Tafsir Surat Al Qadr

Yuk bagikan infonya...

DAFTAR SURAT | IBNU KATSIR 

Al-Qadr: 1

إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ فِى لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.

Al-Qadr: 2

وَمَآ أَدۡرَىٰكَ مَا لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ

Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?

Al-Qadr: 3

لَيۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ خَيۡرٌ مِّنۡ أَلۡفِ شَهۡرٍ

Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.

Al-Qadr: 4

تَنَزَّلُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذۡنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمۡرٍ

Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.

Al-Qadr: 5

سَلَٰمٌ هِىَ حَتَّىٰ مَطۡلَعِ ٱلۡفَجۡرِ

Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.

Tafsir Ibnu Katsir

Al-Qadr: 1-5

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.

Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan bahwa Dia menurunkan Al-Qur’an di malam Lailatul Qadar, yaitu malam yang penuh dengan keberkahan, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat lain melalui firman-Nya: sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkati. (Ad-Dukhan: 3) Yaitu Lailatul Qadar yang terletak di dalam bulan Ramadan, sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran. (Al-Baqarah: 185) Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan Al-Qur’an sekaligus dari Lauh Mahfuz ke Baitul ‘Izzah di langit yang terdekat.

Kemudian diturunkan secara terpisah-pisah sesuai dengan kejadian-kejadian dalam masa dua puluh tiga tahun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, mengagungkan kedudukan Lailatul Qadar yang dikhususkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagai malam diturunkan-Nya Al-Qur’an di dalamnya. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. (Al-Qadar: 2-3)

Abu Isa At-At-Tirmidzi sehubungan dengan tafsir ayat ini mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Abu Dawud At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnul Fadl Al-Haddani, dari Yusuf ibnu Sad yang mengatakan bahwa seorang lelaki bangkit menuju kepada Al-Hasan ibnu Ali sesudah membaiat Mu’awiyah. Lalu lelaki itu berkata, “Engkau telah mencoreng muka kaum mukmin,” atau, “Wahai orang yang mencoreng muka kaum mukmin.” Maka Al-Hasan ibnu Ali menjawab, “Janganlah engkau mencelaku, semoga Allah merahmatimu, karena sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah diperlihatkan kepadanya Bani Umayyah berada di atas mimbarnya, hal itu membuat diri beliau merasa berduka cita.

Maka turunlah firman Allah subhanahu wa ta’ala: ‘Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar’ (Al-Kautsar: 1) wahai Muhammad, yakni sebuah sungai (telaga) di dalam surga. Dan turunlah pula firman Allah subhanahu wa ta’ala: ‘Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan’ (Al-Qadar: 1-3). yang akan dimilikkan sesudahmu kepada Bani Umayyah, wahai Muhammad.” Al-Qasim mengatakan bahwa lalu kami menghitung-hitungnya, dan ternyata masa pemerintahan Bani Umayyah adalah seribu bulan, tidak lebih dan tidak kurang barang sehari pun.

Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib, kami tidak mengenalnya melainkan melalui jalur ini, yaitu melalui hadits Al-Qasim ibnul Fadl. Dia adalah seorang yang berpredikat siqah, dinilai siqah oleh Yahya Al-Qattan dan Abdur Rahman ibnu Mahdi. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa gurunya bernama Yusuf ibnu Sa’d yang dikenal dengan nama Yusuf ibnu Mazin, dia adalah seorang yang tidak dikenal.

Dan hadits dengan lafal yang seperti ini tidaklah dikenal melainkan hanya melalui jalur ini. Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan hadits ini melalui jalur Al-Qasim ibnul Fadl, dari Yusuf ibnu Mazin dengan sanad yang sama. Dan mengenai perkataan (penilaian) Imam At-Tirmidzi yang menyebutkan bahwa Yusuf ibnu Sa’d seorang yang tidak dikenal, masih perlu diteliti. Karena sesungguhnya telah meriwayatkan darinya sejumlah ulama yang antara lain ialah Hammad ibnu Salamah, Khalid Al-Hazza dan Yunus ibnu Ubaid.

