Tafsir Surat Al-Baqarah: 14

Yuk bagikan infonya...

Al-Baqarah: 14

وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ

Terjemahan

“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “”Kami telah beriman””. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “”Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok””.”

Tafsir (Ibnu Katsir)

Tafsir Surat Al-Baqarah: 14-15

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, “”Kami telah beriman.”” Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, “”Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian, kami hanyalah ber-olok-olok.”” Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “”Apabila orang-orang munafik bersua dengan orang-orang mukmin, mereka berkata, ‘Kami beriman’.”” Mereka menampakkan kepada kaum mukmin seakan-akan diri mereka beriman dan berpihak atau bersahabat dengan kaum mukmin. Akan tetapi, sikap ini mereka maksudkan untuk mengelabui kaum mukmin dan diplomasi mereka untuk melindungi diri agar dimasukkan ke dalam golongan orang-orang mukmin dan mendapat bagian ganimah dan kebaikan yang diperoleh kaum mukmin.

Bilamana mereka kembali bersama setan-setannya. Makna yang dimaksud ialah bilamana mereka kembali dan pergi dengan setan-setan mereka tanpa ada orang lain. Lafal khalau mengandung makna insarafu, yakni kembali, karena ia muta’addi dengan huruf ila untuk menunjukkan fi’il yang tidak disebutkan dan yang disebutkan. Di antara ulama ada yang mengatakan bahwa ila di sini bermakna ma’a, yakni “”apabila mereka berkumpul bersama setan mereka tanpa ada orang lain

Akan tetapi, makna yang pertama lebih baik, yaitu yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Jarir. As-Suddi mengatakan dari Abu Malik, khalau artinya pergi menuju setan-setan mereka. Syayatin artinya pemimpin dan pembesar atau kepala mereka yang terdiri atas kalangan pendeta Yahudi, pemimpin-pemimpin kaum musyrik dan kaum munafik. As-Suddi di dalam kitab Tafsir-nya mengatakan dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas’ud serta dari sejumlah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa yang dimaksud dengan setan-setan mereka dalam firman-Nya, “”Wa iza khalau ila syayatinihim,”” ialah para pemimpin kekufuran mereka.

Adh-Dhahhak mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa makna ayat ialah apabila mereka kembali kepada teman-temannya. Teman-teman mereka disebut setan-setan mereka. Muhammad ibnu Ishaq mengatakan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, “”Dan apabila mereka kembali kepada setan-setan mereka,”” yakni yang terdiri atas kalangan orang-orang Yahudi, yaitu mereka yang menganjurkannya untuk berdusta dan menentang apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Mujahid mengatakan bahwa makna syayatinihim ialah teman-teman mereka dari kalangan orang-orang munafik dan orang-orang musyrik.

Qatadah mengatakan, yang dimaksud dengan syayatinihim ialah para pemimpin dan para panglima mereka dalam kemusyrikan dan kejahatan. Hal yang semisal dikatakan pula oleh Abu Malik, Abul Aliyah, As-Suddi, dan Ar-Rabi’ ibnu Anas. Ibnu Jarir mengatakan bahwa syayatin artinya segala sesuatu yang membangkang. Adakalanya setan itu terdiri atas kalangan manusia dan jin, sebagaimana dinyatakan di dalam firman-Nya: Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (Al-An’am: 112) Di dalam kitab Musnad disebutkan sebuah hadits dari Abu Dzar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“”Kami berlindung kepada Allah dari setan-setan manusia dan setan-setan jin.”” Aku bertanya, “”Wahai Rasulullah, apakah manusia itu ada yang menjadi setan?”” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ya.”” Qalu inna ma’akum, mereka mengatakan, “”Sesungguhnya kami bersama kalian.”” Menurut Muhammad ibnu Ishaq, dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa maknanya ialah “”sesungguhnya kami sependirian dengan kalian Innama nahnu mustahziun, sesungguhnya kami hanya mengajak mereka dan mempermainkan mereka.

Adh-Dhahhak mengatakan dari Ibnu Abbas. Mereka mengatakan, “”Sesungguhnya kami hanya mengolok-olok dan mengejek teman-teman Muhammad.”” Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi’ ibnu Anas dan Qatadah. Sebagai bantahan dari Allah Subhanahu wa ta’ala terhadap perbuatan orang-orang munafik itu, maka Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. (Al-Baqarah: 15) Ibnu Jarir mengatakan, Allah Subhanahu wa ta’ala memberhahukan bahwa Dialah yang akan melakukan pembalasan terhadap orang-orang munafik itu kelak di hari kiamat, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya: Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, “”Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahaya kalian.”” Dikatakan (kepada mereka), “”Kembalilah kalian ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untuk kalian).”” Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu.

Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. (Al-Hadid: 13) Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka. (Ali Imran: 178) Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal ini dan yang serupa dengannya merupakan ejekan, penghinaan, makar, dan tipu muslihat Allah Subhanahu wa ta’ala terhadap orang-orang munafik dan orang-orang musyrik, menurut orang yang menakwilkan ayat ini dengan pengertian tersebut. Ibnu Jarir mengatakan pula, bahwa ulama lainnya mengatakan bahwa ejekan Allah terhadap mereka berupa celaan dan penghinaan Allah terhadap mereka karena mereka telah berbuat durhaka dan kafir kepada-Nya.

Ibnu Jarir mengatakan pula, “”Ulama lainnya lagi mengatakan bahwa ungkapan seperti ini dan yang semisal merupakan ungkapan pembalikan.”” Perihalnya sama dengan ucapan seseorang terhadap orang yang menipunya bila ternyata ia dapat membalikkan tipuan lawannya, “”Justru akulah yang telah menipumu (bukan kamu yang menipuku).”” Akan tetapi, dalam hakikatnya Allah tidak melakukan tipuan; melainkan Dia mengatakan hal tersebut hanya semata-mata menggambarkan tentang akibat dari apa yang diperbuat mereka.

Para ulama yang berpendapat seperti ini mengatakan bahwa hal yang sama terdapat pula di dalam firman-Nya: Orang-orang kafir itu membuat tipu daya dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (Ali Imran: 54) Allah akan (membalas) olok-olokan mereka. (Al-Baqarah: 15) Hal tersebut merupakan jawaban semata, karena sesungguhnya Allah tidak melakukan makar dan tidak pula ejekan. Dengan kata lain, makna yang dimaksud ialah bahwa makar dan tipu daya mereka itu justru menimpa diri mereka sendiri (barang siapa menggali lubang, dia sendiri yang akan terjerumus ke dalamnya).

Ulama lainnya mengatakan bahwa firman-Nya: Sesungguhnya kami hanyalah berolok-olok. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka. (Al-Baqarah: 14-15) Mereka (orang-orang munafik) menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. (An-Nisa: 142) Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka. (At-Taubah: 79) Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. (At-Taubah: 67) Demikian pula ayat-ayat lainnya yang semakna, semuanya merupakan berita dari Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa Dia pasti akan memberikan balasan terhadap mereka dengan balas memperolok-olokkan dan menyiksa mereka dengan siksaan tipuan, sebagaimana tipuan yang telah mereka lakukan. Kemudian berita mengenai balasan Allah dan siksaan-Nya kepada mereka diungkapkan dengan gaya bahasa yang sama dengan perbuatan mereka yang menyebabkan mereka berhak mendapat siksaan-Nya, hanya dari segi lafaznya saja, tetapi maknanya berbeda.

Perihalnya sama dengan makna yang terdapat di dalam firman-Nya: Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. (Asy-Syura: 40) Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadap kalian. (Al-Baqarah: 194) Makna pertama mengandung pengertian perbuatan aniaya, sedangkan makna yang kedua mengandung pengertian keadilan. Lafal yang dipakai pada keduanya sama, tetapi makna yang dimaksud berbeda; berdasarkan pengertian inilah semua makna yang sejenis di dalam Al-Qur’an diartikan dengan pengertian seperti ini.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengatakan, sesungguhnya makna yang dimaksud ialah bahwa Allah memberitakan perihal orang-orang munafik; apabila mereka berkumpul dengan pemimpin-pemimpinnya, mereka mengatakan, “”Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian dalam mendustakan Muhammad dan apa yang didatangkannya. Sesungguhnya kata-kata yang kami ucapkan dan sikap yang kami perlihatkan kepada mereka hanyalah mengolok-olokkan mereka.”” Maka Allah Subhanahu wa ta’ala memberitahukan bahwa Dia membalas mengolok-olok mereka. Untuk itu, Allah menampakkan kepada mereka sebagian dari hukum-hukum-Nya di dunia, yaitu darah mereka terpelihara, begitu pula harta benda mereka, padahal hal itu kebalikan dari apa yang akan terjadi pada diri mereka kelak di hari kemudian di sisi-Nya, yaitu azab dan siksaan.

