NIKAH

Yuk bagikan infonya...

pengantin-muslim

A. Pengertian Nikah

Nikah adalah akad yang menghalalkan pasangan suami dan istri untuk saling menikmati satu sama lainnya.

B. Hukum Nikah

Nikah disyariatkan berdasarkan Firman Allah SWT,

“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi: Dua, tiga atau empat, kemudian jika kalian takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang wanita saja, atau budak-budak wanita yang kalian miliki; yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3).

Kemudian Firman Allah SWT,

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak (nikah) dari budak-budak laki-laki kalian dan budak-budak wanita kzzalian.“ (An-Nur: 32).

Nikah hukumnya wajib bagi orang yang mampu membiayainya Serta merasa khawatir akan terjerumus ke dalam perbuatan yang diharamkan. Dan nikah hukumnya sunnah bagi orang yang mampu membiayainya, tetapi ia tidak merasa khawatir akan terjerumus ke dalam perbuatan yang diharamkan, sebagaimana ditegaskan di dalam sabda Rasulullah SAW,

“Hai para pemuda, barangsiapa dari kalian mampu memberi nafkah, maka menikahlah, karena nikah itu dapat menundukkan pandangan serta lebih memelihara kemaluan.” [Muttafaq ’alaih; al-Bukhari, no. 5066; Muslim, no, 1400]

Dalam hadits lainnya Rasulullah SAW bersabda,

“Nikahilah wanita-wanita yang banyak cintanya lagi subur, karena aku akan membanggakan kalian disebabkan jumlah yang banyak atas umat (terdahulu) pada Hari Kiamat.” [Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 12202; Abu Dawud, no. 2050 dan Ibnu Hibban, 9/338 dan dishahihkannya]

C. Hikmah Nikah

Di antara hikmah nikah adalah sebagai berikut:

  1. Melestarikan manusia dengan perkembangbiakan yang dihasilkan melalui nikah.
  2. Kebutuhan pasangan suami istri terhadap pasangannya untuk memelihara kemaluannya dengan melakukan hubungan seks yang suci.
  3. Kerja sama pasangan suami istri di dalam mendidik anak dan menjaga kehidupannya.
  4. Mengatur hubungan seorang laki-laki dengan seorang wanita berdasarkan prinsip pertukaran hak dan bekerja sama yang produktif dalam suasana yang penuh cinta kasih serta perasaan saling menghorrnati satu sama lainnya.

D. Rukun-rukun Nikah

Untuk keabsahan nikah dibutuhkan empat rukun, yaitu:

  1. Wali

Yaitu bapak kandung mempelai wanita, penerima wasiat, atau kerabat terdekat dan seterusnya sesuai dengan urutan ashabah wanita tersebut, atau orang bijak dari keluarga wanita tersebut, atau pemimpin setempat, karena Rasulullah SAW bersabda,

“Tidak ada nikah, kecuali dengan wali.”

[Diriwayatkan oleh Ashab as-Sunan: Abu Dawud, no. 2085; at-Tirmidzi, no. 1101; Ibnu Majah, no. 1801. Dishahihkan oleh al-Hakim, 2/185 dan Ibnu Hibban, 9/386]

Umar bin al-Khaththab RA berkata, “Wanita tidak boleh dinikahi, kecuali atas izin walinya, atau orang bijak dari keluarganya atau seorang pemimpin.” [Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa, Kitab an-Nikah, no. 1]

Adapun ketentuan hukum bagi wali adalah sebagai berikut:

a). Orang yang layak menjadi wali, yaitu: Laki-laki, baligh, berakal sehat dan merdeka, bukan budak.

b). Hendaklah si wali meminta izin dari perempuan yang ingin dia nikahkan jika wanita itu seorang gadis dan walinya adalah bapaknya sendiri, dan meminta pendapatnya jika wanita itu seorang janda, atau seorang gadis, tetapi walinya bukan bapaknya sendiri, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Janda lebih berhak atus dirinya sendiri daripada walinya, dan gadis harus dimintai izinnya, dan izinnya itu ialah diamnya. ” [Diriwayatkan oleh Malik, no. 1114 dengan sanad yang shahih; Muslim, no. 1421]

c). Perwalian seorang kerabat dihukumi tidak sah dengan adanya wali yang lebih dekat kepada wanita tersebut. Jadi tidak sah perwalian saudara sebapak dengan adanya saudara yang sekandung, atau perwalian anak saudara dengan adanya saudara.

