Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 197

Yuk bagikan infonya...

Al-Baqarah: 197

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ

Terjemahan

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.

Tafsir (Ibnu Katsir)

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafas, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kalian kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal. Ulama bahasa berbeda pendapat mengenai makna firman-Nya: Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197) Sebagian di antara mereka mengatakan, bentuk lengkapnya ialah bahwa ibadah haji yang sesungguhnya yaitu haji yang dilakukan dalam bulan-bulan yang dimaklumi untuk itu.

Berdasarkan pengertian ini, berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa melakukan ihram ibadah haji dalam bulan-bulan haji lebih sempurna daripada melakukan ihram haji di luar bulan haji, sekalipun melakukan ihram haji di luar bulan-bulan haji hukumnya sah. Pendapat yang mengatakan sah melakukan ihram ibadah haji di sepanjang tahun merupakan. mazhab Imam Maliki, Abu Hanifah, Ahmad ibnu Hambal, dan Ishaq ibnu Rahawaih.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibrahim An-Nakha’i, Ats-Tsauri, dan Al-Al-Laits ibnu Sa’d. Hal yang dijadikan hujah untuk memperkuat pendapat mereka adalah firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, “”Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.”” (Al-Baqarah: 189) Ibadah haji merupakan salah satu di antara sepasang manasik, maka hukumnya sah melakukan ihram untuk haji di waktu kapan pun sepanjang tahun.

Perihalnya sama dengan ibadah umrah. Imam Syafii berpendapat, tidak sah melakukan ihram haji kecuali dalam bulan-bulannya. Untuk itu seandainya seseorang melakukan ihram haji sebelum bulan haji tiba, maka ihramnya tidak sah. Akan tetapi, sehubungan dengan umrahnya, apakah sah atau tidak? Ada dua pendapat mengenainya. Pendapat yang mengatakan bahwa tidak sah melakukan ihram haji kecuali di dalam bulan-bulannya diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Jabir.

Hal yang sama dikatakan pula oleh ‘Atha’, Tawus, dan Mujahid. Sebagai dalilnya ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala yang mengatakan: (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197) Menurut makna lahiriah, ayat ini mengandung makna lain yang diutarakan oleh ulama Nahwu. Pendapat ini mengartikan bahwa musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi; Allah mengkhususkan haji dalam bulan-bulan tersebut di antara bulan-bulan lainnya, maka hal ini menunjukkan bahwa tidak sah melakukan ihram sebelum tiba bulan-bulan haji. Perihalnya sama dengan waktu-waklu shalat. Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu ‘Atha’, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tidak layak bagi seseorang melakukan ihram haji kecuali dalam musim haji, karena berdasarkan kepada firman-Nya: Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197) Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ahmad ibnu Yahya ibnu Malik As-Susi, dari Hajjaj ibnu Muhammad Al-A’war, dari Ibnu Juraij dengan lafal yang sama.

Ibnu Mardawaih meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya melalui dua jalur, dari Hajjaj ibnu Artah, dari Al-Hakim ibnu Utaibah, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “”Termasuk tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah tidak melakukan ihram haji kecuali dalam bulan-bulan haji (musim haji).”” Ibnu Khuzaimah di dalam kitab sahihnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Syu’bah, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa tidak boleh ihram haji kecuali dalam bulan-bulan haji, karena sesungguhnya termasuk sunnah haji ialah melakukan ihram haji dalam bulan-bulan haji.

Sanad atsar ini berpredikat shahih. Perkataan seorang sahabat yang menyatakan bahwa termasuk sunnah (tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dikategorikan sebagai hadits marfu’ menurut kebanyakan ulama. Terlebih lagi jika yang mengatakannya adalah Ibnu Abbas yang dijuluki sebagai ‘juru terjemah Al-Qur’an dan ahli menafsirkannya’. Memang ada sebuah hadits marfu’ sehubungan dengan masalah ini. : (7) Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi, telah mencertakan kepada kami Nafi’, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abuz Zubair, dari Jabir, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Tidak layak bagi seseorang melakukan ihram haji kecuali di dalam bulan-bulan haji.