Kemudian Ibnu Jarir mengemukakan alasan dukungannya terhadap pendapat ini, mengingat tipu daya, makar, dan olok-olokan secara main-main dan tidak ada gunanya merupakan hal yang mustahil akan dilakukan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala menurut kesepakatan semua. Bila hal tersebut diartikan sebagai pembalasan dan ganjaran-ganjaran yang setimpal secara adil, dapatlah dimengerti. Ibnu Jarir mengatakan, ada sebuah riwayat yang sependapat dengan apa yang telah kami katakan, diketengahkan dari sahabat Ibnu Abbas. Di dalam riwayat ini disebutkan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Usman, telah menceritakan kepada kami Bisyr, dari Abu Rauq, dari Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya, “”Allahu yastahzi-u bihim,”” artinya Allah memperolok-olok mereka sebagai pembalasan-Nya terhadap tindakan mereka.

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala: dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. (Al-Baqarah: 15) Menurut As-Suddi, dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas’ud serta dari sejumlah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yamudduhum artinya Allah membiarkan mereka. Mujahid mengatakan bahwa makna yamudduhum ialah menambahkan kepada mereka, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan kepada mereka! Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar. (Al-Muminun: 55-56) Dan firman Allah Subhanahu wa ta’ala: Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dengan cara yang tidak mereka ketahui. (Al-A’raf: 182) Sebagian ulama mengatakan bahwa setiap kali mereka melakukan dosa yang baru, maka Allah memberikan kepada mereka nikmat yang baru.

Tetapi pada hakikatnya hal itu merupakan azab, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam ayat lain: Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.

Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. (Al-An’am: 44-45) Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna yang benar ialah Kami menambahkan kepada mereka, dengan pengertian membiarkan dan memperturutkan mereka di dalam kesombongan dan pembangkangannya, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat. (Al-An’am: 110) At-tugyan artinya melampaui batas dalam suatu hal, sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: Sesungguhnya Kami tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kalian ke dalam bahtera. (Al-Haqqah: 11) Adh-Dhahhak mengatakan dari Ibnu Abbas bahwa fi tugyanihim ya’mahun artinya di dalam kekufurannya mereka terombang-ambing.

Hal yang sama ditafsirkan pula oleh As-Suddi berikut sanadnya dari para sahabat. Hal yang sama dikatakan oleh Abul Aliyah, Qatadah, Ar-Rabi’ ibnu Anas, Mujahid, Abu Malik, dan Abdur Rahman ibnu Zaid, bahwa mereka terombang-ambing di dalam kekufuran dan kesesatan. Ibnu Jarir mengatakan lafal al-‘amah artinya sesat, dikatakan ‘cmiha fulanun, ya’mahu, ‘amahan, dan ‘amuhan artinya si Fulan telah tersesat.

Ibnu Jarir mengatakan, makna fi tugyanihim ya’mahun artinya ialah di dalam kekufuran dan kesesatan yang menggelimangi dan menutupi diri mereka karena perbuatan kotor dan najis, mereka terombang-ambing dalam kebingungan dan kesesatan; mereka tidak akan dapat menemukan jalan keluar, karena Allah Swt telah mengun-ci mati hati mereka dan mengelaknya serta membutakan pandangan hati mereka dari jalan hidayah, hingga tertutup pandangan mereka, ti-dak dapat melihat petunjuk, tidak dapat pula mengetahui jalannya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa al-‘ama (buta) khusus bagi buta mata, sedangkan al-‘amah khusus bagi buta hati; tetapi adakalanya lafal al-‘ama dipakai untuk pengertian buta hati, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya: Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj: 46) Dikatakan ‘amihar rajulu artinya lelaki itu pergi tanpa mengetahui tujuan. Bentuk mudari’-nya ya’mahu bentuk isim fa’il-nya ‘amihun dan ‘amihun ; bentuk jamaknya ‘amahun , sedangkan bentuk masdarnya ialah ‘amuhan Dikatakan zahabat ibiluhul ‘amha-u jika untanya tidak diketahui ke mana perginya. (learnquran)

Al Baqarah

DAFTAR ISI


Yuk bagikan infonya...

About Auther:

Info Biografi

BUKU TES TNI POLRI AKMIL AKPOL 2024
Hello. Add your message here.