d). Jika seorang wanita mengizinkan kepada dua orang kerabatnya supaya menikahkan dirinya dan masing-masing dari keduanya menikahkannya dengan orang lain, maka wanita itu menjadi istri dari laki-laki yang lebih dahulu dinikahkan dengannya dan jika akad dilaksanakan pada waktu yang sama, maka pernikahan wanita itu dengan kedua laki-laki tersebut dihukumi batal.

  1. Dua orang saksi

Pernikahan hendaklah dihadiri dua orang saksi atau lebih dari kaum laki-laki yang adil dari kaum Muslimin. Hal itu berdasarkan Firman Allah SWT,

“Dan persaksikanlah dengan dan orang saksi yang adil di antara kalian.” (Ath-Thalaq: 2).

[Walaupun ayat ini berkaitan dengan talak dan rujuk, namun pernikahan dikiaskan (dianalogikan) kepada kedua hal tersebut]

Juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Tidak ada nikah, kecuali dengun wali dan dua orang saksi yang adil.”

[Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, 7/125 dan ad-Daraquthni, 3/226. Hadits ini cacat, kemudian Imam asy-Syafi’i meriwayatkannya secara mursal dari jalan lain, dan beliau berkata, “Jumhur ulama mengamalkannya.” Begitu juga yang dikatakan oleh at-Tirmidzi]

Adapun ketentuan hukum bagi kedua orang saksi adalah sebagai berikut:

a). Saksi nikah terdiri dari dua orang atau lebih.

b). Kedua orang saksi nikah hendaklah orang yang adil, yang dibuktikannya dengan meninggalkan dosa-dosa besar dan kebanyakan dosa kecil. Sedang orang fasik adalah orang yang biasa melakukan zina, meminum minuman keras, atau memakan harta riba, sehingga kesaksiannya dihukumi tidak sah. Hal tersebut berdasarkan Firman Allah SWT,

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian.” (At-Thalaq: 2).

Juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Tidak ada nikah, kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” [Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, 7/125 dan ad-Daraquthni, 3/226]

c). Di masa kita sekarang ini, sebaiknya jumlah saksi diperbanyak, karena sedikitnya orang yang adil.

  1. Shighat akad nikah

Adapun yang dimaksud dengan shighat akad nikah adalah perkataan dari mempelai laki-laki atau wakilnya ketika akad nikah, misalnya mempelai laki-laki meminta kepada walinya, seraya berkata, “Nikahkanlah aku dengan putrimu atau putri yang diwasiatkan kepadamu yang bernama fulanah (A)”, si wali berkata, “Aku nikahkan kamu dengan putriku yang bernama fulanah (A)”, dan mempelai laki-laki menjawab, “Aku terima nikahnya putrimu denganku.”

Beberapa ketentuan hukum shighat:

a). Setaranya calon suami dengan calon istri, di mana calon suaminya adalah seorang yang merdeka (bukan budak), berakhlak mulia, beragama serta amanah (jujur), berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Jika telah datang kepadamu seseorang (laki-laki) yang kamu ridhai akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu). Jika tidak, niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar di bumi.” [Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 1085. Hadits ini termasuk hadits hasan gharib]

b). Diperbolehkannya perwakilan di dalam akad nikah. Jadi calon suami diperbolehkan mewakilkan kepada siapa saja yang dikehendakinya di dalam akad nikah. Sedangkan calon istri, maka walinya sendirilah yang boleh melangsungkan akad nikahnya.

  1. Mahar (maskawin)

Mahar adalah sesuatu yang diberikan calon suami kepada calon istri untuk menghalalkan menikmatinya, dan hukumnya adalah wajib, berdasarkan Firman Allah SWT,

“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa`: 4).

