Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 267

Yuk bagikan infonya...

Al Baqarah :: Indeks Tema Al Baqarah :: Daftar Surat :: Ibnu Katsir

Al-Baqarah: 267

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ وَلَسْتُم بِآخِذِيهِ إِلَّا أَن تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

Terjemahan

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Tafsir (Ibnu Katsir)

Tafsir Surat Al-Baqarah: 267-269

Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian. Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan (kikir); sedangkan Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dari-Nya dan karunia.

Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berinfak. Yang dimaksud dengan infak dalam ayat ini ialah bersedekah. Menurut Ibnu Abbas, sedekah harus diberikan dari harta yang baik (yang halal) yang dihasilkan oleh orang yang bersangkutan.

Menurut Mujahid, yang dimaksud dengan hasil usaha ialah berdagang; Allah telah memudahkan cara berdagang bagi mereka. Menurut Ali dan As-Suddi, makna firman-Nya: dari hasil usaha kalian yang baik. (Al-Baqarah: 267), Yakni emas dan perak, juga buah-buahan serta hasil panen yang telah ditumbuhkan oleh Allah di bumi untuk mereka. Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah memerintahkan kepada mereka untuk berinfak dari sebagian harta mereka yang baik, yang paling disukai dan paling disayang.

Allah melarang mereka mengeluarkan sedekah dari harta mereka yang buruk dan jelek serta berkualitas rendah; karena sesungguhnya Allah itu Mahabaik, Dia tidak mau menerima kecuali yang baik. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya. (Al-Baqarah: 267) Yakni janganlah kalian sengaja memilih yang buruk-buruk. Seandainya kalian diberi yang buruk-buruk itu, niscaya kalian sendiri tidak mau menerimanya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya.

Allah Mahakaya terhadap hal seperti itu dari kalian, maka janganlah kalian menjadikan untuk Allah apa-apa yang tidak kalian sukai. Menurut pendapat yang lain, makna firman-Nya: Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya. (Al-Baqarah: 267), Yakni janganlah kalian menyimpang dari barang yang halal, lalu dengan sengaja mengambil barang yang haram, kemudian barang yang haram itu kalian jadikan sebagai nafkah kalian.

Sehubungan dengan ayat ini ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa: telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Ishaq, dari As-Sabbah ibnu Muhammad, dari Murrah Al-Hamdani, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Sesungguhnya Allah telah membagikan di antara kalian akhlak-akhlak kalian, sebagaimana Dia telah membagi-bagi di antara kalian rezeki-rezeki kalian. Dan sesungguhnya Allah memberikan dunia ini kepada semua orang, baik yang disukai-Nya ataupun yang tidak disukai-Nya.

Tetapi Allah tidak memberikan agama kecuali kepada orang yang disukai-Nya. Maka barang siapa yang dianugerahi agama oleh Allah, berarti Allah mencintainya. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, seorang hamba masih belum Islam sebelum kalbu dan lisannya Islam, dan masih belum beriman sebelum tetangga-tetangganya merasa aman dari ulahnya. Mereka (para sahabat) bertanya, “”Wahai Nabi Allah, apakah yang dimaksud dengan bawa’iqahu?”” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “”Tipuan dan perbuatan aniayanya. Dan tidak sekali-kali seorang hamba mencari usaha dari cara yang diharamkan, lalu ia menginfakkannya dan mendapat berkah dari infaknya itu.

Dan tidak sekali-kali ia menyedekahkannya, lalu sedekahnya diterima darinya. Dan tidak sekali-kali ia meninggalkannya di belakang punggungnya (yakni menyimpannya), melainkan hartanya itu kelak menjadi bekal baginya di neraka. Sesungguhnya Allah tidak menghapus yang buruk dengan yang buruk lagi, melainkan Dia menghapus yang buruk dengan yang baik. Sesungguhnya hal yang buruk itu tidak dapat menghapuskan keburukan lainnya.”” Akan tetapi, pendapat yang shahih adalah pendapat yang pertama tadi.

Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Umar Al-Abqari, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Asbat, dari As-Suddi, dari Addi ibnu Sabit, dari Al-Barra ibnu Azib sehubungan dengan firman-Nya: Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian. Dan ja-nganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya. (Al-Baqarah: 267), hingga akhir ayat. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Anshar.

