Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 230

Yuk bagikan infonya...

Al-Baqarah: 230

فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Terjemahan

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.

Tafsir (Ibnu Katsir)

Tafsir Surat Al-Baqarah: 229-230

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.

Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.

Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. Ayat yang mulia ini mengangkat nasib kaum wanita dari apa yang berlaku pada masa permulaan Islam. Yaitu seorang lelaki lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia menceraikannya sebanyak seratus kali talak, selagi si istri masih dalam masa idahnya. Mengingat hal tersebut merugikan pihak wanita, maka Allah membatasinya hanya sampai tiga kali talak, dan memperbolehkan rujuk pada talak pertama dan kedua, memisahkannya secara keseluruhan pada talak yang ketiga kalinya.

Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229) Imam Abu Dawud di dalam kitab Sunnan-nya mengatakan, yaitu dalam Bab “”Nasakh Rujuk Sesudah Talak Tiga Kali””, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad Al-Marwazi, telah menceritakan kepadaku Ali ibnul Husain ibnu Waqid, dari ayahnya, dari Yazid ibnun Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.

Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya. (Al-Baqarah: 228), hingga akhir ayat. Demikian itu bila ada seorang lelaki menalak istrinya, maka dialah yang lebih berhak merujukinya, sekalipun dia telah menceraikannya sebanyak tiga kali. Maka ketentuan tersebut di-mansukh oleh firman-Nya:Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229), hingga akhir ayat. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam An-Nasai, dari Zakaria ibnu Yahya, dari Ishaq ibnu Ibrahim, dari Ali ibnul Husain dengan lafal yang sama.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa ada seorang lelaki berkata kepada istrinya, “”Aku tidak akan menceraikanmu selama-lamanya, dan tidak akan pula memberimu tempat selama-lamanya.”” Si istri bertanya, “”Bagaimana caranya bisa demikian?”” Lelaki (si suami) menjawab, “”Aku akan menceraikanmu; dan apabila masa idahmu akan habis, maka aku merujukmu kembali.”” Lalu si istri datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kepadanya hal tersebut.

Maka Allah menurunkan firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah 229) Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya melalui jalur Jarir ibnu Abdul Hamid dan Ibnu Idris. Abdu ibnu Humaid meriwayatkannya pula di dalam kitab tafsirnya, dari Ja’far ibnu Aun. Semuanya meriwayatkan hadits ini dari Hisyam, dari ayahnya yang menceritakan: Pada mulanya seorang suami lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia telah menceraikannya menurut apa yang dikehendakinya, selagi si istri masih berada dalam masa idahnya.

Dan ada seorang lelaki dari kalangan Anshar marah kepada istrinya, lalu ia mengatakan, “”Demi Allah, aku tidak akan menaungimu dan tidak pula akan menceraikanmu.”” Si istri bertanya, “”Bagaimana bisa demikian?”” Si suami menjawab, “”Aku akan menceraikanmu; dan apabila telah dekat masa habis idahmu, maka aku akan merujukmu kembali. Kemudian aku ceraikan kamu lagi; dan apabila sudah dekat masa habis idahmu, maka aku akan merujukmu kembali.”” Kemudian si istri menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya, “”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali”” (Al-Baqarah: 229). Ayah Hisyam melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu orang-orang tidak berani lagi mempermainkan talak, baik mereka yang suka menjatuhkannya maupun yang belum pernah.

Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkannya pula melalui jalur Muhammad ibnu Sulaiman, dari Ya’la ibnu Syabib maula Az-Zubair, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, lalu ia menceritakan ha-dis ini seperti yang disebutkan di atas, yakni semisal dengannya. Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya dari Qutaibah, dari Ya’la ibnu Syabib dengan lafal yang sama. Kemudian Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya pula melalui Abu Kuraib, dari Ibnu Idris, dari Hisyam, dari ayahnya secara mursal, dan mengatakan bahwa sanad hadits ini paling shahih.

Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya melalui jalur Ya’qub ibnu Humaid ibnu Kasib, dari Ya’la ibnu Syabib dengan lafal yang sama, dan mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Kemudian Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Fadl, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan hadits berikut: Pada mulanya talak tidak mempunyai batas; seorang lelaki dapat menceraikan istrinya, lalu merujukinya kembali selagi si istri belum habis masa idahnya.