Sanad hadits ini tidak ada masalah. Tetapi Imam Syafii dan Imam Al-Baihaqi meriwayatkannya melalui berbagai jalur, dari Ibnu Juraij, dari Abuz Zubair, bahwa ia pernah mendengar Jabir ibnu Abdullah bertanya: “”Bolehkah melakukan ihram haji sebelum musim haji?”” Beliau menjawab, “”Tidak boleh.”” Hadits mauquf ini lebih shahih dan lebih kuat sanadnya daripada hadits marfu’ tadi. Dengan demikian, berarti mazhab sahabat menjadi kuat berkat adanya ucapan Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa termasuk sunnah ialah tidak melakukan ihram haji kecuali dalam bulan-bulan haji.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala: beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197) Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa menurut Ibnu Umar, yang dimaksud dengan bulan-bulan haji ialah Syawwal, Zul-Qa’dah, dan sepuluh hari bulan Zul-Hijjah. Asar yang di-ta’liq (dikomentari) oleh Imam Al-Bukhari dengan ungkapan yang pasti ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir secara mausul. Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim ibnu Abu Zagrah, telah menceritakan kepada kami Abu Na’im, telah menceritakan kepada kami Warqa, dari Abdullah ibnu Dinar, dari Ibnu Umar sehubungan dengan makna firman-Nya: Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (Al-Baqarah: 197) Bahwa yang dimaksud ialah bulan Syawwal, Zul-Qa’dah, dan sepuluh hari dari bulan Zul-Hijjah.

Sanad atsar ini berpredikat shahih. Dan sesungguhnya Imam Hakim pun meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak, dari Al-Asam, dari Al-Hasan ibnu Ali ibnu Affan, dari Abdullah ibnu Numair, dari Ubaidillah ibnu Nafi’, dari Ibnu Umar, lalu ia mengetengahkan atsar ini dan mengatakan bahwa atsar ini (dikatakan shahih) dengan syarat Syaikhain. Menurut kami, atsar ini diriwayatkan dari Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Abdullah ibnuz Zubair, Ibnu Abbas, ‘Atha’, Tawus, Mujahid, Ibrahim An-Nakha’i, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Makhul, Qatadah, Adh-Dhahhak ibnu Muzahim, Ar-Rabi’ ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.

Hal ini merupakan pegangan bagi mazhab Imam Syafii, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad ibnu Hambal, Abu Yusuf, dan Abu Tsaur. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir, dan Ibnu Jarir mengatakan bahwa dibenarkan menyebutkan jamak untuk pengertian dua bulan dan sepertiga dari satu bulan dengan pengertian taglib (prioritas). Perihalnya sama dengan perkataan orang-orang Arab, “”Aku melihatnya tahun ini,”” dan “”Aku melihatnya hari ini,”” sedangkan makna yang dimaksud ialah sebagian dari satu tahun dan sehari.

Juga seperti pengertian dalam firman-Nya: Barang siapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. (Al-Baqarah: 203) Karena sesungguhnya pengertian cepat berangkat ini tertuju kepada satu setengah hari (bukan setelah dua hari). Imam Malik ibnu Anas dan Imam Syafii dalam qaul qadim-nya mengatakan bahwa bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawwal, Zul-Qa’dah, dan Zul-Hijjah secara lengkap. Pendapat ini berdasarkan sebuah riwayat dari Ibnu Umar. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Ibrahim ibnu Muhajir, dari Mujahid, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawwal, Zul-Qa’dah, dan Zul-Hijjah.

Ibnu Abu Hatim mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Ibnu Juraij yang pernah mengatakan bahwa ia bertanya kepada Nafi’, “”Apakah engkau pernah mendengar Ibnu Umar menyebutkan tentang bulan-bulan haji itu?”” Nafi’ menjawab, “”Ya, Abdullah ibnu Umar menyebutnya bulan Syawwal, Zul-Qa’dah, dan Zul-Hijjah.”” Ibnu Juraij mengatakan bahwa hal tersebut dikatakan pula oleh Ibnu Syihab, ‘Atha’, dan Jabir ibnu Abdullah Sanad atsar ini berpredikat shahih sampai kepada Ibnu Juraij.

Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Tawus, Mujahid, Urwah ibnuz Zubair, Ar-Rabi’ ibnu Anas, dan Qatadah. Sehubungan dengan masalah ini ada hadits marfu’, hanya sayangnya berpredikat maudu’, diriwayatkan oleh Al-Hafidzh ibnu Mardawaih melalui jalur Husain ibnu Mukhariq sedangkan dia orangnya dicurigai suka membuat hadits maudu’, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, yaitu bulan Syawwal, bulan Zul-Qa’dah, dan bulan Zul-Hijjah.