Dahulu orang-orang Anshar apabila tiba masa panen buah kurma, mereka mengeluarkan buah kurma yang belum masak benar (yang disebut busr) dari kebun kurmanya. Lalu mereka menggantungkannya di antara kedua tiang masjid dengan tali, yaitu di masjid Rasul. Maka orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin makan buah kurma itu. Lalu ada seorang lelaki dari kalangan mereka (kaum Anshar) dengan sengaja mencampur kurma yang buruk dengan busr (agar tidak kelihatan), ia menduga bahwa hal itu diperbolehkan.

Maka turunlah firman Allah berkenaan dengan orang yang berbuat demikian, yaitu: Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya. (Al-Baqarah: 267) Kemudian Ibnu Jarir, Ibnu Majah, dan Ibnu Mardawaih serta Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui As-Suddi, dari Addi ibnu Sabit, dari Al-Barra meriwayatkan hal yang semisal. Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini berpredikat shahih dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidak mengetengahkan hadits ini.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Israil, dari As-Suddi, dari Abu Malik, dari Al-Barra sehubungan dengan firman-Nya: Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. (Al-Baqarah: 267) Al-Barra mengatakan, “”Ayat ini diturunkan berkenaan dengan kami (kalangan Anshar); di antara kami ada orang-orang yang memiliki kebun kurma. Seseorang dari kami biasa mendatangkan sebagian dari hasil buah kurmanya sesuai dengan kadar yang dimilikinya; ada yang banyak, dan ada yang sedikit. Kemudian ada seorang lelaki (dari kalangan Anshar) datang dengan membawa buah kurma yang buruk, lalu menggantungkannya di masjid.

Sedangkan golongan suffah (fakir miskin) tidak mempunyai makanan; seseorang di antara mereka apabila lapar datang, lalu memukulkan tongkatnya pada gantungan buah kurma yang ada di masjid, maka berjatuhanlah darinya buah kurma yang belum masak dan yang berkualitas rendah, lalu memakannya. Di antara orang-orang yang tidak menginginkan kebaikan memberikan sedekahnya berupa buah kurma yang buruk dan yang telah kering dan belum masak, untuk itu ia datang dengan membawa buah kurmanya yang buruk dan menggantungkannya di masjid.

Maka turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: ‘Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya’ (Al-Baqarah: 267).”” Al-Barra ibnu Azib mengatakan, “”Seandainya seseorang di antara kalian diberi hadiah buah kurma seperti apa yang biasa ia berikan, niscaya dia tidak mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya dengan perasaan malu. Maka sesudah itu seseorang di antara kami selalu datang dengan membawa hasil yang paling baik yang ada padanya.”” Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, dari Abdullah ibnu Abdur Rahman Ad-Darimi, dari Ubaidillah (yaitu Ibnu Musa Al-Absi), dari Israil, dari As-Suddi (yaitu Ismail ibnu Abdur Rahman), dari Abu Malik Al-Gifari yang namanya adalah Gazwan, dari Al-Barra, lalu ia mengetengahkan hadits yang semisal.

Selanjutnya Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Kasir, dari Az-Zuhri, dari Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif, dari ayahnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyedekahkan dua jenis kurma, yaitu ju’rur dan habiq (kurma yang buruk dan kurma yang sudah kering). Tersebutlah bahwa pada mulanya orang-orang menyeleksi yang buruk-buruk dari hasil buah kurma mereka, lalu mereka menyedekahkannya sebagai zakat mereka.

Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya. (Al-Baqarah: 267) Imam Abu Dawud meriwayatkannya melalui hadits Sufyan ibnu Husain, dari Az-Zuhri. Kemudian ia mengatakan bahwa hadits ini disandarkan oleh Abul Walid dari Sulaiman ibnu KaSir, dari Az-Zuhri yang lafaznya berbunyi seperti berikut: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memungut kurma ju’rur (yang buruk) dan kurma yang telah kering sebagai sedekah (zakat). Imam An-Nasai meriwayatkan pula hadits ini melalui jalur Abdul Jalil ibnu Humaid Al-Yahsubi, dari Az-Zuhri, dari Abu Umamah, tetapi ia tidak menyebutkan dari ayahnya, lalu ia menuturkan hadits yang semisal.