Dan tersebutlah terjadi antara seorang lelaki Anshar dengan istrinya suatu hal yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang (yakni menceraikan istrinya dengan seenaknya). Si lelaki berkata, “”Demi Allah, aku benar-benar akan membuat dirimu bukan sebagai janda, bukan pula sebagai wanita yang bersuami.”” Lalu si lelaki menalaknya; dan bila masa idah istrinya hampir habis, maka ia merujukinya kembali; dia melakukan hal tersebut berkali-kali.

Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya, “”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik”” (Al-Baqarah: 229). Maka talak dihentikan sampai batas tiga kali, tiada rujuk lagi sesudah talak tiga, sebelum si istri kawin dengan suami yang baru. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Qatadah secara mursal. As-Suddi, Ibnu Zaid, dan Ibnu Jarir menuturkan pula demikian, dan Ibnu Jarir memilih bahwa hadits ini merupakan tafsir dari ayat ini. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229) Yakni apabila engkau menceraikan istrimu sebanyak sekali talak atau dua kali talak, maka engkau boleh memilih selagi istrimu masih dalam idahnya antara mengembalikan dia kepadamu dengan niat memperbaiki dia dan berbuat baik kepadanya; atau kamu biarkan dia menghabiskan masa idahnya, lalu berpisah darimu dan kamu lepaskan ikatannya darimu dengan cara yang baik; tetapi janganlah kamu berbuat aniaya terhadap haknya barang sedikit pun, jangan pula kamu membuat dia mudarat.

Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “”Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya dua kali talak, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam hal tersebut, yakni dalam talak yang ketiga. Adakalanya dia merujukinya dengan cara yang makruf dan mempergaulinya dengan cara yang baik, atau menceraikannya dengan cara yang baik. Dan janganlah ia menganiaya haknya barang sedikit pun.””

Ibnu Abu Hatim mengatakan; telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A’la secara qiraah (bacaan), telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Sufyan Ats-Tsauri, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Sami’ yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Razin menceritakan hadits berikut: Seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “”Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang makna firman-Nya, ‘Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik”” (Al-Baqarah: 229).

Maka manakah talak yang ketiganya? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “”Melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik.”” Abdu ibnu Humaid meriwayatkan pula hadits ini di dalam kitab tafsirnya yang lafaznya berbunyi seperti berikut: Telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Hakim, dan Sufyan, dari Ismail ibnu Sami’, bahwa Abu Razin Al-Asadi pernah menceritakan hadits berikut: Seorang lelaki berkata, “”Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu mengenai firman Allah subhanahu wa ta’ala, ‘Talak (yang boleh dirujuki) dua kali (Al-Baqarah: 229). Maka manakah talak yang ketiganya?”” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “”Melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik adalah talak yang ketiganya.”” Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sa’id ibnu Mansur, dari Khalid ibnu Abdullah, dari Ismail ibnu Zakaria dan Abu Mu’awiyah, dari Ismail ibnu Sami’, dari Abu Razin dengan lafal yang sama.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Mardawaih melalui jalur Qais ibnur Rabi’, dari Ismail ibnu Sami’, dari Abu Razin dengan lafal yang sama secara mursal. Ibnu Mardawaih meriwayatkan pula melalui jalur Abdul Wahid ibnu Ziyad, dari Ismail ibnu Sami’, dari Anas ibnu Malik, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia menceritakan hadits tersebut. Kemudian Ibnu Mardawaih mengatakan;

telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ahmad ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Jarir ibnu Jabalah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aisyah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Qatadah, dari Anas ibnu Malik yang telah menceritakan: Seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya, “”Wahai Rasulullah, Allah menuturkan masalah talak dua kali, maka manakah talak yang ketiganya?”” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “”Rujuk lagi dengan cara yang makruf atau melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka. (Al-Baqarah: 229) Artinya, tidak dihalalkan bagi kalian mengganggu dan mempersulit mereka dengan maksud agar mereka membayar tebusannya kepada kalian sebagai ganti maskawin yang telah kalian berikan kepada mereka, baik secara keseluruhan atau sebagiannya. Hal ini diungkapkan pula oleh Allah dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya: Dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. (An-Nisa: 19) Jika pihak istri memberikan sesuatu kepada pihak suami dengan suka hati, maka diterangkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui firman-Nya: Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (An-Nisa: 4) Jika suami dan istri bertengkar karena pihak istri tidak dapat menunaikan hak-hak suaminya dan membuat pihak suami marah kepadanya begitu pula sebaliknya, pihak suami tidak dapat mempergaulinya, maka pihak istri boleh menebus dirinya dari pihak suami dengan mengembalikan kepada pihak suami apa yang pernah ia terima darinya.

