Kenapa Orang yang Stuck Nasibnya akan cenderung Stuck Selamanya?

Yuk bagikan infonya...

Judul artikel ini terasa kelam, terutama bagi yang selama ini merasa nasibnya stuck atau stagnan.

Namun sejumlah studi ilmiah memang menunjukkan fakta yang muram itu. Orang yang suck nasibnya cenderung akan stagnan selamanya.

Kenapa fenomena kelam itu bisa terjadi? Apa saja yang menyebabkannya?

Mari kita ulas jawabannya dengan renyah di pagi hari ini, di awal bulan Ramadan yang penuh barokah.

Data penelitian di sejumlah negara di dunia memang menunjukkan upward mobility (atau mobilitas untuk naik kelas ke lapisan sosial yang lebih makmur) memang sejatinya tidak mudah terjadi. Tangga sosial untuk naik kelas menjadi orang yang lebih tajir itu peluangnya tidak banyak.

Bahkan di Amerika yang terjadi adalah justru adanya tren nasib kelas menengah yang makin stagnan. Banyak orang yang stuck nasibnya. Di sana yang terjadi agak muram : anak-anak muda jaman now ternyata secara rata-rata lebih miskin dibanding para orang tua mereka. Ini artinya justru terjadi downward mobility. Banya orang yang justru turun kelas menjadi penduduk yang lebih miskin.

Kejadian stuck semacam itu mungkin juga banyak dialami oleh orang-orang di tanah air.

Sejumlah orang di tanah air merasa nasibnya stuck alias stagnan, alias tidak banyak bergerak maju. Ataupun kalau bergerak, jalannya amat lamban dan kalah jauh dibanding laju pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Pertanyannya adalah kenapa orang yang stuck akan cenderung stagnan selamanya?

Ada dua faktor kunci yang menjelaskan fenomena ini. Mari kita ulik satu demi satu.

Faktor Stuck #1 : Inertia Effect

Dalam ilmu human behavior itu ada dikenal sebuah fenomena yang disebut dengan “hukum inersia”. Artinya : ternyata manusia itu secara instingtif lebih menyukai kenyamanan status quo, dan cenderung malas untuk bergerak memulai sebuah perilaku baru.

Coba renungkan, tiap minggu ada jutaan orang bertekad mau diet, namun hanya segelintir yang punya disiplin untuk benar-benar melakukannya dengan tekun.

Juga ada jutaan orang yang bertekad mau rajin olahraga biar tubuh bugar, namun hanya segelintir yang benar-benar melakukannya (lebih dari 80% ngeles dan bilang saya baru mau mulai saja kok malasnya setengah mati ya).

Atau ada jutaan orang bertekad untuk memulai suatu inisitif baru untuk wujudkan impiannya. Namun hanya segelintir yang kemudian benar-benar menjalankan tekad itu dengan konsisten.

Kenapa tekad itu hanya menjadi omong kosong? Sebab pada dasarnya manusia itu memang malas untuk keluar dari zona nyamannya, yang begitu melenakan selama ini.

Fenomena ini disebut sebagai “inertia effect” : atau kecenderungan manusia untuk resisten terhadap perubahan perilaku yang drastis dalam dirinya.

Kenapa bisa begitu? Penelitian yang mendalami struktur otak manusia ternyata menemukan, ada bagian dalam sel saraf otak kita yang memang mendorong rasa kemalasan dan lebih suka dengan status quo yang nyaman.

Inertia effect adalah salah satu faktor yang bisa menjelaskan kenapa orang yang stuck akan cenderung stuck selamanya. Kenapa begitu? Ya karena memang orang ini menikmati kondisi comfort zone, dan malas bergerak untuk memulai sebuah perilaku baru demi mengubah nasib.

Orang itu merasa biar deh nasib saya begini-begini saja, yang penting saya merasa fne-fine saja. Atau bisa juga orang ini akan melakukan semacam justifikasi : biar deh nasib saya begini saja, mengalir, ntar kalau kenapa-kenapa dipikirinnya nanti.

Semua respon diatas sejatinya adalah ekspresi dari kecenderungan manusia untuk menyukai kondisi comfort zone yang melenakan.

Semua respon itu adalah eskpresi ngeles mayoritas manusia yang cenderung malas untuk melakukan perubahan perilaku yang dramatis untuk mengubah nasib.

