Rahn (Jaminan Hutang atau Gadai)

Yuk bagikan infonya...

Ilustrasi | Duitologi.com
Ilustrasi | Duitologi.com
  1. Pengertian rahn

Rahn adalah mengesahkan atau menguatkan hutang dengan suatu barang yang memungkinkan hutang terbayar dengannya atau dari hasil penjualannya. Misalnya seseorang berhutang, dan orang yang dihutanginya memintanya supaya menyimpan suatu barang (sebagai jaminan) yang berada di bawah kekuasaannya, baik binatang atau harta atau lainnya sebagai penguat hutangnya. Sehingga kapan saja waktu pembayaran jatuh tempo dan orang yang berhutang tidak dapat melunasinya, maka yang berpiutang berhak melunasi dengan barang yang berada di bawah kekuasaannya. Dalam istilah syar‘i bahwa orang yang menerima gadaian disebut murtahin, orang yang menggadaikan disebut rahin, dan barang yang digadaikan disebut rahn.

  1. Hukum rahn

Rahn hukumnya boleh, berdasarkan Firman Allah SWT,

“Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kalian tidak memperoleh seorang juru tulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutung).” (Al-Baqarah: 283).

[Dalam ayat di atas terkandung dalil yang membolehkan rahn, baik saat sedang di perjalanan atau saat berada di tempat. Pembatasan dengan perjalanan dalam ayat di atas semata-mata dimaksudkan untuk menunjukkan keumuman, bahwa diduga tidak adanya penulis atau saksi ketika sedang di perjalanan]

Juga sabda Nabi SAW,

“Barang gadaian tidak hilang dari pemiliknya yang telah menggadaikannya, karena keuntungun dan kerugiannya adalah untuknya.”

[Diriwayatkan oleh asy-Syafi’i, 1/148; ad-Daruquthni, 3/32; dan Ibnu Majah, no. 2441. Hadits ini dikategorikan hasan karena jalur periwayatannya cukup banyak]

Juga keterangan yang telah dituturkan oleh Anas RA,

“Rasulullah SAW telah menggadaikan baju besi kepada seorang Yuhudi di Madinah, kemudiun beliau mengambil gandum dari orang Yahudi tersebut untuk keluarga beliau.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 2069]

  1. Beberapa ketentuan hukum berkaitan dengan rahn

a). Barang yang digadaikan harus berada di bawah tangan (kekuasaan)  murtahin (penerima gadaian) dan bukan di tangan rahin (orang yang menggadaikan). Jika rahin memintanya dari murtahin, maka hal itu tidak dibolehkan baginya. Sedangkan murtahin boleh mengembalikannya atas kehendak sendiri, karena itu adalah haknya.

b). Barang yang tidak sah dijual, tidak sah juga digadaikan, kecuali tanaman dan buah-buahan yang belum matang, karena menjual keduanya dalam keadaan belum matang diharamkan, dan menggadaikan keduanya diperbolehkan dengan alasan bahwa di dalamnya tidak mengandung unsur penipuan terhadap murtahin, karena hutangnya masih tetap menjadi tanggungan, meskipun tanaman dan buah-buahan yang digadaikan mengalami kerusakan.

c). Jika waktu penggadaian telah habis, maka murtahin berhak menagih hutang kepada rahin. Jika rahin melunasinya, maka barang gadaian harus dikembalikan kepadanya. Sedangkan jika rahin tidak mampu melunasinya, maka murtahin berhak mengambil piutangnya dari hasilnya, jika ada. Tetapi jika tidak ada, maka murtahin berhak menjualnya. Jika harganya melebihi hutang rahin, maka murtahin harus mengembalikan lebihnya kepada rahin. Tetapi jika harga penjualannya tidak dapat melunasi hutang rahin, maka kekurangannya merupakan tanggungan rahin.

d). Barang gadaian merupakan amanat yang berada di bawah kekuasaan murtahin, sehingga apabila barang tersebut rusak karena kecerobohan atau perbuatannya yang melampaui batas, maka ia harus bertanggung jawab. Sedang jika rusak namun bukan karena kecerobohannya atau perbuatannya yang melampaui batas, maka ia tidak harus bertanggung jawab apa pun, dan hutang masih tetap menjadi tanggungan rahin.

e). Barang gadaian boleh disimpan pada seseorang selain murtahin yang bisa dipercaya. Karena tujuan penyimpanan itu akan tercapai pada seseorang yang dapat dipercaya.

f). Jika rahin mensyaratkan untuk tidak menjual barang gadaian setelah jatuh tempo penebusannya (pembayaran hutang), maka akad rahn dihukumi batal (tidak sah). Begitu juga akad rahn dihukumi tidak sah jika murtahin mensyaratkan kepada rahin dengan mengatakan, “Jika hutang telah jatuh tempo dan kamu tidak dapat melunasi hutangmu kepadaku, maka barang gadaian menjadi milikku” Berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Barang gadaian tidak hilang, barang gadaian adalah milik orang yang telah menggudaikannya, karena keuntungan baginya dun kerugian pun untuknya”

[Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, 2441 dengan sanad yang baik]

g). Jika terjadi perselisihan pendapat antara rahin dan murtahin mengenai jumlah hutang, maka pendapat yang harus diterima adalah pendapat rahin dengan memintanya supaya bersumpah, kecuali jika murtahin dapat menunjukkan bukti. Sedang jika terjadi perselisihan pendapat antara rahin dan murtahin rnengenai barang gadaian, di mana rahin mengatakan, “Aku gadaikan kepadamu seekor binatang betina dan anaknya.” Kemudian murtahin menyangkal, dan berkata, “Hanya binatang betina saja.” Dalam kasus ini pendapat yang harus diterima ialah pendapat murtahin dengan memintanya supaya bersumpah, kecuali jika rahin bisa membuktikan tuduhannya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Pembuktian diwajibkan atas seseorang yang menuduh, sedang sumpah diwajibkun atas seseorang yang menolak tuduhan.”

[Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, 10/252 dengan sanad yang shahih. Hadits ini berasal dari kitab ash-Shahihain; al-Bukhari, no. 4552; Muslim, no. 1711]

h). Jika murtahin mengaku bahwa ia telah mengembalikan rahn (barang gadaian), akan tetapi rahin menyangkalnya, maka pendapat yang harus diterima ialah pendapatnya rahin dengan bersumpah, kecuali jika murtahin dapat menunjukkan bukti yang menguatkan pengakuannya.

i). Murtahin diperbolehkan menaiki rahn (barang gadaian) yang dapat dinaiki serta memerah rahn yang dapat diperah, tetapi harus berlaku adil (yakni harus sesuai dengan jumlah biaya yang telah dikeluarkannya untuk memelihara rahn), dan tidak boleh mengambil manfaat darinya dengan memerahnya melebihi jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya. Hal itu berdasarkan sabda Nabi SAW,

“Punggung binatang dapat dinaiki disebabkan mengeluarkan biayanya, jika binatang itu binatang gadaian dan air susunya dapat diperah disebabkan mengeluarknn biayanya, jika binatang itu binatang gadaian, Bagi orang yang menaikinya dan memerah air susunya wajib mengeluarkan biayanya.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 2512]

j). Hasil dari rahn (barang gadaian) itu seperti ijarah, di mana hasilnya, keturunan dan lain-lain adalah milik rahin. Sehingga ia harus menyiraminya, memeliharanya dan memenuhi semua kebutuhannya supaya rahn tetap terjaga keberadaannya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Rahn (barang gadaian) itu milik orang yang menggadaikannya, baginya keuntungannya dan baginya pula kerugiannya”

k). Jika murtahin mengeluarkan biaya untuk pemeliharaan binatang gadaian tanpa meminta izin kepada rahin, maka ia tidak boleh meminta ganti kepada rahin. Tetapi jika alasan tidak meminta izin kepada rahin itu karena tempatnya jauh, maka ia diperbolehkan meminta ganti kepada rahin, jika saat mengeluarkan biaya berniat akan meminta ganti kepada rahin. Jika tidak meniatkannya, maka ia tidak boleh meminta ganti kepada rahin, karena seseorang yang mengerjakan suatu amal dengan suka rela, maka tidak sepantasnya meminta ganti rugi atas amal yang telah dikerjakannya.

l). Jika rumah yang digadaikan itu ambruk, lalu murtahin memperbaikinya tanpa meminta izin dahulu kepada rahin, maka tidak menjadi masalah baginya meminta ganti kepada rahin, kecuali bahan-bahan bangunan, seperti kayu atau batu yang susah dicopot, maka rahin harus menggantinya tanpa diminta oleh murtahin.

m). Jika rahin meinggal atau bangkrut, maka murtahin lebih berhak atas barang gadaian daripada sejumlah pemberi hutang lainnya. Sehingga saat pembayaran hutang telah jatuh tempo, maka murtahin berhak untuk menjualnya dan mengambil piutangnya dari hasil penjualannya.

Jika hasil penjualannya melebihi piutangnya, maka murtahin harus mengembalikan uang selebihnya kepada ahli warisnya. Jika tidak mencukupi, maka ia mempunyai hak yang sama dengan para pemberi hutang yang lainnya.

Contoh Surat Perjanjian Rahn

Setelah basmalah dan hamdalah, selanjutnya disebutkan, “Fulan (A) mengakui, bahwa ia memiliki hutang yang besarnya … (sekian) kepada fulan (B). Adapun jatuh tempo pembayaran hutang tersebut adalah satu tahun atau pada bulan … (anu), kemudian untuk menguatkan hutangnya; fulan (A) menggadaikan rumah atau sejumlah barang kepada fulan (B) menurut aturan gadai yang sesuai dengan ketentuan hukum syariat, dan rumah atau sejumlah barang dimaksud telah diserahkan kepada fulan (B) dan sekarang berada di bawah kekuasaannya, dan murtahin telah menerimanya sesuai dengan ketentuan hukum syariat. Surat perjanjian ini dibuat pada tanggal (sekian).”

Oleh : Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jaza’iri

Baca juga : 


Yuk bagikan infonya...

About Auther:

Info Biografi

BUKU TES TNI POLRI AKMIL AKPOL 2024
Hello. Add your message here.