Rasulullah SAW bersabda,

“Carilah mahar meskipun hanya cincin dari besi.” [Muttafaq ’alaih; al-Bukhari, no. 5121; Muslim, no. 1425]

Beberapa ketentuan hukum tentang mahar:

a). Mahar disunnahkan mudah (ringan), berdasarkan Sabda Rasulullah SAW,

“Wanita yang paling besar berkahnya adalah wanita yang paling mudah (ringan) maharnya.“ [Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 24595; al-Hakim, 2/194; dan al-Baihaqi, 7/235 dengan sanad yang shahih]

Juga karena mahar putri-putri Rasulullah SAW hanya sebesar 400 dirham atau 500 dirham, [Diriwayatkan oleh Ashhab as-Sunan: Abu Dawud, no. 2107; an-Nasa`i, no. 3349; Ibnu Majah, no. 1887 dan at-Tirmidzi, no. 1114 menshahihkannya] dan mahar istri-istri beliau pun hanya sebesar 400 atau 500 dirham. [Diriwayatkan oleh Muslim, no. 142]

b). Disunnahkan menyebutkan mahar ketika akad.

c). Mahar diperbolehkan dengan setiap barang yang mubah (dibolehkan) yang harganya lebih dari 1/4 (seperempat) dinar, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Carilah mahar meskipun hanya cincin dari besi.” [Muttafaq ’alaih; al-Bukhari, no. 5121, Muslim, no. 1425]

d). Mahar boleh dibayar kontan ketika akad nikah, atau ditangguhkan (hutang), atau hanya sebagiannya saja yang ditangguhkan, berdasarkan Firman Allah SWT,

“Jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka, padahal kalian telah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua (separuh) dari mahar yang telah kalian tentukan itu.” (Al-Baqarah: 237).

Akan tetapi sebelum suami menggauli istrinya disunnahkan memberikan sesuatu kepada istrinya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, no. 2125 dan an-Nasa’i, no. 3376,

“Bahwa Nabi SAW telah memerintahkan Ali bin Abi Thalib RA supaya memberikan sesuatu kepada Fathimah RA sebelum berhubungan badan dengannya. Ali bin Abi Thalib RA berkata, ‘Aku tidak mempunyai sesuatu apa pun’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Di manakah baju besimu?‘ Kemudian Ali bin Abi Thalib RA pun memberikan baju besinya kepada Fathimah RA.”

5). Mahar merupakan tanggungan suami ketika akad nikah dan merupakan kewajiban ketika suami telah menggauli istrinya.

“Jika seorang suami menceraikan istrinya sebelum menggaulinya, maka separuh mahar dianggap gugur darinya dan ia hanya berkewajiban membayar separuhnya lagi, berdasarkan Firman Allah SWT,

“Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu telah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua (separuh) dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (Al-Baqarah: 237).

6). Jika suami meninggal dunia, sebelum dia menggauli istrinya dan setelah akad, maka istri berhak mewarisinya serta berhak mendapatkan mahar secara utuh, sebagaimana hal itu telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW [Diriwayatkan oleh Ashhab as-Sunan: Abu Dawud, no. 2114; an-Nasa`i, no. 3355; Ibnu Majah, no. 1891 dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi, no. 1145, yaitu: Nabi SAW memutuskan untuk Barwa‘ binti Wasiq ketika suaminya meninggal dan belum menyebutkan maharnya bahwa dia mendapatkan mahar seperti wanita yang sederajat dengannya] Hal itu berlaku jika maharnya telah ditentukan. Tetapi jika maharnya belum ditentukan, maka istri berhak mendapatkan mahar sebesar mahar wanita yang sederajat dengannya, lalu menjalani masa iddah setelahnya.

Referensi : Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jaza’iri, Minhajul Muslim, Darul Haq, Jakarta, 2016

Artikel Pilihan

Yuk bagikan sebagai sedekah…


Yuk bagikan infonya...

About Auther:

Info Biografi

11 HP VIVO TERMURAH MULAI RP 1 JUTA
Hello. Add your message here.