Tak pelak, inertia effect adalah sebuah jebakan maut yang bisa membuat masa depan kian kelam.

Namun apa boleh buat, kecenderungan manusia untuk menyukai kondisi status quo, dan cenderung malas untuk melakukan perubahan perilaku — akan membuat dirinya berada dalam kondisi stuck selamanya.

Dan itulah yang menjelaskan kenapa mayoritas manusia ingin jadi kaya, namun hanya segelintir yang berhasil.

Faktor Stuck #2 : Loser Effect

Dalam artikel dua minggu lalu, saya membahas fenomena tentang winner effect. Ini adalah sebuah kejadian saat seseorang meraih sebuah sukses awal.

Dan lalu sukses awal ini akan menciptakan efek bola salju : membuat dia makin percaya diri, makin punya sumber daya yang melimpah, makin punya banyak peluang; dan akhirnya dia bisa meraih sukses yang lebih besar lagi. Dan sukses kedua ini akan ciptakan sukses ketiga, keempat dan seterusnya. Winner effect terjadi dalam kondisi ini.

Nah Loser Effect adalah kebalikan dari kondisi diatas.

Siklus Loser Effect bisa digambar seperti berikut ini.

Karena hukum inersia yang sudah diterangkan diatas, maka orang-orang yang stuck tidak akan pernah bergerak melakukan sesuatu yang untuk mengubah nasibnya.

Lalu karena tidak pernah bergerak, maka orang ini tidak akan pernah meraih kesuksesan.

Dan karena tidak pernah meraih sukses, maka orang itu tidak akan bisa menumbuhkan rasa percaya dirinya. Bahkan sebaliknya. Karena selama ini cuma bengong dan menikmati zona nyamannya, maka orang ini akan merasa tidak punya potensi yang kuat. Sebab bagaimana mungkin dia akan tahu kekuatan dan potensinya, kalau bergerak maju saja tidak pernah.

Atau bisa juga orang ini sempat melakukan action namun tidak menemui sukses yang dia harapkan. Selain sedih dan kecewa, rasa kepercayaan diri orang ini akan menurun karena dia gagal. Harapan dan keyakinannya akan melemah. Selain itu sumber dayanya kian habis karena dia tidak mendapatkan sukses yang ia harapkan.

Dan karena rasa percaya diri dan keyakinan makin menurun, ia menjadi trauma dan makin takut untuk melakukannya lagi. Dan karena hal ini, maka nasibnya akan menjadi tetap stagnan. Dan karena nasibnya stagnan, ia akan merasa makin gagal. Dan karena merasa makin gagal, maka nasibnya akan makin stagnan.

Siklus Loser Efect menciptakan lingkaran setan kegagalan yang kelam.

Dan inilah yang kemudian akan membuat orang ini stuck selamanya. Nasibnya stagnan dalam jangka yang amat panjang.

DEMIKIANLAH, dua faktor kunci yang menjelaskan kenapa orang yang stuck nasibnya akan cenderung stagnan selamanya.

Seperti yang diuraikan di atas, faktor Hukum Inersia dan Losser Effect bisa juga bekerja saling berhubungan. Keduanya secara serentak dan simultan mempengaruhi kekuatan tekad dan niat kita untuk melakukan perubahan demi nasib hidup yang lebih baik.

Lalu bagaimana solusi agar kita bisa keluar dari dua jebakan mematikan diatas? Strategi apa yang layak dijalankan untuk menaklukkan hukum inersia dan loser effect? Saya akan mencoba mengulasnya dalam artikel dua minggu lagi.

Untuk sementara kita akhiri ulasanya.

Akhir kata, saya ucapkan Selamat Menunaikan Ibadah Puasa di bulan Ramadan.

Semoga di bulan puasa ini, kita bukan malah terjebak dalam hukum inersia dan makin malas bekerja.

Selayaknya kita tetap aktif dan produktif di bulan suci ini.

Penulis : Yodhia Antariksa (strategimanajemen.net)

Ayo bagikan sebagai sedekah…


Yuk bagikan infonya...

About Auther:

Info Biografi

Formasi CPNS Lulusan SMA Di 8 Instansi Pemerintah
Hello. Add your message here.