Akan tetapi, seperti yang disebutkan di atas, predikat marfu’ hadits ini tidak sah. Faedah dari mazhab Imam Malik yang mengatakan bahwa musim haji itu berlangsung sampai akhir bulan Zul-Hijjah mengandung pengertian bahwa bulan tersebut khusus buat ibadah haji, maka makruh melakukan ihram umrah pada sisa bulan Zul-Hijjah, tetapi bukan berarti bahwa sah melakukan ihram haji sesudah malam kurban.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, dari Al-A’masy, dari Qais ibnu Muslim, dari Tariq ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Abdullah pernah mengatakan, “”Musim haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, tanpa ada umrah padanya.”” Sanad atsar ini shahih. Ibnu Jarir mengatakan, sesungguhnya orang yang berpendapat bahwa bulan-bulan haji itu adalah bulan Syawwal, Zul-Qa’dah, dan Zul-Hijjah hanyalah bermaksud bahwa bulan-bulan tersebut bukanlah bulan-bulan untuk melakukan umrah.

Sesungguhnya bulan-bulan tersebut hanyalah untuk ibadah haji, sekalipun pada kenyataannya semua pekerjaan ibadah haji telah rampung dengan selesainya hari-hari Mina. Seperti yang dikatakan oleh Muhammad ibnu Sirin, “”Tiada seorang pun dari kalangan ahlul ilmi merasa ragu bahwa ibadah umrah di luar bulan-bulan haji lebih utama daripada melakukan ibadah umrah dalam bulan-bulan haji.”” Ibnu Aun mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Qasim ibnu Muhammad tentang.

ibadah umrah dalam bulan-bulan haji. Lalu Al-Qasim menjawab, “”Mereka menganggapnya kurang sempurna.”” Menurut kami, ada sebuah atsar dari Umar dan Usman yang mengatakan bahwa keduanya menyukai ibadah umrah dalam selain bulan-bulan haji, dan keduanya melarang hal tersebut dalam bulan-bulan haji. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Maksudnya, telah mewajibkan haji dengan memasuki ihramnya.

Di dalam ayat ini terkandung makna yang menunjukkan keharusan ihram haji dan melangsungkannya. Ibnu Jarir mengatakan, mereka sepakat bahwa makna yang dimaksud dengan al-fard dalam ayat ini ialah wajib dan harus. Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Yakni orang yang telah berihram untuk haji atau umrah.

Menurut ‘Atha’, yang dimaksud dengan fard ialah ihram. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibrahim dan Adh-Dhahhak serta lain-lainnya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu ‘Atha’, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Tidak layak bagi seseorang bila melakukan ihram untuk haji, kemudian ia tinggal di suatu tempat.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnuz Zubair, Mujahid, ‘Atha’, Ibrahim An-Nakha’i, Ikrimah, Adh-Dhahhak, Qatadah, Sufyan Ats-Tsauri, Az-Zuhri, dan Muqatil ibnu Hayyan. Tawus dan Al-Qasim ibnu Muhammad mengatakan, yang dimaksud dengan fard ialah talbiyah. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: maka tidak boleh rafas. (Al-Baqarah: 197) Yakni barang siapa yang memasuki ihram untuk ibadah haji atau umrah, hendaklah ia menjauhi rafas.

Yang dimaksud dengan rafas ialah bersetubuh, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya: Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian. (Al-Baqarah: 187) Diharamkan pula melakukan hal-hal yang menjurus ke arahnya, seperti berpelukan dan berciuman serta lain-lainnya yang semisal; juga diharamkan membicarakan hal-hal tersebut di hadapan kaum wanita. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus; Nafi’ pernah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Umar acapkali mengatakan bahwa rafas artinya menggauli istri dan membicarakan hal-hal yang berbau porno.

Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Sakhr, dari Muhammad ibnu Ka’b hal yang semisal dengan atsar di atas. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Qatadah, dari seorang lelaki, dari Abul Aliyah Ar-Rayyahi, dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas pernah mendendangkan syair untuk memberi semangat kepada unta kendaraannya, sedangkan dia dalam keadaan berihram, yaitu ucapan penyair:

Sedangkan wanita-wanita itu berjalan bersama kami dengan langkah yang tak bersuara; sekiranya ada burung, niscaya kami dapat menyentuhnya.

