QADHA’ (PENETAPAN HUKUMAN)

Yuk bagikan infonya...

hukum

A. Pengertian Qadha’

Qadha’ adalah penjelasan mengenai hukum-hukum syariat dan pelaksanaannya.

B. Hukum Qadha’

Qadha’ adalah fardhu kifayah. Seorang imam (penguasa) di setiap negeri wajib mengangkat qadhi (hakim) di wilayah kekuasaannya sebagai pengganti dirinya di dalam menjelaskan hukum-hukum syariat dan mewajibkan rakyatnya menaatinya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Tidaklah halal bagi tiga orang yang tinggal di suatu wilayah dari belahan bumi, melainkun mereka harus mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin mereka.” [Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 6609. Hadits ini dikuatkan oleh sejumlah hadits lainnya yang menyebabkannya menjadi shahih]

C. Pentingnya Jabatan Qadha’ (Kehakiman)

Jabatan qadha’ adalah jabatan yang sangat penting dan agung, karena pada hakikatnya hakim itu merupakan wakil Allah SWT dan khalifah Rasulullah SAW, sehingga Rasulullah SAW memperingatkan dan menjelaskan pentingnya kedudukan hakim, sebagaimana disinyalir dalam sabdanya,

“Barangsiapa yang diangkat sebagai qadhi (hakim) di antara manusia maka sungguh ia telah disembelih tanpa pisau.” [Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 1325 dan beliau menshahihkannya]

Juga dalam sabda Rasulullah SAW,

“Qadhi (hakim) itu terbagi tiga kelompok: Satu orang akan dimusukkan ke surga dan dua orang akan dimasukkan ke neraka. Adapun qadhi yang akan dimusukkan ke surga adalah qadhi yang mengetuhui kebenaran dan memutuskan hukuman berdasarkannya, sedangkun qadhi yang mengetahui kebenaran namun menyimpung (darinya) dalam memutuskan hukuman, maka akan dimasukkan ke neraka, dan juga qadhi yang memutuskan perkara di antara manusia berdasarkan kebodohannya, maka akan dimasukkan ke neraka” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 3573; Ibnu Majah, no. 2315; at-Tirmidzi, no. 1322 dan  al-Hakim, 4/101 ia menshahihkannya]

Juga sabda Rasulullah SAW yang ditujukan kepada Abdurrahman bin Samurah,

“Hai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan kekuasaan, karena jika kamu diberi jabatan kekuasaan tanpa memintanya, niscaya kamu akan mendapatkan pertolongan (dari Allah) dalam mengembannya, sedangkan jika kamu diberi jabatan kekuasaun itu karena kamu memintanya, niscaya kamu akan diberi beban tanpa ada bantuan.” [Muttafaq ’alaih; al-Bukhari, no. 6622; Muslim, no. 1652]

Juga sabda Rasulullah SAW,

“Kelak orang-orang akan tamak kepada jabatan kekuasuan dan kelak mereka akan menyesal pada Hari Kiamat. Maka alangkah baik yang menyusui (yang memberikan kedudukan yaitu dunia), dan (tetapi) alangkah buruk yang menyapih (yaitu akhirat yang akan memisahkan dari kedudukan tersebut).” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 7148]

D. Jabatan Qadhi (Hakim) Tidak Boleh Diberikan Kepada Orang yang Memintanya

Jabatan qadhi semestinya tidak diberikan kepada orang yang memintanya atau orang yang ambisius untuk menjabatnya, karena jabatan qadhi adalah sebuah jabatan yang berat dan amanah yang besar, sehingga tidak akan memintanya kecuali orang yang menyepelekan keberadaannya, mengabaikan haknya, cenderung mengkhianatinya dan menyia-nyiakannya. Sedangkan dampak negatif dari hal tersebut ialah timbulnya kerusakan pada agama, negara dan hamba-hamba Allah yang tidak mungkin akan sanggup dipikul serta sulit ditanggulangi. Rasulullah SAW bersabda,

“Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan menguasakan tugus ini (hakim) kepada orang yang memintanya atau orang yang berambisi menjabatnya.” [Muttafaq ’alaih; al-Bukhari, no. 7149; Muslim, no. 1733]

Kemudian Rasulullah SAW bersabda,

“Kami tidak akan mempekerjakan pekerjaan kami terhadap seseorang yang menghendakinya.“ [Muttafaq ’alaih; al-Bukhari, no. 6923; Muslim, no. 1824]

E. Syarat-syarat Pengangkatan Qadhi

Seseorang tidak berhak diangkat sebagai qadhi kecuali memenuhi persyaratan sebagai berikut yaitu: Seorang Muslim, berakal, baligh, merdeka (bukan seorang budak), mengetahui (memahami) al-Qur’an dan as-Sunnah, mengetahui dengan apa dia memutuskan, adil [Bukan orang fasik yang disebabkan karena mengerjakan salah satu perbuatan dosa besar], dapat mendengar, dapat melihat dan dapat berbicara.

F. Etika Qadhi

Seorang qadhi harus memiliki etika sebagai berikut:

  1. Ia harus tegas, bukan kasar, dan harus lemah-lembut bukan lemah, supaya orang yang zhalim tidak tamak kepadanya dan pemilik hak tidak takut kepadanya; ia harus sabar bukan menghinakan diri, supaya orang-orang bodoh tidak bertindak kurang ajar (lancang) terhadapnya; ia harus hati-hati, bukan menunda-nunda dan mengabaikan masalah; dan ia harus seorang yang cerdas serta jeli tanpa merasa bangga terhadap dirinya dan tidak merendahkan orang lain.
  2. Kantornya harus berada di tengah-tengah negara dan ruangannya harus luas, sehingga dapat menampung semua pihak yang berperkara dan para saksi.
  3. Ia harus berlaku adil kepada semua pihak yang sedang berperkara dalam hal lirikan, pandangan, menyuruh duduk dan menyuruh masuk, jadi tidak boleh baginya mengutamakan salah satu pihak saja, majelisnya dihadiri para fuqaha’ dan orang-orang yang mengetahui al-Qur`an dan as-Sunnah, kemudian ia harus bermusyawarah dengan mereka dalam masalah yang sulit (krusial) baginya.

G. Hal-hal yang Harus Dijauhi Qadhi

Seorang qadhi harus menjauhi hal-hal sebagai berikut:

  1. Memutuskan hukuman dalam keadaan emosi atau kondisi fisik tidak normal karena sakit, lapar, haus, kepanasan, kedinginan, jenuh atau malas, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara di antara dua orang (yang berperkara) dalam keadaan marah.” [Muttafaq ’alaih; al-Bukhari, no. 7158; Muslim, no. 1717]

  1. Memutuskan perkara tanpa dihadiri para saksi.
  2. Memutuskan perkara sendiri atau perkara orang-orang yang ia tidak boleh menjadi saksi di dalamnya bagi mereka, seperti perkara anaknya, bapaknya dan istrinya.
  3. Menerima suap dalam menetapkan hukuman, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Laknat Allah terhadap penyuap dan penerimanya dalam menetapkan hukuman” [Diriwayatkan oleh Ahmad, no, 6496; Abu Dawud, no. 3580; at-Tirmidzi, no. 1337, dan dishahihkannya]

  1. Menerima hadiah dan seseorang yang tidak pernah memberinya sebelum ia diangkat menjadi qadhi, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Barangsiapa yang kami angkat untuk mengerjakan suatu pekerjaan, kemudiun kami memberinya rizki (gaji), maka sesuatu yang didapatkannya seteluh itu adalah sebuah pengkhianatan” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 2943 dan al-Hakim, 1/563]

Di dalam sanadnya terdapat perawi yang lemah, akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan hadits yang terdapat di dalam kitab Shahih Muslim, no. 1833.