Yahya ibnu Mu’in menilainya sebagai seorang yang masyhur (terkenal). Dan menurut suatu riwayat dari Ibnu Mu’in, Yusuf ibnu Sa’d adalah seorang yang siqah (dipercaya). Ibnu Jarir meriwayatkan hadits ini melalui jalur Al-Qasim ibnul Fadl, dari Yusuf ibnu Mazin, demikianlah menurutnya, dan ini menimbulkan idtirab dalam hadits ini; hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui. Kemudian hadits ini dengan hipotesis apa pun berpredikat munkar sekali. Guru kami Imam Al-Hafidzh Al-Hujjah Abul Hajjaj Al-Maziy mengatakan bahwa hadits ini berpredikat munkar.

Menurut hemat kami, ucapan Al-Qasim ibnul Fadl Al-Haddani yang menyebutkan bahwa ia menghitung-hitung masa pemerintahan Bani Umayyah, maka ternyata ia menjumpainya seribu bulan, tidak lebih dan tidak kurang barang sehari pun, pendapat ini tidaklah benar. Karena sesungguhnya Mu’awiyah ibnu Abu Sufyan baru memegang tampuk pemerintahan saat Al-Hasan ibnu Ali menyerahkannya kepada dia pada tahun empat puluh Hijriah, lalu semua baiat sepakat tertuju kepada Mu’awiyah, maka tahun itu dinamakan dengan tahun Jama’ah.

Kemudian Bani Umayyah terus-menerus memegang kendali pemerintahan berturut-turut di negeri Syam dan negeri lainnya. Tiada suatu kawasan pun yang memberontak terhadap mereka kecuali hanya di masa pemerintahan Abdullah ibnuz Zubair di kedua tanah suci (Mekah dan Madinah), dan Al-Ahwaz serta negeri-negeri yang terdekat selama sembilan tahun. Akan tetapi, kesatuan dan persatuan mereka tetap berada di bawah pemerintahan Bani Umayyah secara keseluruhan terkecuali hanya pada sebagian kawasan yang tertentu.

Hingga pada akhirnya kekhalifahan direbut dari tangan mereka oleh Banil Abbas pada tahun seratus tiga puluh dua. Dengan demikran, berarti jumlah masa pemerintahan Bani Umayyah seluruhnya adalah sembilan puluh dua tahun, dan ini berarti lebih dari seribu bulan, yang kalau dijumlahkan berarti hanya delapan puluh tiga tahun lebih empat bulan. Kalau begitu, berarti Al-Qasim ibnul Fadl menggugurkan masa pemerintahan mereka di masa-masa Ibnuz Zubair (yang hanya sembilan tahun itu).

Jika demikian, berarti jumlah ini mendekati kebenaran dari apa yang dikatakannya; hanya Allah jualah Yang Maha Mengetahui. Bukti lain yang menunjukkan ke-daif-an hadits ini ialah karena hadits ini sengaja diutarakan hanya untuk mencela pemerintahan Bani Umayyah. Seandainya dimaksudkan untuk mencela mereka, tentulah bukan dengan konteks seperti itu. Mengingat keutamaan LailatuI Qadar di masa-masa pemerintahan mereka bukanlah menunjukkan tercelanya hari-hari mereka.

Sesungguhnya malam LailatuI Qadar itu sangat mulia, dan surat yang mulia ini diturunkan hanya semata-mata memuji malam LailatuI Qadar. Lalu mengapa ayat ini memuji keutamaannya di masa-masa pemerintahan Bani Umayyah yang dinilai oleh hadits ini tercela. Hal ini tiada lain hanyalah seperti apa yang dikatakan oleh penyair: … Tidakkah engkau lihat, bahwa pedang itu turun pamornya bila dikatakan bahwa ia lebih tajam daripada tongkat? Penyair lainnya mengatakan: …

Jika engkau mengutamakan seseorang yang mempunyai keahlian di atas orang yang tidak mempunyai keahlian, maka sama saja dengan merendahkan martabat orang yang dipujinya. Kemudian bila-dipahami dari ayat ini bahwa seribu bulan yang disebutkan dalam ayat menunjukkan masa pemerintahan Bani Umayyah, sedangkan suratnya sendiri adalah Makkiyyah. Lalu bagaimana bisa dibelokkan dengan pengertian seribu bulan masa pemerintahan Bani Umayyah, padahal baik lafal maupun makna ayat tidak menunjukkan kepada pengertian itu.

