Apanya yang pasti itu, wahai Amirul Muminin?”” Umar mengatakan bahwa apa yang dikatakannya itu hanyalah menuruti apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu sabdanya: Siapa pun orang muslimnya dipersaksikan oleh empat orang dengan sebutan yang baik, niscaya Allah memasukkannya ke surga.

Maka kami bertanya, “”Bagaimana kalau tiga orang?”” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “”Ya, tiga orang juga.”” Maka kami bertanya, “”Bagaimana kalau oleh dua orang?”” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “”Ya, dua orang juga.”” Tetapi kami tidak menanyakan kepadanya tentang persaksian satu orang. Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai melalui hadits Daud ibnul Furat dengan lafal yang sama. Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Usman ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abu Qilabah Ar-Raqqasyi, telah menceritakan kepadaku Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Nafi’ ibnu Umar, telah menceritakan kepadaku Umayyah ibnu Safwan, dari Abu Bakar ibnu Abu Zuhair As-Saqafi, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika di Al-Banawah: Hampir saja kalian mengetahui orang-orang yang terpilih dari kalian dan orang-orang yang jahat dari kalian.

Mereka bertanya, “”Dengan melalui apakah, wahai Rasulullah?”” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “”Dengan melalui pujian yang baik dan sebutan yang buruk; kalian adalah saksi-saksi Allah yang ada di bumi.”” Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Yazid ibnu Harun, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, dari Yazid ibnu Harun dan Abdul Malik ibnu Umar serta Syuraih, dari Nafi’, dari Ibnu Umar dengan lafal yang sama.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. (Al-Baqarah: 143) Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “”Sesungguhnya Kami pada mulanya mensyariatkan kepadamu Muhammad untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis, kemudian Kami palingkan kamu darinya untuk menghadap ke Ka’bah. Hal ini tiada lain hanya untuk menampakkan keadaan sesungguhnya dari orang-orang yang mengikutimu, taat kepadamu, dan menghadap bersamamu ke mana yang kamu hadapi.”” dan siapa yang membelot. (Al-Baqarah: 143) Maksudnya, murtad dari agamanya.

Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat. (Al-Baqarah: 143) Yakni pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allah serta merasa yakin dengan percaya kepada Rasul, dan semua yang didatangkan beliau hanyalah perkara hak semata yang tidak diragukan lagi. Allah subhanahu wa ta’ala berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya, Dia memutuskan hukum menurut kehendak-Nya, Dia berhak membebankan kepada hamba-hamba-Nya apa yang Dia kehendaki, dan me-nasakh apa yang Dia kehendaki. Hanya milik-Nyalah hikmah yang sempurna dan hujah (alasan) yang kuat dalam hal tersebut secara keseluruhan.

Lain halnya dengan orang-orang yang di dalam hati mereka terdapat penyakit; sesungguhnya setiap kali terjadi sesuatu hal, maka timbullah rasa keraguan dalam hati mereka. Berbeda dengan keadaan orang-orang yang beriman, di dalam hati mereka keyakinan dan kepercayaan bertambah kuat, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, “”Siapakah di antara kalian yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini? Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedangkan mereka merasa gembira.

Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada). (At-Taubah: 124-125) Katakanlah, Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedangkan Al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka.”” (Fushshilat: 44) Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Al-Isra: 82) Karena itu, terbuktilah bahwa orang-orang yang teguh dalam membenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tetap mengikutinya dalam hal tersebut serta menghadap menurut apa yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya tanpa bimbang dan tanpa ragu barang sedikit pun, mereka adalah para sahabat yang terhormat.

Sebagian ulama mengatakan bahwa orang-orang yang mendapat predikat sabiqin awwalin adalah dari kalangan Muhajirin dan orang-orang Anshar, yaitu mereka yang shalat ke dua kiblat. Imam Al-Bukhari mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini: telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Sufyan, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar yang menceritakan: Ketika orang-orang sedang mengerjakan shalat Subuh di Masjid Quba, tiba-tiba datanglah seorang lelaki, lalu lelaki itu berkata, “”Sesungguhnya telah diturunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah ayat yang memerintahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menghadap ke arah Ka’bah, maka menghadaplah kalian ke Ka’bah.”” Maka mereka pun menghadapkan dirinya ke Ka’bah.

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim melalui jalur yang lain dari sahabat Ibnu Umar, dan Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya melalui hadits Sufyan Ats-Tsauri. Di dalam riwayat Imam At-Tirmidzi disebutkan: Bahwa mereka sedang rukuk, lalu mereka berputar, sedangkan mereka dalam keadaan masih rukuk menghadap ke arah Ka’bah. Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadits Hammad ibnu Salimah, dari Sabit, dari Anas dengan lafal yang semisal.

Hal ini menunjukkan betapa sempurnanya ketaatan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, juga ketundukan mereka terhadap perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala Semoga Allah melimpahkan keridaan-Nya kepada mereka (para sahabat) semua. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah: 143) Yakni shalat kalian yang telah kalian lakukan dengan menghadap ke arah Baitul Maqdis sebelum ada pemindahan ke arah Ka’bah. Dengan kata lain, Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menyia-nyiakan pahalanya; pahala itu ada di sisi-Nya. Di dalam kitab shahih disebutkan melalui Abu Ishaq As-Subai’i, dari Al-Barra yang menceritakan: Telah meninggal dunia kaum yang dahulu mereka shalat menghadap ke Baitul Maqdis, maka orang-orang bertanya, “”Bagaimanakah keadaan mereka?”” Lalu Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya, “”Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian”” (Al-Baqarah: 143).

Hadits diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, dari Ibnu Abbas, dan Imam At-Tirmidzi menilainya shahih. Ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah: 143) Yaitu iman kalian kepada kiblat yang terdahulu, dan kepercayaan kalian kepada Nabi kalian serta mengikutinya menghadap ke arah kiblat yang lain (Ka’bah).

Dengan kata lain, Allah pasti akan memberi kalian pahala keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Al-Baqarah: 143) Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. (Al-Baqarah: 143) Dengan kata lain, Allah tidak akan menyia-nyiakan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berpaling kalian bersamanya mengikuti ke mana dia menghadap. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Al-Baqarah: 143) Di dalam kitab shahih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita dari kalangan tawanan perang, sedangkan antara wanita itu dengan anaknya telah dipisahkan. Maka setiap kali wanita itu menjumpai seorang bayi, ia menggendongnya dan menempelkannya pada teteknya, sedangkan dia terus berputar ke sana kemari mencari bayinya.

Setelah wanita itu menemukan bayinya, maka langsung digendong dan disusukannya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “”Bagaimanakah pendapat kalian, akankah wanita ini tega melemparkan bayinya ke dalam api, sedangkan dia sendiri mampu untuk tidak melemparkannya?”” Mereka menjawab, “”Tentu tidak, wahai Rasulullah.”” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “”Maka demi Allah, sesungguhnya Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada wanita ini kepada anaknya.”” #learnquran

Al Baqarah

Indeks Tema Al Baqarah

DAFTAR ISI


Yuk bagikan infonya...

About Auther:

Info Biografi

BUKU TES TNI POLRI AKMIL AKPOL 2024
Hello. Add your message here.