Tidak ada dosa atas diri istri dalam pengembalian itu, tidak ada dosa pula bagi pihak suami menerimanya dari pihak istri. Karena itulah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229), hingga akhir ayat.

Jika pihak wanita tidak mempunyai halangan (uzur), kemudian ia meminta agar dirinya dilepaskan dengan imbalan tebusan darinya, menurut Ibnu Jarir dalam salah satu riwayatnya disebutkan: telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab. Telah menceritakan pula kepadaku Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah. Keduanya (Abdul Wahhab dan Ibnu Ulayyah) mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari orang yang menceritakannya, dari Sauban, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Wanita mana pun yang meminta kepada suaminya untuk diceraikan tanpa ada alasan yang membenarkan, maka haram baginya bau surga.

Demikian pula menurut riwayat Imam At-Tirmidzi, dari Bandar, dari Abdul Wahhab ibnu Abdul Majid As-Saqafi, dan Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa predikat hadits ini hasan. Imam At-Tirmidzi mengatakan, telah diriwayatkan pula dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abu Asma, dari Sauban. Sebagian ahli hadits ada yang meriwayatkannya dari Ayyub dengan sanad ini, tetapi tidak marfu’.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari Abu Qilabah yang mengatakan bahwa ia pernah menceritakan, Abu Asma dan juga Sauban pernah menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Wanita mana pun yang meminta untuk diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka haram baginya bau surga. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah, Imam ibnu Jarir melalui hadits Hammad ibnu Zaid dengan lafal yang sama.

Jalur periwayatan yang lain diketengahkan oleh Ibnu Jarir: telah menceritakan kepadaku Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Mu’tamir ibnu Sulaiman, dari Al-Laits ibnu Abu Idris, juga Sauban (pelayan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam), bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Pernah bersabda: Wanita mana pun yang meminta kepada suaminya agar diceraikan tanpa alasan yang dibenarkan, maka Allah mengharamkan atasnya bau surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula: Wanita-wanita yang meminta khulu’ (diceraikan oleh suaminya) adalah wanita-wanita munafik. Kemudian Ibnu Jarir dan Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Kuraib, dari Muzahim ibnu Daud ibnu Ulayyah, dari ayahnya, dari Al-Laits (yaitu Ibnu Abu Sulaim), dari Abul Khattab, dari Abu Dzar’ah, dari Abu Idris, dari Sauban, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Wanita-wanita yang meminta khulu’ adalah wanita-wanita munafik.

Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib bila ditinjau dari segi ini, sanadnya pun tidak kuat. Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir: telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Qais ibnur Rabi’, dari Asy’as ibnu Siwar, dari Al-Hasan, dari Sabit ibnu Yazid, dari Uqbah ibnu Amir, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Sesungguhnya wanita-wanita yang minta diceraikan lagi suka bertengkar dengan suaminya adalah wanita-wanita munafik.

Hadits ini berpredikat gharib lagi dha’if bila ditinjau dari segi ini. Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad: telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Al-Hasan, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah bersabda: Wanita-wanita yang minta dicerai oleh suaminya lagi suka bertengkar dengan suaminya adalah wanita-wanita munafik. Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah: telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Khalaf Abu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim, dari Ja’far ibnu Yahya ibnu Sauban, dari pamannya Imarah ibnu Sauban, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Janganlah seorang wanita meminta talak kepada suaminya yang bukan karena alasan semestinya, niscaya ia akan dapat mencium baunya surga; dan sesungguhnya bau surga itu benar-benar dapat dirasakan sejauh perjalanan empat puluh tahun.