[Yaitu hadits: “Barangsiapa di antaramu yang kami angkat untuk mengerjakan suatu pekerjaan, kemudian menyembunyikan sebatang jarum atau yang lebih besar dari itu, maka itu adalah suatu pengkhianatan yang akan dia bawa nanti pada Hari Kiamat.”]

H. Tugas-tugas Qadhi

Adapun tugas qadhi adalah sebagai berikut:

  1. Memutuskan perkara di antara dua orang yang saling berperkara dalam semua tuduhan atau seluruh perkara dengan putusan yang dapat dilaksanakan, atau perdamaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak jika bukti yang ada saling berlawanan atau argumentasi yang dikemukakan lemah.
  2. Mengalahkan orang-orang zhalim dan orang-orang yang batil, membantu orang-orang yang benar dan orang-orang yang dizhalimi serta memberikan hak kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
  3. Melaksanakan eksekusi dan menetapkan hukuman dalam perkara pembunuhan dan pelukaan.
  4. Menangani pernikahan, cerai, nafkah dan lain-lain.
  5. Menangani pengelolaan harta orang yang belum dewasa seperti anak-anak yatim, orang-orang gila, orang-orang yang pergi yang tidak jelas keberadaannya dan orang-orang yang terkena hajr (penyitaan aset).
  6. Menangani hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum negara, seperti: jalan-jalan, berbagai fasilitas umum dan kemaslahatan umum lainnya.
  7. Melaksanakan amar ma’ruf dan mewajibkan masyarakat supaya menunaikannya, mencegah kemungkaran serta merubahnya dan menghilangkan dampak negatifnya dari tempat terjadinya kemungkaran tersebut.
  8. Menjadi imam di dalam shalat Jum’at dan shalat Hari Raya.

I. Berdasarkan Apakah Seorang Qadhi Harus Memutuskan?

Ada empat perangkat hukum yang dapat dipergunakan oleh seorang qadhi dalam menetapkan hak atas orang yang berhak menerimanya, yaitu:

  1. Pengakuan, yaitu pengakuan terdakwa atas suatu hak, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Jika wanita itu mengakui (perbuatam zinanya), maka rajamlah dia.” [Muttafaq ’alaih; al-Bukhari, no, 6828; Muslim, no. 1698]

  1. Pembuktian, yaitu kesaksian para saksi, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Pembuktian diwajibkan atas penuduh sedangkan sumpah diwajibkan atas orang yang menolak (tuduhan).” [Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, 8/123 dengan sanad shahih]

Kemudian sabda Rasulullah SAW,

“Dua orang saksimu atau sumpahnya.” [Diriwayatkan oleh Muslim, no. 138]

Paling sedikit jumlah saksi adalah dua orang. Jika dua orang saksi tidak ada, maka cukup dengan satu saksi dan sumpah, berdasarkan keterangan yang dituturkan Abdullah bin al-Abbas RA,

“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah memutuskan perkara berdasarkan sumpah dan kesaksian satu orang.” [Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1712]

  1. Sumpah, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Pembuktian diwajibkan atas penuduh sedangkan sumpah diwajibkan atas orang yang menolak (tuduhan).” [Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, 8/123 dengan sanad shahih]

Jika penuduh tidak dapat membuktikan, maka tertuduh diminta supaya bersumpah satu kali dan ia dibebaskan dari tuduhan.

  1. Nukul (peringatan), yakni memperingatkan tertuduh jika ia menolak bersumpah. Dalam kasus tersebut, hendaklah qadhi berkata kepadanya, “Jika kamu bersumpah, maka aku akan melapangkan jalanmu (membebaskanmu), tapi jika kamu menolak bersumpah, maka aku akan memutuskan hukuman atas dirimu.” Jika tertuduh menolak bersumpah, maka qadhi harus menetapkan hukuman atas tertuduh. Akan tetapi Imam Malik RA berpendapat: “Jika terjadi nukul, maka sumpah dimintakan kepada penuduh, dan jika penuduh bersumpah, maka perkaranya dimenangkan olehnya” Imam Malik berhujjah bahwa Rasulullah SAW pun telah membalikkan sumpah tertuduh kepada penuduh dalam kasus perdamaian, dan hal itu lebih hati-hati dalam menetapkan hukuman dan lebih bersih dalam memutuskan tanggungan.

