WASIAT

Yuk bagikan infonya...

Ilustrasi/Google
Ilustrasi/Google

A. Pengertian Wasiat

Wasiat adalah perjanjian untuk mengurus sesuatu atau mendermakan harta setelah wafat. Dari definisi tersebut di atas, maka wasiat dibagi menjadi dua bagian yaitu:

Pertama, wasiat kepada orang yang melakukan pelunasan hutang atau memberikan suatu hak; atau mengurus kepentingan anak-anak yang masih kecil hingga mereka dewasa.

Kedua, wasiat atas sesuatu yang diserahkan kepada pihak yang diwasiati.

B. Hukum Wasiat

Wasiat disyariatkan berdasarkan Firman Allah SWT,

“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang dari kalian menghadapi kematian, sedangkan dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kalian.” (Al-Ma`idah: 106).

Juga Firman Allah SWT,

“(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesuduh dipenuhi wasiat yang ia buat (dan) sesuduh dibayar hutangnya.“ (An-Nisa`: 11).

Juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Tidak sepantasnya seorang Muslim menyimpan sesuatu yang hendak ia wasiatkan selama dua malam, kecuali wasiatnya itu tertulis di sisinya.” [Muttafaq ’alaih; al-Bukhari, no. 2738; Muslim, no. 1627]

Wasiat diwajibkan kepada orang yang mempunyai hutang, orang yang mendapatkan titipan, atau orang yang mempunyai hak yang harus ditunaikannya, karena dikhawatirkan bahwa ia meninggal dunia sebelum hak-hak itu ditunaikannya, sehingga harta dan hak manusia lainnya terabaikan. Akibatnya ia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.

Wasiat disunnahkan bagi orang yang mempunyai harta kekayaan yang berlimpah dan ahli warisnya juga termasuk orang yang berkecukupan (kaya). Bagi orang yang demikian; disunnahkan mewasiatkan sepertiga hartanya atau kurang dari itu untuk kerabatnya yang selain ahli waris atau untuk suatu kebaikan, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Allah Ta’ala berfirman, ‘Hai anak Adam (manusia), ada dua perkara di mana kamu tidak memiliki hak pada salah satu dari kedaanya (kecaali dengan rahmat Allah). (pertama) Aku jadikan bagian untukmu dari hartamu (yaitu untuk berwasiat) keitka Aku menarik kerongkonganmu (mewafatkanmu) agar Aku dapat membersihkanmu dan menyucikanmu dengannya, dan (kedua) doa hamba-hambaKu kepadamu sesudah habis ajalmu.” [Diriwayatkan oleh Abd bin Humaid dalam Musnaduya, 1/247 dengan sanad yang shahih. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 2710]

Ketika Sa’ad bin Abi Waqqas bertanya kepada Rasulullah SAW tentang wasiat, beliau bersabda,

“Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesunggahnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan (kaya) lebih baik bagimu daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, meminta-minta kepada munusia lainnya.” [Muttafaq ’alaih; al-Bukhari, no. 2742, Muslim, no. 1628]

C. Syarat-syarat Wasiat

  1. Penerima wasiat dalam hal pengurusan sesuatu harus seorang Muslim, berakal dan dewasa, karena orang non Muslim dikhawatirkan akan menyia-nyiakan hak-hak yang telah diwasiatkan kepadanya yang harus ditunaikannya atau mengurusi anak-anak yang masih kecil.
  2. Pemberi wasiat yang sedang sakit disyaratkan harus berakal, dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, dan berkuasa penuh atas apa yang diwasiatkannya.
  3. Sesuatu yang diwasiatkan adalah sesuatu yang dibolehkan. Jadi wasiat tidak boleh dilaksanakan atas sesuatu yang diharamkan. Misalnya: Seseorang berwasiat agar meratapinya saat kematiannya, atau berwasiat supaya uangnya disumbangkan ke gereja, atau untuk perbuatan bid’ah yang dibenci, atau untuk tempat hiburan, atau untuk tempat maksiat.
  4. Penerima wasiat disyaratkan menerimanya, jika ia menolaknya maka wasiat dihukumi tidak sah, dan setelah itu ia tidak mempunyai hak di dalamnya.