Kemudian sejumlah banyak ulama dari kalangan ulama Salaf dan para Imam ulama Khalaf mengatakan bahwa tidak boleh khulu’ kecuali jika pertengkaran dan perpecahan terjadi dari pihak istri. Maka dalam keadaan seperti itu barulah pihak suami diperbolehkan menerima tebusan dari pihak istri untuk membebaskan dia dari ikatan perkawinan. Mereka mengatakan demikian berdalilkan kepada firman-Nya: Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 229) Mereka mengatakan bahwa masalah khulu’ hanya disyariatkan bila kondisinya seperti yang disebutkan ayat ini.

Karena itu, masalah khulu’ tidak berlaku pada kondisi lainnya, kecuali jika ada dalilnya. Sedangkan pada asalnya selain kasus ini tidak ada. Di antara orang yang berpendapat seperti ini ialah Ibnu Abbas, Tawus, Ibrahim, ‘Atha’, Al-Hasan, dan jumhur ulama. Hingga Imam Malik dan Al-A’uzai mengatakan, “”Seandainya seorang suami mengambil sesuatu dari istrinya, sedangkan hal itu memudaratkan pihak istri, maka penebusan itu harus dikembalikan kepadanya dan jatuhlah talaknya sebagai talak raj’i.”” Imam Malik mengatakan, “”Demikianlah yang aku jumpai di kalangan ulama, mereka berpendapat demikian.”” Imam Syafii mengatakan bahwa pihak istri diperbolehkan melakukan khulu’ dalam kondisi percekcokan; sedangkan dalam keadaan tidak ada percekcokan lebih diperbolehkan lagi, berdasarkan analogi yang lebih utama.

Pendapat ini pula yang dikatakan oleh semua muridnya. Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan di dalam kitab Istizkar-nya dari Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani yang mengatakan bahwa khulu’ itu di-mansukh oleh firman-Nya: sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali darinya barang sedikit pun. (An-Nisa: 20) Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani, tetapi pendapat ini lemah dan tidak dapat dipakai.

Karena sesungguhnya Ibnu Jarir sendiri menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Sabit ibnu Qais ibnu Syammas dan istrinya, yaitu Habibah binti Abdullah ibnu Abu Salul. Sekarang marilah kita tuturkan jalur-jalur hadisnya dan aneka ragam lafaznya. Imam Malik di dalam kitab Muwatta’-nya mengatakan dari Yahya ibnu Sa’id, dari Amrah binti Abdur Rahman ibnu Sa’id ibnu Zararah, bahwa ia telah menceritakan kepadanya apa yang ia terima dari Habibah binti Sahl Al-Ansari, bahwa ia pernah menjadi istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menunaikan shalat Subuh, beliau menjumpai Habibah binti Sahl berada di depan pintu rumahnya dalam cuaca pagi yang masih gelap. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “”Siapakah wanita ini?”” Ia menjawab, “”Aku Habibah binti Sahl.”” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “”Apakah keperluanmu?”” Ia menjawab, “”Aku tidak ada kaitan lagi dengan Sabit ibnu Qais,”” maksudnya suaminya. Ketika suaminya (yakni Sabit ibnu Qais) datang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “”Perempuan ini adalah Habibah binti Sahl, ia menceritakan semua apa yang dikehendaki oleh Allah mengenai dirinya.”” Habibah berkata, “”Wahai Rasulullah, semua apa yang pernah ia berikan masih utuh ada padaku.”” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (kepada Sabit ibnu Qais), “”Ambillah kembali darinya.”” Kemudian Sabit mengambil kembali pemberian itu dari Habibah, lalu Habibah tinggal di rumah keluarganya. Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Malik berikut sanadnya. Imam Abu Dawud meriwayatkannya pula dari Al-Qa’nabi, dari Malik, sedangkan Imam An-Nasai meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Maslamah, dari Ibnul Qasim, dari Imam Malik.

Hadits lain diriwayatkan dari Siti Aisyah. Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Jarir mengatakan: “” telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ma’mar, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abu Amr As-Sadusi, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Amrah, dari Siti Aisyah, bahwa Habibah binti Sahl adalah istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, lalu Sabit memukulnya hingga salah satu anggota tubuhnya ada yang patah.