Dan lagi mimbar itu hanyalah baru dibuat di Madinah sesudah hijrah. Semua bukti tersebut menunjukkan kelemahan dan kemungkaran hadits di atas; hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar’ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid, dari Ibnu Abu Najih, dari Mujahid, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seorang lelaki dari kalangan Bani Israil yang menyandang senjatanya selama seribu bulan dalam berjihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala Maka kaum muslim merasa kagum dengan perihal lelaki Bani Israil itu.

Mujahid melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. (Al-Qadar: 1-3) Maksudnya, lebih baik daripada lelaki itu menyandang senjatanya selama seribu bulan dalam berjihad di jalan Allah. Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Hakkam ibnu Muslim, dari Al-Musanna ibnus Sabbah, dari Mujahid yang mengatakan bahwa dahulu di kalangan kaum Bani Israil terdapat seorang lelaki yang malam harinya melakukan qiyam hingga pagi hari, kemudian di siang harinya ia berjihad di jalan Allah hingga petang hari.

Dia mengerjakan amalan ini selama seribu bulan, maka Allah menurunkan firman-Nya: Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. (Al-Qadar: 3) Yakni melakukan qiyam di malam kemuliaan itu lebih baik daripada amalan laki-laki Bani Israil itu. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Maslamah ibnu Ali, dari Ali ibnu Urwah yang mengatakan bahwa di suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang kisah empat orang lelaki dari kalangan kaum Bani Israil (di masa lalu); mereka menyembah Allah selama delapan puluh tahun tanpa melakukan kedurhakaan kepada-Nya barang sekejap mata pun.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan nama mereka, yaitu Ayyub, Zakaria, Hizkil ibnul Ajuz, dan Yusya’ ibnu Nun. Ali ibnu Urwah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa kagum dengan amalan mereka. Maka datanglah Jibril kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Muhammad, umatmu merasa kagum dengan ibadah mereka selama delapan puluh tahun itu tanpa berbuat durhaka barang sekejap mata pun. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah menurunkan hal yang lebih baik daripada itu.” Kemudian Malaikat Jibril ‘alaihissalam membacakan kepadanya firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. (Al-Qadar: -3) Ini lebih baik daripada apa yang engkau dan umatmu kagumi. Maka bergembiralah karenanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang bersamanya saat itu. Sufyan Ats-Tsauri mengatakan bahwa telah sampai kepadaku dari Mujahid sehubungan dengan malam kemuliaan lebih baik daripada seribu bulan.

Bahwa amalan, puasa, dan qiyamnya lebih baik daripada melakukan hal yang sama dalam seribu bulan. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar’ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah, dari Ibnu Juraij, dari Mujahid yang mengatakan bahwa malam kemuliaan lebih baik daripada seribu bulan yang di dalam bulan-bulannya tidak terdapat malam Lailatul Qadar.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah ibnu Di’amah dan Imam Syafii serta yang lainnya yang bukan hanya seorang. Amr ibnu Qais Al-Mala’i telah mengatakan bahwa melakukan suatu amalan di malam kemuliaan lebih baik daripada melakukan amalan selama seribu bulan. Dan pendapat yang menyebutkan bahwa malam Lailatul Qadar itu lebih afdal daripada melakukan ibadah selama seribu bulan yang di dalamnya tidak terdapat Lailatul Qadar, merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir, dan pendapat inilah yang benar, bukan yang lainnya.

Pengertian ini sama dengan apa yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan: Berjaga-jaga selama semalam di jalan Allah (jihad) lebih baik daripada seribu malam di tempat-tempat yang lainnya. Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Sebagaimana pula yang disebutkan berkenaan dengan keutamaan seseorang yang datang ke shalat Jumat dengan penampilan yang baik dan niat yang saleh, bahwa dicatatkan baginya amal selama satu tahun, berikut pahala puasa dan qiyamnya. Dan masih banyak lagi nas-nas lainnya yang semakna.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa ketika Ramadan tiba, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Telah datang kepadamu bulan Ramadan, bulan yang diberkati, Allah telah memfardukan bagimu melakukan puasa padanya. Di dalamnya dibukakan semua pintu surga dan ditutup rapat-rapat semua pintu neraka, dan setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Barang siapa yang terhalang dari kebaikannya, berarti dia telah terhalang (dari semua kebaikan). Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Ayyub dengan sanad yang sama.