Abul Aliyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia bertanya, “”Apakah engkau mengeluarkan kata-kata rafas, sedangkan engkau dalam keadaan berihram?”” Ibnu Abbas menjawab, “”Sesungguhnya rafas yang dilarang ialah bila dituturkan di hadapan kaum wanita.”” Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Al-A’masy, dari Ziyad ibnu Husain, dari Abul Aliyah, dari Ibnu Abbas, lalu ia mengetengahkan atsar ini.

Ibnu Jarir meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Addi,-dari Auf, telah menceritakan kepadaku Ziyad ibnu Husain, telah menceritakan kepadaku Abu Husain ibnu Qais yang menceritakan bahwa ia pernah berangkat haji bersama Ibnu Abbas, dan pada tahun itu dia menjadi teman Ibnu Abbas. Setelah kami ihram (memasuki miqat), Ibnu Abbas mendendangkan sebuah syair untuk memberikan semangat kepada unta kendaraannya, yaitu:

Mereka (wanita-wanita itu) berjalan bersama kami dengan langkah-langkah yang tak bersuara; seandainya kami menjumpai burung, niscaya kami dapat memegangnya. Abu Husain ibnu Qais bertanya, “”Apakah engkau berani mengucapkan kata-kata rafas, sedangkan engkau dalam keadaan berihram?”” Ibnu Abbas menjawab, “”Sesungguhnya yang dinamakan rafas ialah bila diucapkan di hadapan kaum wanita.”” Abdullah ibnu Tawus meriwayatkan dari ayahnya, bahwa ayahnya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai makna firman-Nya: maka tidak boleh rafas dan berbuat fasik. (Al-Baqarah: 197) Maka Ibnu Abbas menjawab, “”Rafas artinya mengeluarkan kata-kata sindiran yang mengandung arti persetubuhan.

Ungkapan ini dinamakan ‘irabah menurut islilah orang-orang Arab yang artinya ‘kata-kata yang jorok’.”” ‘Atha’ ibnu Abu Rabah mengatakan bahwa rafas artinya persetubuhan dan yang lebih rendah daripada itu berupa perkataan yang jorok. Hal yang sama dikatakan pula oleh Amr ibnu Dinar. ‘Atha’ mengatakan bahwa orang-orang Arab tidak menyukai ungkapan ‘irabah yang artinya kata-kata sindiran ke arah persetubuhan, hal ini hukumnya haram.

Tawus mengatakan, rafas ialah bila seorang lelaki berkata kepada istrinya, “”Apabila kamu telah ber-tahallul, niscaya aku akan menggaulimu.”” Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah. Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa rafas artinya menyetubuhi wanita, menciumnya, dan mencumbu rayunya serta mengeluarkan kata-kata sindiran yang jorok kepadanya yang menjurus ke arah persetubuhan dan lain-lainnya yang semisal.

Ibnu Abbas mengatakan pula juga Ibnu Umar bahwa rafas artinya menyetubuhi wanita. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa’id ibnu Jubair, Ikrimah, Mujahid, Ibrahim, Abul Aliyah, dari ‘Atha’, Makhul, ‘Atha’ Al-Khurrasani, ‘Atha’ ibnu Yasar, Atiyyah, Ibrahim An-Nakha’i, Ar-Rabi’, Az-Zuhri, As-Suddi, Malik ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, Abdul Karim ibnu Malik, Al-Hasan, Qatadah, Adh-Dhahhak, dan lain-lainnya.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan tidak boleh berbuat fasik. (Al-Baqarah: 197) Miqsam dan bukan hanya seorang telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan fusuq ialah perbuatan-perbuatan maksiat. Hal yang sama dikatakan pula oleh ‘Atha’, Mujahid, Tawus, Ikrimah, Sa’id ibnu Jubair, Muhammad ibnu Ka’b, Al-Hasan, Qatadah, Ibrahim An-Nakha’i, Az-Zuhri, Ar-Rabi’ ibnu Anas, ‘Atha’ ibnu Yasar, ‘Atha’ Al-Khurrasani, dan Muqatil ibnu Hayyan.