Kemudian Habibah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah shalat Subuh, dan mengadu kepadanya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Sabit dan bersabda, “”Ambillah sebagian hartanya dan ceraikanlah dia!”” Sabit bertanya, “”Apakah hal tersebut dianggap baik, wahai Rasulullah?”” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “”Ya.”” Sabit berkata, “”Sesungguhnya aku menyedekahkan kepadanya dua buah kebun kurma yang sekarang masih berada di tangannya.”” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “”Ambillah kedua kebun itu darinya, kemudian ceraikanlah dia.”” Lalu Sabit melakukan hal tersebut. Demikianlah menurut lafal Ibnu Jarir. Abu Amr As-Sadusi adalah Sa’id ibnu Salamah ibnu Abul Husam. Hadits lainnya bersumber dari sahabat Ibnu Abbas. Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu Jamil, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab As-Saqafi, telah menceritakan kepada kami Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan hadits berikut: Bahwa istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “”Wahai Rasulullah, aku tidak mencelanya dalam masalah akhlak, tidak pula dalam masalah agama, melainkan aku tidak suka kemunafikan sesudah masuk Islam.”” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “”Maukah engkau mengembalikan kepadanya kebun (kurma)nya?”” Ia menjawab, “”Ya.”” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “”Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah dia sekali talak.”” Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam An-Nasai dari Azar ibnu Jamil berikut sanadnya.

Imam Al-Bukhari meriwayatkannya pula dari Ishaq Al-Wasiti, dari Khalid (yaitu Abdullah At-Tahawi), dari Khalid (yaitu Ibnu Mahran Al-Hazza), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dengan lafal yang semisal. Demikian pula Imam Al-Bukhari meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Ayyub, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sedangkan pada sebagiannya disebutkan bahwa istri Sabit ibnu Qais mengatakan: Aku tidak tahan dengannya yakni benci. Hadits ini bila ditinjau dari segi ini hanya Imam Al-Bukhari sendiri yang memilikinya.

Kemudian Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari Ikrimah, bahwa Jamilah demikianlah menurutnya, tetapi yang masyhur nama pelaku wanitanya adalah Habibah, seperti yang disebut sebelumnya. Akan tetapi, Imam Abu Abdullah ibnu Buttah mengatakan: telah menceritakan kepadaku Abu Yusuf (yakni Ya’qub ibnu Yusuf At-Tabbakh), telah menceritakan kepada kami Abul Qasim (yaitu Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdul Aziz Al-Baghawi), telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepadaku Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Sa’id, dari Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadits berikut: .

Bahwa Jamilah binti Salul datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “”Demi Allah, bukan karena aku mencela Sabit ibnu Qais dalam masalah agama dan akhlak, tetapi aku benci kepada kemunafikan sesudah Islam; aku tidak tahan dengannya karena benci.”” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “”Maukah engkau mengembalikan kebunnya kepadanya?”” Jamilah menjawab, “”Ya”” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Sabit Ibnu Qais untuk mengambil kembali pokoknya dan tidak boleh lebih. Ibnu Mardawaih meriwayatkannya di dalam kitab tafsirnya melalui Musa ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu Marwan, telah menceritakan kepada kami Abdul A’la hal yang semisal.

Demikian pula menurut riwayat Ibnu Majah, dari Azar ibnu Marwan berikut sanadnya dengan lafal yang sama, sanad hadits ini baik lagi benar. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Waqid, dari Sabit, dari Abdullah ibnu Rabah, dari Jamilah binti Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, bahwa ia pernah menjadi istri Sabit ibnu Qais, lalu membangkang kepada suaminya.

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya, kemudian bersabda kepadanya: “”Wahai Jamilah, mengapa engkau tidak suka kepada Sabit?'”” Jamilah menjawab, “”Demi Allah, bukannya aku tidak senang kepadanya dalam masalah agama, tidak pula dalam masalah akhlak, melainkan aku tidak suka kepada penampilannya yang buruk.”” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “”Maukah engkau mengembalikan kepadanya kebun itu?”” Jamilah menjawab, “”Ya.”” Maka Jamilah mengembalikan kebun itu, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceraikan di antara keduanya. Ibnu Jarir meriwayatkan pula: telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Al-Mu’tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah belajar kepada Fudail yang menerima hadits berikut dari Abu Jarir, bahwa Abu Jarir pernah bertanya kepada Ikrimah, “”Apakah masalah khulu’ mempunyai dalil asal?”” Ikrimah menjawab bahwa Ibnu Abbas pernah menceritakan, mula-mula peristiwa khulu’ dalam Islam terjadi pada saudara perempuan Abdullah ibnu Ubay.