Mengingat melakukan ibadah di dalam malam Lailatul Qadar sebanding pahalanya dengan melakukan ibadah selama seribu bulan, telah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Barang siapa yang melakukan qiyam (shalat sunat) di malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharapkan pahala dan rida Allah, maka diampunilah baginya semua dosanya yang terdahulu. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (Al-Qadar: 4) Yakni banyak malaikat yang turun di malam kemuliaan ini karena berkahnya yang banyak.

Dan para malaikat turun bersamaan dengan turunnya berkah dan rahmat, sebagaimana mereka pun turun ketika Al-Qur’an dibacakan dan mengelilingi halqah-halqah zikir serta meletakkan sayap mereka menaungi orang yang menuntut ilmu dengan benar karena menghormatinya. Adapun mengenai ar-ruh dalam ayat ini, menurut suatu pendapat makna yang dimaksud adalah Jibril ‘alaihissalam, yang hal ini berarti termasuk ke dalam Bab “Ataf khusus kepada umum.” Menurut pendapat lain menyebutkan, ar-ruh adalah sejenis malaikat tertentu, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya di dalam surat An-Naba.

Hanya Allah sajalah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: untuk mengatur segala urusan. (Al-Qadar: 4) Mujahid mengatakan bahwa selamatlah malam kemuliaan itu dari semua urusan. Sa’id ibnu Mansur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Malam itu (penuh) kesejahteraan. (Al-Qadar: 5) Bahwa malam itu penuh keselamatan, setan tidak mampu berbuat keburukan padanya atau melakukan gangguan padanya. Qatadah dan yang lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah semua urusan ditetapkan di dalamnya dan semua ajal serta rezeki ditakdirkan, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Ad’ Dukhan: 4) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (Al-Qadar: 5) Sa’id ibnu Mansur mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Abu Ishaq, dari Asy-Sya’bi sehubungan dengan makna firman-Nya: untuk mengatur segala urusan.

Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (Al-Qadar: 4-5) Makna yang dimaksud ialah salamnya para malaikat di malam Lailatul Qadar kepada orang-orang yang ada di dalam masjid sampai fajar terbit. Dan Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia membaca ayat ini dengan bacaan berikut: Min kulli imri’in, yang artinya menjadi seperti berikut: Kepada setiap orang (malaikat memberi salam) di malam Lailatul Qadar sampai terbit fajar, yang dimaksud adalah ahli masjid.

Imam Baihaqi telah meriwayatkan sebuah atsar yang gharib yang menceritakan turunnya para malaikat dan lewatnya mereka kepada orang-orang yang sedang shalat di malam itu (malam kemuliaan) sehingga orang-orang yang shalat mendapat berkah karenanya. Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan sebuah atsar yang gharib dari Ka’bul Ahbar cukup panjang menceritakan turunnya para malaikat dari Sidratul Muntaha dipimpin oleh Malaikat Jibril ‘alaihissalam ke bumi di malam kemuliaan dan doa mereka bagi orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan.

Abu Dawud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Imran Al-Qattan, dari Qatadah, dari Abu Maimunah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda sehubungan dengan malam kemuliaan (Lailatul Qadar): Sesungguhnya malam kemuliaan itu jatuh pada malam dua puluh tujuh atau dua puluh sembilan (Ramadan), dan sesungguhnya para malaikat di bumi pada malam itu jumlahnya lebih banyak daripada bilangan batu kerikil. Al-A’masy telah meriwayatkan dari Al-Minhal, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila sehubungan dengan makna firman-Nya: untuk mengatur segala urusan, yang (penuh) kesejahteraan. (Al-Qadar: 4-5) Yakni tiada suatu urusan pun yang terjadi di malam itu.

Qatadah dan Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: malam itu (penuh) kesejahteraan. (Al-Qadar: 5) Yaitu semuanya baik belaka, tiada suatu keburukan pun yang terjadi di malam itu sampai matahari terbit. Pengertian ini didukung oleh apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, “Telah menceritakan kepada kami Haiwah ibnu Syuraih, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah. telah menceritakan kepadaku Bujair ibnu Sa’d dan Khalid ibnu Madan: dari Ubadah ibnus Samit, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Lailatul Qadar terdapat di malam sepuluh yang terakhir (dari bulan Ramadan); barang siapa yang melakukan qiyam padanya karena mengharapkan pahala di malam-malam tersebut, maka Allah memberi ampunan baginya atas semua dosanyayang terdahulu dan yang kemudian.