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Nafi’, dari Ibnu Umar yang pernah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fusuq ialah semua jenis perbuatan maksiat terhadap Allah, baik berupa berburu (di waktu ihram) ataupun perbuatan lainnya. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Wahb, dari Yunus, dari Nafi’, bahwa Abdullah ibnu Umar pernah berkata, “”Yang dinamakan fusuq ialah melakukan perbuatan-perbuatan yang durhaka terhadap Allah di Tanah Suci.”” Sedangkan ulama lainnya mengatakan, yang dimaksud dengan fusuq dalam ayat ini ialah mencaci maki.

Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnuz Zubair, Mujahid, As-Suddi, Ibrahim An-Nakha’i, dan Al-Hasan. Barangkali mereka yang mengatakan demikian (caci maki) berpegang kepada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits shahih, yaitu: Mencaci orang muslim adalah perbuatan fasik, dan memeranginya adalah kekufuran. Karena itulah maka dalam bab ini Abu Muhammad ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui hadits Sufyan Ats-Tsauri, dari Zubaid, dari Abu Wail, dari Abdullah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah bersabda: Mencaci orang muslim hukumnya fasik dan memeranginya hukumnya kufur.

Telah diriwayatkan melalui hadits Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Mas’ud, dari ayahnya, juga melalui hadits Abu Ishaq, dari Muhammad ibnu Sa’d, dari ayahnya. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa fusuq dalam ayat ini artinya melakukan sembelihan untuk berhala-berhala, seperti pengertian yang terdapat di dalam Firman-Nya: atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (Al-An’am: 145) Adh-Dhahhak mengatakan, al-fusuq artinya saling memanggil dengan julukan-julukan yang buruk.

Pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa makna fusuq dalam ayat ini ialah semua perbuatan maksiat merupakan pendapat yang benar, sebagaimana Allah melarang perbuatan zalim (aniaya) dalam bulan-bulan haram, sekalipun dalam sepanjang masa perbuatan ini diharamkan, hanya saja dalam bulan-bulan haram lebih keras lagi keharamannya. Karena itulah maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menganiaya diri kalian sendiri dalam bulan yang empat ini. (At-Taubah: 36) Sehubungan dengan melakukan perbuatan zalim di Tanah Suci, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih. (Al-Hajj: 25) Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa isitilah fusuq dalam ayat ini ialah semua perbuatan yang dilarang di dalam ihram, seperti membunuh binatang buruan, mencukur rambut kepala, memotong kuku, dan lain sebagainya yang sejenis, seperti yang disebutkan dari Ibnu Umar.

Akan tetapi, semua apa yang telah kami sebutkan adalah harus lebih dijauhi. Disebutkan di dalam kitab Shahihain melalui hadits Abu Hazm, dari sahabat Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Barang siapa yang melakukan haji di Baitullah ini, lalu ia tidak rafas dan tidak berbuat fasik, maka seakan-akan ia bersih dari semua dosanya seperti pada hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat: Pendapat pertama mengatakan tidak boleh berbantah-bantahan dalam musim haji, yakni sewaktu sedang melaksanakan manasik-manasiknya.

Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskannya dengan keterangan yang sempurna dan merincikannya dengan rincian yang gamblang. Sehubungan dengan hal ini Waki’ telah meriwayatkan dari Al-Ala ibnu Abdul Karim, bahwa ia pernah mendengar Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan bulan-bulan haji, maka tidak boleh lagi ada bantah-bantahan di antara manusia dalam mengerjakannya. Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Tidak ada bulan yang ditangguhkan dan tidak ada bantahan-bantahan dalam masalah haji, semuanya sudah jelas. Kemudian Mujahid menyebutkan tingkah laku yang dilakukan oleh kaum musyrik terhadap apa yang disebutkan di kalangan mereka dengan nama nasi’ (menangguhkan bulan haji, lalu memindahkannya ke bulan yang lain).

Perbuatan mereka itu sangat dicela oleh Allah subhanahu wa ta’ala Ats-Tsauri meriwayatkan dari Abdul Aziz ibnu Rafi’, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Bahwa masalah haji telah diluruskan, maka tidak boleh ada bantah-bantahan lagi mengenainya. Hal yang sama dikatakan pula oleh As-Suddi. Hisyam mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Yang dimaksud dengan jidal ialah berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan ibadah haji. Abdullah ibnu Wahb mengatakan bahwa Malik pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan (tidak boleh) berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Makna yang dimaksud ialah melakukan bantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji.