J. Cara Menetapkan Hukuman dan Langkah-langkahnya

Jika dua pihak yang berperkara telah hadir, hendaklah qadhi mendudukkan keduanya di hadapannya [Berdasarkan riwayat Abu Dawud, no. 3588, bahwa Abdullah bin Zubair berkata, “Rasulullah SAW memutuskan bahwa kedua pihak yang berperkara duduk di hadapan hakim”], lalu bertanya, “Manakah di antara kamu berdua yang menjadi penuduh?” Akan tetapi jika qadhi diam sehingga salah satu dari dua pihak yang berperkara menjelaskan tuduhannya, maka hal itu tidak menjadi masalah. Jika penuduh telah menjelaskan tuduhannya berikut buktinya, maka qadhi bertanya kepada pihak tertuduh, “Bagaimana tanggapanmu mengenai tuduhan itu?” Jika tertuduh mengakuinya, maka qadhi memenangkan penuduh. Sedangkan jika tertuduh menolaknya, maka qadhi bertanya, “Apakah pembuktianmu?” Jika tertuduh dapat membuktikan, maka qadhi harus memutuskan perkara tersebut berdasarkan bukti yang ada.

Kemudian jika tertuduh meminta waktu untuk mendatangkan barang bukti, maka qadhi harus memberikan waktu hingga tertuduh mendatangkan barang bukti. Jika tertuduh tidak dapat mendatangkan barang bukti, maka qadhi bertanya kepada tertuduh, “Apakah kamu bersedia bersumpah?” Jika tertuduh bersedia bersumpah, maka qadhi harus membebaskannya dari tuduhan. Sedangkan jika tertuduh menolak bersumpah, maka qadhi bertanya kepada tertuduh, “Jika kamu menolak bersurnpah, maka qadhi akan memberikan vonis.” Tetapi alangkah baik, jika sumpah itu dikembalikan kepada penuduh, dan jika penuduh bersedia bersumpah, maka qadhi harus menetapkan hukuman dan memenangkannya. Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Wail bin Ujr RA bahwa dua orang terlibat sengketa, di mana yang satu berasal dari Hadhramaut dan yang satunya lagi berasal dari Kindah, mereka terlibat sengketa, kemudian keduanya mengadukan perkaranya kepada Rasulullah SAW. Orang Hadhramaut berkata, “Ya Rasulullah, orang ini (Kindah) telah merampas tanahku.” Orang Kindah  berkata, “Tanah itu adalah tanahku dan berada dalam penguasaanku, sedang ia (Hadhramaut) tidak memiliki hak apa pun di dalamnya”

Rasulullah SAW bertanya kepada orang Hadhramaut, “Apakah kamu mempunyai bukti?” Orang Hadhramaut menjawab, “Tidak.” Rasulullah SAW berkata, “Jika begitu, bagimu sumpahnya.” Orang Hadhramaut berkata,

“Ya Rasulullah, orang itu sangat jahat sehingga ia tidak peduli dengan apa yang aku sumpahkan dan ia tidak takut dari apa pun.” Rasulullah SAW bersabda, “Kamu tidak memiliki apa-apa darinya kecuali itu.” [Diriwayatkan oleh Muslim, no. 139]

Catatan:

a). Jika qadhi mengetahui tentang keadilan saksi, maka ia harus memutuskan hukuman berdasarkannya, yakni kesaksian saksi tersebut.

b). Jika tuduhan ditujukan kepada seorang wanita yang memakai hijab (penutup), tidak dapat berdialog dengan laki-laki dan tidak dapat hadir di Pengadilan, maka ia tidak perlu diperintahkan supaya hadir di Pengadilan, dan sebagai penggantinya ia menyuruh seseorang supaya mewakilinya hadir di Pengadilan untuk mendengarkan tuduhan yang dituduhkan kepadanya.