Malam Lailatul Qadar adalah malam yang ganjil, yang jatuh pada malam dua puluh sembilan, atau dua puluh tujuh, atau dua puluh lima, atau dua puluh tiga, atau malam yang terakhir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda pula: Sesungguhnya pertanda Lailatul Qadar ialah cuacanya bersih lagi terang seakan-akan ada rembulannya, tenang, lagi hening; suhunya tidak dingin dan tidak pula panas, dan tiada suatu bintang pun yang dilemparkan pada malam itu sampai pagi hari.

Dan sesungguhnya pertanda Lailatul Qadar itu dipagi harinya matahari terbit dalam keadaan sempurna, tetapi tidak bercahaya seperti biasanya melainkan seperti rembulan di malam purnama, dan tidak diperbolehkan bagi setan ikut muncul bersamaan dengan terbitnya matahari di hari itu. Sanad hadits ini hasan dan di dalam matannya terdapat garabah, dan pada sebagian lafaznya terdapat yang hal munkar.

Abu Dawud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zam’ah, dari Salamah ibnu Wahram, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda sehubungan dengan malam Lailatul Qadar: (Yaitu) malam yang sedang lagi terang, tidak panas dan tidak dingin, dan pada keesokan harinya cahaya mataharinya lemah kemerah-merahan. Ibnu Abu ‘Ashim An-Nabil telah meriwayatkan berikut sanadnya dari Jabir ibnu Abdullah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Sesungguhnya aku telah melihat malam Lailatul Qadar, lalu aku dijadikan lupa kepadanya; malam Lailatul Qadar itu ada pada sepuluh terakhir (bulan Ramadan), pertandanya ialah cerah dan terang, suhunya tidak panas dan tidak pula dingin, seakan-akan padanya terdapat rembulan; setan tidak dapat keluar di malam itu hingga pagi harinya.

Para ulama berbeda pendapat, apakah di kalangan umat-umat terdahulu ada Lailatul Qadar, ataukah memang Lailatul Qadar hanya khusus bagi umat ini? Ada dua pendapat di kalangan mereka mengenainya. Abu Mus’ab alias Ahmad ibnu Abu Bakar Az-Zuhri mengatakan, telah menceritakan kepada kami Malik, telah sampai kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperlihatkan kepadanya usia-usia manusia yang sebelumnya dari kalangan umat terdahulu, atau sebagian dari hal tersebut menurut apa yang dikehendaki oleh Allah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seakan-akan menganggap pendek usia umatnya bila dibandingkan dengan mereka yang berusia sedemikian panjangnya dalam hal beramal, dan beliau merasa khawatir bila amal umatnya tidak dapat mencapai tingkatan mereka.

Maka Allah subhanahu wa ta’ala memberinya Lailatul Qadar yang lebih baik daripada seribu bulan. Hadits ini telah disandarkan melalui jalur lain, dan apa yang dikatakan oleh Malik ini memberikan pengertian bahwa Lailatul Qadar hanya dikhususkan bagi umat ini. Dan pendapat ini telah dinukil oleh penulis kitab Al-Iddah, salah seorang ulama dari kalangan mazhab Syafii dari jumhur ulama; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Al-Khattabi telah meriwayatkan adanya kesepakatan dalam hal ini, dan’Al-Qadi telah menukilnya secara pasti dari mazhab Syafii.