Hanya Allah yang lebih mengetahui, bahwa pada mulanya orang-orang Quraisy melakukan wuquf di Masy’aril Haram, yaitu di Muzdalifah, sedangkan orang-orang Arab lainnya dan selain orang-orang Arab melakukan wuquf di Arafah. Mereka selalu berbantah-bantahan. Golongan yang pertama mengatakan, “”Kami lebih benar,”” sedangkan golongan yang lain mengatakan, “”Kamilah yang lebih benar.”” Demikianlah menurut pandangan kami, dan hanya Allah yang lebih mengetahui.

Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam bahwa mereka mengambil tempat wuqufnya sendiri-sendiri se-cara berbeda-beda yang masih mereka perdebatkan, masing-masing pihak mengakui bahwa mauqif-nya adalah berdasarkan mauqif Nabi Ibrahim ‘alaihissalam Maka Allah memutuskannya, yaitu ketika Dia memberi-tahukan kepada Nabi-Nya tentang manasik yang sesungguhnya. Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abu Sakhr, dari Muhammad ibnu Ka’b yang mengatakan bahwa dahulu orang-orang Quraisy apabila berkumpul di Mina, maka sebagian dari mereka mengatakan kepada sebagian yang lainnya, “”Haji kami lebih sempurna daripada haji kalian,”” begitu pula sebaliknya.

Hammad ibnu Salamah meriwayatkan dari Jabir ibnu Habib, dari Al-Qasim ibnu Muhammad yang mengatakan bahwa berbantah-bantahan dalam ibadah haji ialah bila sebagian dari mereka yang terlibat mengatakan, “”Haji adalah esok hari.”” Sedangkan sebagian yang lain mengatakan, “”Haji adalah hari ini.”” Sementara itu Ibnu Jarir memilih kandungan makna dari semua pendapat yang telah disebutkan di atas, yaitu tidak boleh berbantah-bantahan dalam manasik haji.

Pendapat yang kedua mengatakan, yang dimaksud dengan istilah jidal dalam ayat ini ialah bertengkar. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid ibnu Hassan, telah menceritakan kepada kami Ishaq, dari Syarik, dari Abu Ishaq, dari Abul Ah-was, dari Abdullah ibnu Mas’ud sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Makna yang dimaksud dengan al-jidal ialah bila kamu membantah saudaramu hingga kamu buat dia marah karenanya.

Dengan sanad yang sama sampai kepada Abu Ishaq, dari At-Tamimi, disebutkan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang makna al-jidal, maka Ibnu Abbas menjawab, “”Artinya berbantah-bantahan, yaitu bila kamu melakukan bantahan terhadap temanmu hingga kamu buat dia marah karenanya.”” Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Miqsan dan Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Abul Aliyah, ‘Atha’, Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, Ikrimah, Jabir ibnu Zaid, ‘Atha’ Al-Khurrasani, Makhul, As-Suddi, Mu-qatil ibnu Hayyan, Arar ibnu Dinar, Adh-Dhahhak, Ar-Rabi’ ibnu Anas, Ibrahim An-Nakha’i, ‘Atha’ ibnu Yasar, Al-Hasan, Qatadah, dan Az-Zuhri.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Artinya, berbantah-bantahan dan perdebatan hingga engkau membuat marah saudara dan temanmu, kemudian Allah subhanahu wa ta’ala melarang hal tersebut. Ibrahim An-Nakha’i mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah: 197) Bahwa mereka tidak menyukai berbantah-bantahan. Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Nafi, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa al-jidal dalam ibadah haji artinya mencaci maki dan bertengkar.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Wahb, dari Yunus, dari Nafi’, Umar pernah mengatakan bahwa berbantah-bantahan dalam masa mengerjakan haji artinya melakukan caci maki, perdebatan, dan pertengkaran. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ibnuz Zubair, Al-Hasan, Ibrahim,Tawus, dan Muhammad ibnu Ka’b, bahwa mereka mengatakan, “”Al-jidal artinya berbantah-bantahan.”” Abdullah ibnul Mubarak meriwayatkan dari Yahya ibnu Basyir, dari Ikrimah sehubungan dengan makna firman-Nya: dan tidak boleh berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. (Al-Baqarah 197) Al-jidal artinya marah, yaitu bila kamu membuat marah seorang muslim, kecuali jika kamu menegur budak, lalu kamu membuatnya marah tanpa memukulnya, maka tidak menjadi masalah bagimu, insya Allah.