D. Beberapa Ketentuan Hukum Tentang Wasiat

  1. Pemberi wasiat dibolehkan untuk mengubah wasiatnya, berdasarkan keterangan yang dituturkan Umar RA, “Seseorang dibolehkan mengubah wasiatnya sesuai dengan kehendaknya.” [Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, 6/281]
  2. Bagi pemberi wasiat yang mempunyai ahli waris, tidak diperbolehkan berwasiat lebih dari sepertiga hartanya, berdasarkan sebuah riwayat; bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash RA menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah SAW “Apakah aku boleh menyedekahkan dua pertiga dari hartaku?” Beliau menjawab, “Tidak boleh. “Sa’ad bertanya, “Apakah boleh mensedekahkan separuhnya?” Beliau menjawab, “Tidak boleh.” Sa‘ad bertanya lagi, “Apakah boleh sepertiganya?” Beliau menjawab,

“(Cukup) sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya kamu disebabkan meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan (kaya) lebih baik bagimu daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada manusia lainnya.” [Muttafaq ’alaih]

  1. Tidak boleh berwasiat untuk diberikan kepada ahli waris meski hanya sedikit kecuali ahli waris lainnya merelakannya sepeninggal pemberi wasiat. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang memiliki hak akan haknya, maka tidak ada wasiat untuk ahli waris, kecuali dikehendaki oleh ahli waris lainnya.” [Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 2121 dan dishahihkannya]

  1. Jika sepertiga yang diwasiatkan itu tidak cukup untuk semua wasiat, maka dibagi secara merata kepada pihak-pihak yang berhak mendapatkannya, seperti pembagian secara merata bagi para kreditur dalam kasus orang yang mengalami kebangkrutan.
  2. Wasiat tidak dilaksanakan, kecuali setelah pelunasan hutang, berdasarkan keterangan yang dituturkan Ali bin Abi Thalib RA,

“Rasulullah SAW memerintahkan pelunasan hutang sebelum pelaksanaan wasiat.”

[Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 2522. Dalam sanadnya ada kelemahan, ia berkata, “Hadits ini diamalkan oleh para ulama”]

Karena melunasi hutang hukurnnya wajib, sedangkan menunaikan wasiat hukumnya sunnah, maka menunaikan yang wajib harus didahulukan daripada yang sunnah.

  1. Wasiat dengan sesuatu yang tidak ada di tempat atau dengan sesuatu yang belum ada hukumnya boleh, karena wasiat adalah perbuatan baik kepada seseorang. jika sesuatu yang diwasiatkan itu memang ada, maka seseorang berhak untuk mendapatkannya, dan jika tidak ada, maka hal tersebut tidak apa-apa. Misalnya: Seseorang mewasiatkan sesuatu yang akan dihasilkan kambing atau panen yang akan dihasilkan pohon.
  2. Penerimaan suatu wasiat oleh penerima wasiat boleh dilakukan semasa hidup pemberi wasiat atau sepeninggalnya, dan penerima wasiat diperbolehkan mengundurkan dirinya dari kedudukannya sebagai penerinna wasiat karena merasa khwatir akan menyia-nyiakannya atau mengabaikan yang diwasiatkan kepadanya, baik berupa harta, hak-hak atau anak yatim.
  3. Orang yang diwasiati sesuatu yang telah ditentukan tidak boleh mengalihkannya kepada sesuatu yang lain tanpa seizin pemberi wasiat, karena menurut ketentuan syariat, seseorang tidak diperbolehkan mengurusi hak manusia lainnya tanpa seizin mereka.
  4. Jika setelah wasiat dilaksanakan, ternyata pemberi wasiat tersebut memiliki hutang, maka penerima wasiat tidak wajib menanggung hutang tersebut karena sebelumnya ia tidak mengetahuinya dan ia tidak menyia-nyiakan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya.
  5. Jika pemberi wasiat mewasiatkan suatu barang, dan barang tersebut mengalami kerusakan, maka wasiat dianggap batal dan wasiat tersebut tidak harus diganti dengan harta yang lain.
  6. Jika pemberi wasiat mewasiatkan suatu barang kepada salah satu ahli warisnya, akan tetapi hal itu tidak mendapat persetujuan dari sebagian ahli waris yang lainnya, maka wasiat tetap ditunaikan yang diambil dari bagian ahli waris yang menyetujuinya dan tidak diambil dari bagian ahli waris yang tidak menyetujuinya. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Kecuali dikehenduki oleh ahli waris yang lainnya.” [Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, 6/263]

  1. Jika pemberi wasiat berkata, “Aku mewasiatkan untuk anak-anak fulan (A) tentang anu dan anu”, maka penerima wasiat harus menyamakan bagian mereka; baik anak laki-laki maupun anak perempuan, karena kata anak-anak bersifat umum; yakni mencakup anak laki-laki dan juga anak perempuan. Allah SWT berfirman,

“Allah mensyariatkan bagimu tentung (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (An-Nisa`: 11).