Hal yang semisal telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Wahb, dari Abdul Jalil. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Abdullah ibnu Mugaffal sehubungan dengan ayat ini: Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk, lalu kalian nafkahkan darinya. (Al-Baqarah: 267) Ia mengatakan bahwa usaha yang dihasilkan oleh seorang muslim tidak ada yang buruk, tetapi janganlah ia menyedekahkan kurma yang berkualitas rendah dan uang dirham palsu serta sesuatu yang tidak ada kebaikan padanya (barang yang tak terpakai).

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Hammad (yakni Ibnu Sulaiman), dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Siti Aisyah yang telah menceritakan: Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat kiriman daging dab (semacam biawak), maka beliau tidak mau memakannya dan tidak pula melarangnya. Aku (Siti Aisyah) berkata, “”Wahai Rasulullah, bolehkah kami memberikannya kepada orang-orang miskin agar dimakan oleh mereka?”” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “”Janganlah kalian memberi makan mereka dengan makanan yang tidak pernah kalian makan.”” Kemudian ia meriwayatkan pula hal yang semisal dari Affan, dari Hammad ibnu Salamah; aku (Siti Aisyah) berkata, “”Wahai Rasulullah, bolehkah aku memberikannya kepada orang-orang miskin (agar dimakan mereka)?”” Beliau menjawab, “”Janganlah kalian memberi makan mereka dengan makanan yang tidak pernah kalian makan.”” Ats-Tsauri meriwayatkan dari As-Suddi, dari Abu Malik, dari Al-Barra sehubungan dengan firman-Nya: Padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. (Al-Baqarah: 267) Ia mengatakan, “”Seandainya seorang lelaki mempunyai suatu hak atas lelaki yang lain, lalu si lelaki yang berutang membayar utangnya itu kepada lelaki yang memiliki piutang, lalu ia tidak mau menerimanya, mengingat apa yang dibayarkan kepadanya itu berkualitas lebih ren-dah daripada miliknya yang dipinjamkan.”” Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. (Al-Baqarah: 267) Ibnu Abbas mengatakan, “”Seandainya kalian mempunyai hak atas seseorang, lalu orang itu datang dengan membawa hak kalian yang kualitasnya lebih rendah daripada hak kalian, niscaya kalian tidak mau menerimanya karena kurang dari kualitas yang sebenarnya.”” Selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan bahwa demikian pula makna yang terkandung di dalam firman-Nya: melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. (Al-Baqarah: 267) Maka bagaimana kalian rela memberikan kepadaku apa-apa yang kalian sendiri tidak rela bila buat diri kalian, hakku atas kalian harus dibayar dengan harta yang paling baik dan paling berharga pada kalian.

Asar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir, dan ditambahkan dalam riwayat ini firman Allah subhanahu wa ta’ala lainnya, yaitu: Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. (Ali Imran: 92) Kemudian diriwayatkan pula hal yang semisal dari jalur Al-Aufi dan lain-lainnya dari Ibnu Abbas. Hal yang sama diriwayatkan pula bukan hanya oleh seorang imam saja.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. (Al-Baqarah: 267) Dengan kata lain, sekalipun Dia memerintahkan kepada kalian untuk bersedekah dengan harta kalian yang paling baik, pada kenyataannya Dia tidak memerlukannya. Dia Mahakaya dari itu. Tidak sekali-kali Dia memerintahkan demikian melainkan hanya untuk berbagi rasa antara orang yang kaya dan orang yang miskin. Pengertian ayat ini sama dengan firman-Nya: Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapainya. (Al-Hajj: 37) Allah Mahakaya dari semua makhluk-Nya, sedangkan semua makhluk-Nya berhajat kepada-Nya.

Dia Mahaluas karunia-Nya, semua yang ada padanya tidak akan pernah habis. Maka barang siapa yang mengeluarkan suatu sedekah dari usaha yang baik (halal), perlu diketahui bahwa Allah Mahakaya, Mahaluas pemberian-Nya, lagi Mahamulia dan Maha Pemberi; maka Dia pasti akan membalasnya karena sedekahnya itu, dan Dia pasti akan melipatgandakan pahalanya dengan penggandaan yang banyak. Siapakah yang mau memberikan pinjaman kepada Tuhan Yang Mahakaya lagi tidak pernah aniaya? Dia Maha Terpuji dalam semua perbuatan, ucapan, syariat,dan takdirnya.