Menurut kami, seandainya seseorang memukul budaknya, hal ini masih tetap diperbolehkan. Sebagai dalilnya ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad: telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Yahya ibnu Abbad ibnu Abdullah ibnuz Zubair, dari ayah-nya, dari Asma binti Abu Bakar yang menceritakan hadits berikut: Kami berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menunaikan ibadah haji. Ketika kami berada di Araj, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun istirahat. Maka Siti Aisyah duduk di sebelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan aku duduk di sebelah Abu Bakar (ayahku). Ketika itu pelayan perempuan Abu Bakar dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya satu orang disertai dengan budak laki-laki milik Abu Bakar. Abu Bakar duduk menunggu budaknya muncul. Si budak muncul tanpa hewan untanya, maka Abu Bakar bertanya, “”Ke mana untamu?”” Si budak menjawab, “”Tadi malam aku kehilangan dia.”” Abu Bakar berkata, “”Mengapa seekor unta saja kamu tidak dapat menjaganya, hingga ia kabur?”” Lalu Abu Bakar memukul budaknya itu, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum seraya berkata: Lihatlah oleh kalian apa yang dilakukan oleh orang yang sedang ihram ini.

Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah melalui hadits Ibnu Ishaq. Berangkat dari pengertian hadits ini, ada sebagian ulama Salaf yang menyimpulkan bahwa termasuk kesempurnaan ibadah haji ialah memukul unta (kendaraan). Akan tetapi, dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Abu Bakar ini, yaitu: Lihatlah oleh kalian apa yang dilakukan oleh orang yang sedang ihram ini. dapat ditarik kesimpulan adanya teguran yang lembut. Maknanya menyatakan bahwa meninggalkan perbuatan tersebut adalah lebih utama.

Imam Abdu ibnu Humaid di dalam kitab Musnad-nya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Musa ibnu Ubaidah, dari saudaranya (yaitu Abdullah ibnu Ubaidillah), dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Barang siapa yang telah menunaikan hajinya, dan orang-orang muslim selamat dari ulah lisan dan tangannya, niscaya Allah memberikan ampunan baginya atas semua dosanya yang terdahulu. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan apa yang kalian kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. (Al-Baqarah: 197) Setelah Allah subhanahu wa ta’ala melarang mereka melakukan perbuatan yang buruk, baik berupa ucapan maupun perbuatan, maka Allah menganjurkan kepada mereka untuk mengerjakan kebaikan, dan Allah subhanahu wa ta’ala memberitahukan kepada mereka bahwa Dia Maha Mengetahuinya; kelak Allah akan memberikan balasan kepadanya dengan balasan yang berlimpah di hari kiamat nanti.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197) Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ada orang-orang yang berangkat meninggalkan keluarga mereka tanpa membawa bekal. Mereka mengatakan, “”Kami akan melakukan ibadah haji, mengapa Allah tidak memberi kami makan?”” (yakni niscaya Allah memberi kami makan). Maka turunlah ayat ini yang maknanya, “”Berbekallah kalian untuk mencegah diri kalian dari meminta-minta kepada orang lain.”” Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, bahwa orang-orang ada yang menunaikan hajinya tanpa membawa bekal.

Maka Allah menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197) Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Amr (yaitu Al-Fallas), dari Ibnu Uyaynah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, sesungguhnya hadits ini diriwayatkan pula oleh Warqa, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa apa yang diriwayatkan oleh Warqa, dari Ibnu Uyaynah lebih shahih. Menurut kami, hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam An-Nasai, dari Sa’id ibnu Abdur Rahman Al-Makhzumi, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ada orang-orang yang menunaikan ibadah haji tanpa membawa bekal, lalu Allah menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197) Adapun hadits Warqa, diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari, dari Yahya ibnu Bisyr, dari Syababah.