Akan tetapi, pengertian yang ditunjukkan oleh hadits memberikan pengertian bahwa Lailatul Qadar terdapat pula di kalangan umat-umat terdahulu sebagaimana terdapat di kalangan umat kita sekarang. Imam Ahmad Ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa’id, dari Ikrimah ibnu Ammar, telah menceritakan kepadaku Abu Zamil alias Sammak Al-Hanafi, telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Marsad ibnu Abdullah, telah menceritakan kepadaku Marsad yang telah mengatakan bahwa aku bertanya kepada Abu Dzar, “Apakah yang pernah engkau tanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Lailatul Qadar?” Abu Dzar menjawab, bahwa dirinyalah orang yang paling gencar menanyakan tentang Lailatul Qadar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepadaku tentang Lailatul Qadar, apakah terdapat di dalam bulan Ramadan ataukah di bulan yang lain?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, bahkan ia terdapat di dalam bulan Ramadan.” Aku bertanya lagi, “Apakah Lailatul Qadar itu hanya ada di masa para nabi saja? Apabila mereka telah tiada, maka Lailatul Qadar dihapuskan, ataukah masih tetap ada sampai hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, bahkan Lailatul Qadar tetap ada sampai hari kiamat.” Aku bertanya lagi, “Di bagian manakah Lailatul Qadar terdapat dalam bulan Ramadan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Carilah Lailatul Qadar dalam sepuluh malam terakhirnya, jangan kamu bertanya lagi mengenai apapun sesudah ini.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan perbincangannya, dan beliau terus berbincang-bincang, lalu aku memotong pembicaraannya dan bertanya, “Di malam dua puluh berapakah Lailatul Qadar itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Carilah ia di malam-malam sepuluh terakhir, dan jangan engkan bertanya lagi mengenainya sesudah ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan pembicaraannya, kemudian aku memotong lagi pembicaraannya dan kukatakan kepadanya, “Wahai Rasulullah, aku bersumpah kepada engkau demi hakku atas dirimu setelah engkau menceritakannya kepadaku, di malam dua puluh berapakah Lailatul Qadar itu?” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kelihatan marah, dan aku belum pernah melihat beliau marah seperti itu sejak aku menjadi sahabatnya, lalu beliau bersabda: Carilah ia di malam-malam tujuh terakhir, dan jangan lagi engkau menanyakannya kepadaku sesudah ini. Imam An-Nasai meriwayatkannya dari Al-Fallas, dari Yahya ibnu Sa’id Al-Qattan dengan sanad yang sama.

Di dalam hadits ini terkandung makna yang menunjukkan seperti apa yang telah kami sebutkan di atas, yaitu bahwa Lailatul Qadar masih tetap ada sampai hari kiamat, tiap tahunnya sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiada. Tidak sebagaimana yang disangka oleh sebagian golongan Syi’ah yang mengatakan bahwa Lailatul Qadar telah diangkat secara keseluruhan, sesuai dengan pemahaman mereka terhadap hadits yang akan kami kemukakan sehubungan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan: Maka diangkatlah (dihapuskanlah) LailatuI Qadar dan mudah-mudahan hal ini baik bagi kalian. Karena sesungguhnya makna yang dimaksud ialah hanya penghapusan mengenai pengetahuan malamnya secara tertentu.

Juga dalam hadits di atas menunjukkan bahwa LailatuI Qadar itu hanya khusus terjadi di dalam bulan Ramadan, bukan bulan-bulan lainnya. Tidak sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan ulama ahli Kufah yang mengikutinya, mereka mengatakan bahwa LailatuI Qadar itu terdapat di sepanjang tahun dan diharapkan terdapat di setiap bulannya secara merata. Imam Abu Dawud di dalam kitab sunannya telah menukil hadits ini dalam Bab “Penjelasan LailatuI Qadar” terdapat di semua Ramadan, untuk itu ia mengatakan bahwa: telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Zanjawaih As-Sami, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far ibnu Abu Kasir, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Uqbah, dari Abu Ishaq, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai LailatuI Qadar, sedangkan ia mendengarkannya.

Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: LailatuI Qadar terdapat di semua Ramadan. Sanad ini semua perawinya berpredikat siqah; hanya saja Abu Dawud mengatakan bahwa Syu’bah dan Sufyan telah meriwayatkan hadits ini dari Abu Ishaq, dan keduanya me-mauquf-kan hadits ini hanya sampai kepadanya. Dan telah diriwayatkan dari Abu Hanifah rahimahullah, bahwa LailatuI Qadar itu diharapkan terdapat di setiap bulan Ramadan. Ini merupakan suatu pendapat yang diriwayatkan oleh Al-Gazali dan dinilai gharib sekali oleh Ar-Rafi’i.