Begitu juga jika pemberi wasiat berkata, “Aku wasiatkan untuk anak laki-laki fulan (A)”, maka wasiat tersebut khusus bagi anak laki-laki fulan (A) dan tidak bagi anak-anak perempuannya. Demikian juga jika pemberi wasiat berkata, “Aku Wasiatkan untuk anak perempuan fulan (A)”, maka Wasiat tersebut khusus bagi anak perempuan fulan (A) dan tidak bagi anak laki-lakinya.

13). Barangsiapa menulis wasiat tanpa disaksikan para saksi, maka selagi tidak diketahui, boleh menarik kembali wasiatnya, karena jika ia diketahui menarik kembali wasiatnya, maka wasiatnya dianggap batal dan tidak boleh dilaksanakan.

Contoh Surat Wasiat

Setelah basmalah dan hamdalah, selanjutnya disebutkan:

“Inilah yang diwasiatkan fulan bin fulan dan saksi-saksinya mengetahui mengenai kondisi kesehatan akalnya dan kecerdasan pemahamannya; di mana ia bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah; yang tidak ada sekutu bagiNya, dan ia bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu ialah hamba dan RasulNya. Sesungguhnya surga itu benar adanya, neraka benar adanya, Hari Kiamat itu benar adanya tanpa ada keragu-raguan sedikit pun di dalamnya dan sesungguhnya Allah akan membangkitkan jenazah-jenazah yang berada di dalam kubur.

Orang tersebut berpesan kepada anak-anaknya, istrinya, dan kerabatnya supaya bertakwa kepada Allah SWT, beribadah kepadaNya, memegang teguh syariatNya, menegakkan agamaNya serta mati dalam keadaan Muslim. Orang tersebut juga berpesan, semoga Allah memaafkannya dan memberikan taufik kepadanya: Jika kematian yang telah ditetapkan Allah kepada seluruh mahlukNya telah datang kepadanya, maka seluruh hartanya harus dijaga dengan baik, di mana hartanya supaya dipergunakan untuk membiayai pengurusan, pengkafanan dan pemakaman jenazahnya, kemudian dipergunakan untuk melunasi hutang-hutangnya yang ada dalam tanggungannya yang diakuinya di hadapan para saksi bahwa ia mempunyai hutang kepada fulan (A) sebesar sekian (sebutkan nominalnya), dan sepertiga dari hartanya dikeluarkan untuk fulan (A) sebagai pelunasan hutang, kemudian sisa hartanya dibagikan kepada ahli warisnya yaitu: fulan (B), fulan (C) dan fulan (D), karena hal itu adalah suatu kewajiban yang telah diwajibkan Allah SWT.

Pemberi wasiat juga berwasiat kepada fulan (F) supaya mengurus anak-anaknya yang masih kecil yaitu: Fulan (G) dan fulan (H), menjaga harta mereka hingga mereka dewasa serta membantu pendewasaan mereka. Semuanya diwasiatkannya kepada fulan (F); dan pemberi wasiat tersebut telah menyerahkan apa yang diwasiatkannya kepada fulan (F) setelah sebelumnya menyerahkannya kepada Allah; karena ia mengetahui kualitas agama, kejujuran, keadilan dan kemampuan fulan (F) sebagai penerima wasiat. Pemberi wasiat memberikan kebebasan kepada fulan (F) untuk menyerahkan atau mewasiatkan anak-anaknya yang masih kecil kepada siapa saja yang dikehendakinya. Penerima wasiat menerima wasiat tersebut di tempat di mana wasiat disampaikan kepadanya yang disaksikan sejumlah saksi dengan suatu penerimaan yang sesuai dengan ketentuan hukum syariat. Surat wasiat ini ditandatangani setelah dikaji dan dibaca pada tanggal sekian (sebutkan tanggalnya).”

Oleh : Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jaza’iri (Minhajul Muslim)

Artikel Pilihan

100 Artikel Keislaman tentang Adab, Aqidah, Bisnis, Jihad, Pidana, Nikah, Hukum, Waris, dll

Yuk bagikan sebagai sedekah…

Yuk bagikan infonya...

About Auther:

Info Biografi

Formasi CPNS untuk SMA Di 8 Instansi Pemerintah
Hello. Add your message here.