Tidak ada Tuhan selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan; sedangkan Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dari-Nya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 268) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar’ah, telah menceritakan kepada kami Hannad ibnus Sirri, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Murrah Al-Hamdani, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Sesungguhnya setan mempunyai dorongan dalam diri anak Adam dan malaikat pun mempunyai dorongan pula (dalam dirinya).

Adapun dorongan dari setan ialah dorongan yang menganjurkan kepada kejahatan dan mendustakan perkara yang hak. Dan adapun dorongan dari malaikat ialah dorongan yang menganjurkan kepada kebaikan dan percaya kepada perkara yang hak. Maka barang siapa yang merasakan dalam dirinya hal ini, hendaklah ia mengetahui bahwa yang demikian itu dari Allah, hendaklah ia memuji kepada Allah; dan barang siapa yang merasakan selain dari itu, maka hendaklah ia meminta perlin-dungan (kepada Allah) dari godaan setan.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan firman-Nya: Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan; sedangkan Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dari-Nya dan karunia. (Al-Baqarah: 268), hingga akhir ayat. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai di dalam kitab tafsir dari kitab sunnah masing-masing, dari Hannad ibnus Sirri. Ibnu Hibban mengetengahkannya pula di dalam kitab sahihnya dari Abu Ya’la Al-Mausuli, dari Hannad dengan lafal yang sama; Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Hadits ini bersumber dari Abul Ahwas (yakni Salam ibnu Salim).

Kami tidak mengenal hadits ini berpredikat marfu’ kecuali dari hadisnya. Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkan hadits ini di dalam kitab tafsirnya dari Muhammad ibnu Ahmad, dari Muhammad ibnu Abdullah ibnu Mas’ud secara marfu’ dengan lafal yang semisal. Akan tetapi, diriwayatkan oleh Mis’ar dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Abul Ahwas (yaitu Auf ibnu Malik ibnu Nadlah), dari Ibnu Mas’ud, lalu ia menjadikannya sebagai perkataan Ibnu Mas’ud sendiri.

Makna firman-Nya: Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan. (Al-Baqarah: 268) Maksudnya, menakut-nakuti kalian dengan kemiskinan agar kalian kikir dengan harta yang ada di tangan kalian sehingga kalian tidak menginfakkannya ke jalan yang diridai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan menyuruh kalian berbuat fahsya (kekejian). (Al-Baqarah: 268) Selain setan mencegah kalian untuk berinfak dengan mengelabui kalian akan jatuh miskin karenanya, dia pun memerintahkan kalian untuk melakukan perbuatan maksiat, dosa-dosa, serta hal-hal yang diharamkan dan hal-hal yang bertentangan dengan akhlak yang mulia. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: sedangkan Allah menjanjikan untuk kalian ampunan dari-Nya. (Al-Baqarah: 268) sebagai lawan dari apa yang dianjurkan oleh setan kepada kalian yang mendorong kepada perbuatan-perbuatan yang keji.

dan karunia. (Al-Baqarah: 268) sebagai lawan dari kemiskinan yang ditakut-takutkan oleh setan kepada kalian. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Al-Baqarah: 268) Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (Al-Baqarah: 269) Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan hikmah ialah pengetahuan mengenai Al-Qur’an, menyangkut nasikh dan mansukh-nya, muhkam dan mutasyabih-nya, muqaddam dan muakhkhar-nya, halal dan haramnya serta perumpamaan-perumpamaannya. Juwaibir meriwayatkan dari Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas secara marfu’, bahwa yang dimaksud dengan al-hikmah ialah Al-Qur’an, yakni tafsirnya.

Diartikan demikian oleh Ibnu Abbas mengingat Al-Qur’an itu dibaca oleh orang yang bertakwa dan juga oleh orang yang fajir (berdosa). Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih. Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid, yang dimaksud dengan al-hikmah ialah benar dan tepat dalam perkataan. Al-Laits ibnu Abu Salim meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (Al-Baqarah: 269) Yang dimaksud dengan hikmah bukanlah kenabian, melainkan ilmu, fiqih, dan Al-Qur’an.