Kemudian dikatakan bahwa LailatuI Qadar itu terdapat di malam pertama bulan Ramadan, pendapat ini diriwayatkan dari Abu Razin. Menurut pendapat yang lain, LailatuI Qadar terdapat pada malam tujuh belas Ramadan. Sehubungan dengan hal ini Abu Dawud telah meriwayatkan sebuah hadits marfu’ dari Ibnu Mas’ud. Sebagaimana telah diriwayatkan pula hal yang sama secara mauquf hanya sampai pada Ibnu Mas’ud, Zaid ibnu Arqam, dan Usman ibnu Abul As.

Dan hal ini merupakan suatu pendapat yang bersumber dari Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii, dan diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri. Mereka mengemukakan alasannya, bahwa LailatuI Qadar terjadi di malam Perang Badar, yang jatuh pada hari Jumat tanggal tujuh belas Ramadan. Dan di pagi harinya terjadi Perang Badar, yaitu hari yang disebut oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui firman-Nya dengan sebutan Yaumul Furqan, alias hari pembeda antara perkara yang hak dan perkara yang batil. Menurut pendapat lain, LailatuI Qadar jatuh pada tanggal sembilan belas bulan Ramadan; pendapat ini bersumber dari Ali dan juga Ibnu Mas’ud.

Menurut pendapat yang lainnya lagi, LailatuI Qadar jatuh pada tanggal dua puluh satu berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf di malam-malam sepuluh pertama bulan Ramadan, dan kami pun ikut i’tikaf bersamanya. Lalu datanglah Jibril dan mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya yang engkau cari berada di depanmu.” MakaNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada malam-malam pertengahan (sepuluh kedua) bulan Ramadan, dan kami ikut beri’tikaf bersamanya. Dan Jibril datang lagi kepadanya, lalu berkata, “Yang engkau cari berada di depanmu.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan berkhotbah di pagi hari tanggal dua puluh Ramadan, antara lain beliau bersabda: Barang siapa yang telah melakukan i’tikaf bersamaku, hendaklah ia pulang, karena sesungguhnya aku telah melihat malam kemuliaan itu.

Dan sesungguhnya aku telah dibuat lupa terhadapnya, sesungguhnya malam kemuliaan itu berada di sepuluh terakhir bulan Ramadan pada malam-malam ganjilnya, dan sesungguhnya aku telah bermimpi seakan-akan diriku sedang sujud di tanah dan air (karena cuacanya hujan). Sedangkan atap masjid terbuat dari pelepah daun kurma, pada mulanya kami tidak melihat sepotong awan pun di langit. Lalu tiba-tiba terjadilah pelangi, dan terjadilah hujan, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa kami shalat sehingga aku melihat bekas tanah dan air menempel di kening beliau, hal ini membuktikan kebenaran dari mimpi yang dilihatnya.

Menurut riwayat yang lain, kejadian itu terjadi pada pagi hari tanggal dua puluh satu Ramadan; diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab sahihnya masing-masing. Imam Syafii mengatakan bahwa hadits ini merupakan hadits yang sanadnya paling shahih. Menurut pendapat lainnya, malam kemuliaan terjadi pada tanggal dua puluh tiga Ramadan berdasarkan hadits Abdullah ibnu Unais dalam kitab Sahih Muslim, dan hadits ini konteksnya mendekati hadisnya Abu Sa’id; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Menurut pendapat yang lainnya lagi, malam kemuliaan terjadi pada tanggal dua puluh empat Ramadan. Sehubungan dengan hal ini Abu Dawud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Al-Jariri, dari Abu Nadrah, dari A.bu Sa’id, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Lailatul Qadar adalah malam dua puluh empat (bulan Ramadan). Sanad hadits ini semua perawinya berpredikat siqah. Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Abul Khair As-Sanabiji, dari Bilal yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Lailatul Qadar adalah malam dua puluh empat (Ramadan).

Ibnu Lahi’ah orangnya daif. Hadits ini bertentangan dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Asbag, dari Ibnu Wahb, dari Arar ibnul Haris, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Abul Khair, dari Abu Abdullah As-Sanabiji yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Bilal juru azan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa malam kemuliaan itu terdapat pada malam tujuh terakhir dari bulan Ramadan.