Disebutkan bahwa pada mulanya saudara perempuan Abdullah ibnu Ubay datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya, “”Wahai Rasulullah, semoga aku dan dia tidak dipertemukan untuk selama-lamanya. Sesungguhnya aku mengintip di balik tendaku, lalu aku lihat dia datang dengan segala perangkatnya. Ternyata dia adalah lelaki berkulit hitam, tubuhnya sangat pendek, dan mukanya sangat jelek.”” Maka suaminya berkata, “”Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah memberikan kepadanya harta milikku yang paling berharga, yaitu kebunku.

Bagaimanakah kalau dia mengembalikan kebun itu kepadaku?”” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada istrinya, “”Bagaimanakah pendapatmu?”” Si istri menjawab, “”Ya. Dan jika dia menghendaki, aku beri tambahannya.”” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan (menceraikan) keduanya. Hadits lainnya diriwayatkan oleh Ibnu Majah: telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Hajjaj, dari Amr ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan: Habibah binti Sahl pada mulanya menjadi istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, sedangkan Sabit adalah orang yang buruk rupanya. Lalu Habibah berkata, “”Wahai Rasulullah, demi Allah, sekiranya aku tidak takut kepada Allah, bila ia masuk ke kamarku, niscaya aku ludahi wajahnya.”” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “”Maukah engkau mengembalikan kebunnya kepada dia?”” Habibah menjawab, “”Ya.”” Lalu Habibah mengembalikan kepada Sabit kebun (yang pernah ia berikan kepada)nya.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan keduanya. Para imam berbeda pendapat mengenai masalah bila pihak lelaki meminta tebusan yang jumlahnya lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepada pihak si istri. Menurut jumhur ulama, hal tersebut diperbolehkan karena mengingat keumuman makna firman-Nya: maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229) Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Kasir maula Ibnu Samurah, bahwa dihadapkan kepada Khalifah Umar seorang wanita yang membangkang terhadap suaminya.

Maka Khalifah Umar memerintahkan agar wanita tersebut disekap di dalam sebuah aimah yang banyak sampahnya. Setelah itu si wanita tersebut dipanggil dan ditanya, “”Bagairnanakah perasaanmu?”” Si wanita menjawab, “”Aku belum pernah merasa ketenangan sejak aku dinikahi olehnya kecuali malam tadi sewaktu engkau menyekapku.”” Maka Khalifah Umar berkata kepada suaminya, “”Ceraikanlah dia, sekalipun dengan tebusan anting-anting-nya.”” Asar ini diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Kasir maula Samurah dengan lafal yang semisal.

Tetapi di dalam riwayat ini disebutkan bahwa Khalifah Umar menyekap wanita itu di dalam rumah tersebut selama tiga hari. Sa’id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, bahwa ada seorang wanita datang kepada Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu wanita itu mengadu perihal dengan suaminya. Maka Khalifah Umar menyekapnya di dalam rumah yang penuh dengan sampah.

Pada keesokan harinya Khalifah Umar berkata kepadanya, “”Bagaimanakah keadaan tempatmu ini?”” Wanita itu menjawab, “”Sejak aku dinikahi olehnya, aku belum pernah merasakan malam hari yang menyenangkan seperti malam ini.”” Maka Khalifah Umar berkata (kepada suaminya), “”Ambillah, sekalipun kondenya (lalu ceraikanlah dia).”” Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa Usman memperbolehkan khulu’ dengan tebusan yang lebih kecil daripada konde. Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail, bahwa Ar-Rabi’ binti Mu’awwaz ibnu Afra pernah menceritakan atsar berikut.