c). Qadhi tidak boleh memutuskan perkara berdasarkan pengetahuannya, akan tetapi berdasarkem bukti supaya keadilan dan kebersihannya tidak diragukan, hal ini berdasarkan keterangan yang dituturkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq RA,

“Jika aku melihat seseorang melanggar salah sata had Allah, maka aku tidak akan menindaknya dan tidak akan memanggil orang lain supaya melihatnya, sehingga ada orang lain yang datang bersamaku” [Diriwayatkan oleh Ahmad]

[Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Di antara mereka ada yang membolehkan memvonis dengan pengetahuan hakim, yang lainnya tidak membolehkan. Yang lebih mendekati kebenaran -wallahu a’lam- adalah seorang hakim tidak memvonis dengan ilmunya melainkan ilmu tersebut pasti dan yakin serta tidak takut ada tuduhan bahwa ia memvonis berdasarkan kecenderungan hawa nafsunya tanpa bukti]

d). Jika tuduhan ditujukan kepada seseorang yang tidak bepergian, maka orang itu harus hadir di Pengadilan dan putusan hukuman tidak boleh dijatuhkan tanpa kehadirannya, kecuali jika ia mengutus wakil yang menggantikan dirinya. Jika ia tidak berada di tempat, maka ia harus dipanggil dan diminta hadir di Pengadilan, atau mengutus seseorang supaya hadir di Pengadilan untuk menggantikan dirinya.

e). Rekomendasi dari seorang qadhi terhadap qadhi lain dalam kasus yang selain had diperbolehkan, jika rekornendasi tersebut disaksikan oleh dua orang saksi.

f). Tuduhan yang tidak dijelaskan secara rinci oleh penuduh tidak boleh didengar, seperti penuduh berkata, “Aku memiliki sesuatu pada fulan”, atau ia berkata, “Aku menduga bahwa aku memiliki sesuatu pada fulan.” Tuduhan seperti itu tidak boleh didengar sehingga penuduh menjelaskan apa yang dimaksud dengan sesuatu tersebut dan serius dengan tuduhan yang dilontarkannya kepada tertuduh.

g). Keputusan hukum yang ditetapkan qadhi dalam hal-hal yang

nyata (bersifat lahiriyah, bukan batiniyah) tidak boleh menghalalkan hal-hal yang diharamkan dan tidak boleh mengharamkan hal-hal yang dihalalkan. Hal itu berdasarkan sabDa Rasulullah saw,

“Sesungguhnya aku adalah manusia biasa dan sesungguhnya kalian membawa persengketaanmu kepadaku, dan boleh jadi sebagian dari kamu lebih kuat alasannya daripada sebagian lainnya, lalu aku memutuskannya berdasarkan apa yang aku dengar. Karena itu barangsiapa yang aku menangkan (dalam suatu perkara sengketa) dari hak saudaranya, makaj anganlah dia mengambilnya, karena (pada dasarnya) aku memberinya sepotong (azab) dari neraka.” [Muttafaq ’alaih: al-Bukhari, no. 7169; Muslim, no. 1713]

h). Jika dua barang bukti saling bertentangan dan tidak ada sumber pembuktian yang lainnya bagi salah satu dari dua pihak yang berperkara, maka hak yang disengketakan dibagikan kepada kedua belah pihak yang sedang berperkara, karena Rasulullah SAW pun melaksanakan hal itu. [Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 3615: al-Baihaqi, 10/257 dan al-Hakim, 4/ 106]

[“Bahwa ada dua orang yang mempersengketakan seekor unta lalu masing-masing mereka membawa dua orang saksi, maka Nabi SAW membagi unta tersebut di antara mereka berdua”]

Referensi : Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jaza’iri, Minhajul Muslim, Darul Haq, Jakarta, 2016

Baca juga : 


Yuk bagikan infonya...

About Auther:

Info Biografi

BUKU TES TNI POLRI AKMIL AKPOL 2024
Hello. Add your message here.