Hadits ini mauquf hanya sampai kepada Bilal, dan inilah yang paling shahih; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Jabir, Al-Hasan, Qatadah, dan Abdullah ibnu Wahb, bahwa malam kemuliaan terdapat pada malam dua puluh empat Ramadan. Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan hadits Wasilah ibnul Asqa’ secara marfu’, yaitu dalam tafsir surat Al-Baqarah, berbunyi demikian: Sesungguhnya Al-Quran diturunkan pada malam dua puluh empat (Ramadan).

Menurut pendapat yang lainnya lagi, malam kemuliaan terdapat dalam malam dua puluh lima Ramadan, berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Carilah malam kemuliaan di malam-malam sepuluh terakhir dari bulan Ramadan, yaitu bila tinggal sembilan malam lagi atau bila tinggal tujuh malam lagi, atau bila tinggal lima malam lagi. Kebanyakan ulama menakwilkan makna hadits ini dengan malam-malam yang ganjil, dan pendapat inilah yang kuat dan yang terkenal.

Sedangkan ulama lainnya menakwilkannya terjadi pada malam-malam yang genap dari malam-malam sepuluh terakhir Ramadan. Ini berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Sa’id, bahwa ia menakwilkannya demikian; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Menurut pendapat yang lainnya lagi, malam kemuliaan terdapat dalam malam dua puluh tujuh Ramadan, berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dari Ubay ibnu Ka’b, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa malam kemuliaan terjadi pada tanggal dua puluh tujuh.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan yang telah mendengar dari Abdah dan ‘Ashim, dari Zur yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ubay ibnu Ka’b, “Wahai Abul Munzir, engkau pernah berkata bahwa saudaramu Ibnu Mas’ud pernah mengatakan bahwa barang siapa yang melakukan qiyaimil lail sepanjang tahun, niscaya akan menjumpai Lailatul Qadar.” Ubay ibnu Ka’b menjawab, “Semoga Allah merahmatinya, sesungguhnya dia telah mengetahui bahwa malam kemuliaan itu terdapat di dalam bulan Ramadan dan tepatnya di malam dua puluh tujuh.” Kemudian Ubay ibnu Ka’b bersumpah untuk menguatkan perkataannya.

Dan aku bertanya, “Bagaimanakah kamu mengetahuinya?” Ubay ibnu Ka’b menjawab, “Melalui alamat atau tandanya yang telah diberitahukan kepada kami oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa pada siang harinya mentari terbit di pagi harinya, sedangkan cahayanya lemah.” Imam Muslim telah meriwayatkan ini melalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah, Syu’bah, dan Al-Auza’i, dari Abdah, dari Zur, dari Ubay, lalu disebutkan hal yang semisal.

Yang di dalamnya disebutkan bahwa Ubay ibnu Ka’b mengatakan, “Demi Allah, yang tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia, sesungguhnya malam kemuliaan itu benar-benar berada di bulan Ramadan.” Ubay ibnu Ka’b bersumpah tanpa mengucapkan pengecualian, lalu ia melanjutkan, “Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui di tanggal berapakah Lailatul Qadar itu berada, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kami untuk melakukan qiyam padanya, yaitu tanggal dua puluh tujuh. Dan pertandanya ialah di pagi harinya mentari terbit dengan cahaya yang redup.” Dalam bab yang sama telah disebutkan dari Mu’awiyah, Ibnu Umar, dan Ibnu Abbas serta selain mereka, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah bersabda bahwa Lailatul Qadar itu adalah malam dua puluh tujuh.

Dan inilah pendapat yang dipegang oleh segolongan ulama Salaf, dan merupakan pendapat yang dianut di kalangan mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal rahimahullah, juga menurut suatu riwayat yang bersumber dari Imam Abu Hanifah menyebutkan hal yang sama. Telah diriwayatkan pula dari sebagian ulama Salaf, bahwa Imam Abu Hanifah berupaya menyimpulkan keadaan Lailatul Qadar jatuh pada tanggal duapuluh tujuh dari Al-Qur’an melalui firman-Nya, “Hiya (malam itu),” dengan alasan bahwa kalimat ini merupakan kalimat yang kedua puluh tujuh dari surat yang bersangkutan; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.”

Sumber : tafsir.learn-quran.co

Yuk bagikan sebagai sedekah…

Yuk bagikan infonya...

About Auther:

Info Biografi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

BUKU TES TNI POLRI AKMIL AKPOL 2024
Hello. Add your message here.