Diketengahkan oleh Abu Dawud, dari Abu Mas’ud (yaitu Ahmad ibnul Furat Ar-Razi) dan Muhammad ibnu Abdullah Al-Makhzumi, dari Syababah, dari Warqa, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa orang-orang Yaman melakukan ibadah hajinya tanpa membawa bekal, dan mereka mengatakan, “”Kami adalah orang-orang yang bertawakal.”” Maka Allah menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197) Abdu ibnu Humaid meriwayatkannya pula di dalam kitab tafsirnya dari Syababah.

Ibnu Hibban meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya melalui hadits Syababah dengan lafal yang sama. Ibnu Jarir dan Ibnu Mardawaih meriwayatkannya melalui hadits Amr ibnu Abdul Gaffar, dari Nafi’, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa tersebutlah apabila mereka telah memasuki ihram, sedangkan bekal yang mereka bawa masih ada pada mereka, maka mereka membuangnya, lalu mereka mengadakan perbekalan lain yang baru.

Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197) Mereka dilarang melakukan hal tersebut dan mereka diperintahkan agar membawa perbekalan berupa tepung terigu, sagon, dan roti kering (yakni makanan yang tahan lama). Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnuz Zubair, Abul Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, Salim ibnu Abdullah, ‘Atha’ Al-Khurrasani, Qatadah, Ar-Rabi’ ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan. Sa’id ibnu Jubair mengatakan, “”Berbekallah kalian dengan perbekalan berupa tepung terigu, sagon, dan roti kering.”” Waki’ ibnul Jarrah mengatakan di dalam kitab tafsirnya, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Muhammad ibnu Suqah, dari Sa’id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan berbekallah (Al-Baqarah: 197) Yang dimaksud ialah bekal berupa tepung dan sagon.

Waki’ meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Al-Makki, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu Amr yang mengatakan bahwa sesungguhnya termasuk kedermawanan seorang laki-laki ialah membawa bekal yang baik dalam perjalanannya. Hammad ibnu Salamah menambahkan pada riwayat di atas, dari Abu Raihanah, bahwa Ibnu Umar pernah memerintahkan kepada orang yang mau bepergian dengannya agar membawa bekal yang baik.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197) Setelah Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan mereka agar membawa bekal dalam bepergian di dunia, maka Allah subhanahu wa ta’ala memberikan pctunjuk-Nya kepada mereka bekal lainnya untuk kebahagiaan di negeri akhirat, yaitu takwa kepada Allah. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. (Al-A’raf: 26) Dengan kata lain, setelah Allah menyebutkan pakaian hissi (konkret), lalu Allah mengingatkan seraya memberikan petunjuk kepada jenis pakaian lainnya, yaitu pakaian maknawi (abstrak) berupa khusyuk, taat, dan takwa. Allah menyebutkan pula bahwa pakaian yang terakhir ini lebih baik dan lebih bermanfaat daripada jenis yang per-tama tadi.

‘Atha’ Al-Khurrasani mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. (Al-Baqarah: 197) Yang dimaksud dengan takwa ialah bekal untuk akhirat. Imam Ath-Thabarani meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Marwan ibnu Mu’awiyah, dari Ismail, dari Qais, dari Jarir ibnu Abdullah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda: Barang siapa yang membuat bekal di dunia, maka bekal ini akan bermanfaat di akhirat. Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, ketika diturunkan firman-Nya: Dan berbekallah. (Al-Baqarah: 197) Maka berdirilah seorang lelaki dari kalangan kaum fakir miskin kaum muslim, lalu ia berkata, “”Wahai Rasulullah, kami tidak menemukan apa yang bisa dipergunakan buat bekal kami.”” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Berbekallah untuk mencegah dirimu dari meminta-minta kepada orang lain, dan sebaik-baik apa yang dijadikan bekal bagi kalian ialah takwa. (Riwayat Ibnu Abu Hatim) Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal. (Al-Baqarah: 197) Yakni hindarilah oleh kalian siksaan-Ku, pembalasan-Ku, dan azab-Ku bagi orang yang menentang-Ku dan tidak mau mengerjakan perintah-Ku, wahai orang-orang yang berakal dan berpemahaman! #learnquran

Al Baqarah :: Indeks Tema Al Baqarah :: Daftar Surat :: Ibnu Katsir

Ayo bagikan sebagai sedekah…  


Yuk bagikan infonya...

About Auther:

Info Biografi

Formasi CPNS Lulusan SMA Di 8 Instansi Pemerintah
Hello. Add your message here.