Abul Aliyah mengatakan, yang dimaksud dengan hikmah ialah takut kepada Allah, karena takut kepada Allah merupakan puncak dari hikmah. Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui jalur Baqiyyah, dari Usman ibnu Zufar Al-Juhani, dari Abu Ammar Al-Asadi, dari Ibnu Mas’ud secara marfu’: Puncak hikmah adalah takut kepada Allah. Abul Aliyah, menurut salah satu riwayat yang bersumber darinya, mengatakan bahwa hikmah adalah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan pemahaman mengenainya.

Ibrahim An-Nakha’i mengatakan bahwa hikmah ialah pemahaman. Sedangkan menurut Abu Malik, hikmah adalah sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam Ibnu Wahb meriwayatkan dari Malik, bahwa Zaid ibnu Aslam pernah mengatakan bahwa hikmah ialah akal. Malik mengatakan, “”Sesungguhnya terdetik di dalam hatiku bahwa hikmah itu adalah pengetahuan mengenai agama Allah dan merupakan perkara yang dimasukkan oleh Allah ke dalam hati manusia sebagai rahmat dan karunia-Nya. Sebagai penjelasannya dapat dikatakan bahwa engkau menjumpai seorang lelaki pandai dalam urusan duniawinya jika ia memperhatikannya, sedangkan engkau jumpai yang lainnya lemah dalam perkara duniawinya, tetapi berpengetahuan dalam masalah agama dan mendalaminya.

Allah memberikan yang ini kepada lelaki yang pertama dan memberikan yang itu kepada lelaki yang kedua. Pada garis besarnya hikmah adalah pengetahuan mengenai agama Allah.”” As-Suddi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-hikmah dalam ayat ini ialah kenabian. Pendapat yang shahih sehubungan dengan arti hikmah ini ialah apa yang dikatakan oleh jumhur ulama, yaitu bahwa hikmah itu tidak khusus menyangkut kenabian saja, melainkan pengertian hikmah lebih umum dari itu, dan memang paling tinggi adalah kenabian.

Kerasulan lebih khusus lagi, tetapi pengikut para nabi memperoleh bagian dari kebaikan ini berkat mengikutinya. Seperti halnya yang disebut di dalam sebuah hadits yang isinya mengatakan: Barang siapa yang hafal Al-Qur’an, berarti derajat kenabian telah berada di antara kedua pundaknya, hanya dia tidak diberi wahyu. Hadits ini diriwayatkan oleh Waki’ ibnul Jarrah di dalam kitab tafsir-nya melalui Ismail ibnu Rafi, dari seorang lelaki yang tidak disebutkan namanya, dari Abdullah ibnu Umar yang dianggap sebagai ucapannya.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki’ dan Yazid. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail (yakni Ibnu Abu Khalid), dari Qais (yaitu Ibnu Abu Hazim), dari Ibnu Mas’ud yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak boleh ada iri hati kecuali dalam dua perkara, yaitu seorang lelaki yang dianugerahi harta oleh Allah, lalu ia menggunakannya untuk membiayai perkara yang hak; dan seorang lelaki yang dianugerahi hikmah oleh Allah, lalu ia mengamalkannya dan mengajarkannya (kepada orang lain). Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam An-Nasai, dan Imam Ibnu Majah melalui berbagai jalur periwayatan dari Ismail ibnu Abu Khalid dengan lafal yang sama.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal. (Al-Baqarah: 269) Yakni tiada yang dapat memanfaatkan pelajaran dan peringatan kecuali hanya orang yang mempunyai pemahaman dan akal, dengan melaluinya ia dapat memahami khitab (perintah) Allah subhanahu wa ta’ala

Sumber : learn-quran.co

Al Baqarah :: Indeks Tema Al Baqarah :: Daftar Surat :: Ibnu Katsir

Ayo bagikan sebagai sedekah…   

  


Yuk bagikan infonya...

About Auther:

Info Biografi

Program Warisan Rp 1 Miliar Selengkapnya...
Hello. Add your message here.