Ia pernah mempunyai seorang suami yang tidak baik kepadanya bila ada di rumah; dan apabila bepergian, maka si suami menelantarkannya. Ar-Rabi’ binti Mu’awwaz melanjutkan kisahnya, bahwa pada suatu hari ia terlanjur mengatakan kalimat, “”Aku meminta khulu’ kepadamu dengan tebusan semua yang aku miliki.”” Si suami menjawab, “”Ya.”” Maka Ar-Rabi’ melakukan hal itu. Ar-Rabi’ melanjutkan kisahnya, bahwa pamannya (yaitu Mu’az ibnu Afra) memperkarakan hal itu kepada Khalifah Usman ibnu Affan.

Maka Khalifah Usman memperbolehkan khulu’ itu dan memerintahkan kepada suaminya untuk mengambil konde kepalanya dan yang lebih kecil daripada itu, atau segala sesuatu yang nilainya lebih kecil daripada konde. Makna yang dimaksud dari atsar ini ialah bahwa pihak suami diperbolehkan mengambil dari istrinya yang meminta khulu’ seperti itu segala sesuatu yang menjadi miliknya, baik yang bernilai besar ataupun kecil, dan tiada menyisakan untuk si istri kecuali tusuk konde kepalanya.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha’i, Qubaisah ibnu Zuaib, Al-Hasan ibnu Saleh, dan Usman Al-Batti. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Maliki, Al-Al-Laits, Imam Syafii, dan Abu Tsaur serta dipilih oleh Ibnu Jarir. Murid-murid Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa jika mudarat yang ditimbulkan bersumber dari pihak istri, maka pihak suami diperbolehkan menarik dari pihak istri apa yang pernah diberikan kepadanya, dan tidak boleh lebih dari itu.

Jika pihak suami menuntut tambahannya, maka hanya diperbolehkan lewat pengadilan. Jika mudarat yang ditimbulkan bersumber dari pihak suami, maka tidak boleh pihak suami mengambil sesuatu pun dari pihak istrinya. Jika pihak suami ingin mengambilnya kembali, maka hanya diperbolehkan lewat pengadilan. Imam Ahmad, Abu Ubaid, dan Ishaq ibnu Rahawaih mengatakan bahwa pihak suami tidak boleh mengambil lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepada istrinya yang meminta khulu’.

Hal ini dikatakan oleh Sa’id ibnu Musayyab, ‘Atha’, Amr ibnu Syu’aib, Az-Zuhri, Tawus, Al-Hasan, Asy-Sya’bi, Hammad ibnu Abu Sulaiman, dan Ar-Rabi’ ibnu Anas. Ma’mar dan Al-Hakam mengatakan bahwa sahabat Ali pernah mengatakan, “”Seorang suami tidak boleh mengambil dari wanita yang meminta khulu’ lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan ke-padanya.”” Al-Auza’i mengatakan bahwa para kadi tidak membolehkan seorang lelaki mengambil dari istrinya yang minta khulu’ lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepadanya.

Menurut kami, dalil dari pendapat ini adalah hadits yang telah kami sebutkan di atas yang diriwayatkan oleh Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dalam kisah Sabit ibnu Qais. Yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Sabit agar mengambil dari istrinya kebun itu (yang pernah ia berikan kepadanya) dan tidak boleh lebih dari itu. Dalil lainnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Abdu ibnu Humaid yang menceritakan, telah menceritakan kepada kami Qubaisah, dari Sufyan, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka bila seorang lelaki mengambil dari istrinya yang minta khulu’ hal yang lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepadanya.

Mereka menakwilkan makna ayat berikut: Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229) Yakni berupa apa yang pernah diberikan pihak suami kepadanya, mengingat dalam ayat sebelumnya disebutkan: Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.

Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229) Yaitu mengembalikan kembali pemberian tersebut. Takwil yang sama dikemukakan pula oleh Ar-Rabi’ ibnu Anas melalui qiraahnya yang mengatakan, “”Tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya dengan mengembalikan pemberian tersebut.”” Demikianlah menurut riwayat Ibnu jarir.

Karena itulah maka sesudahnya disebutkan: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim. (Al-Baqarah: 229) Imam Syafii mengatakan bahwa teman-teman kami berselisih pendapat dalam masalah khulu’. Telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas mengenai masalah seorang lelaki yang menceraikan istrinya dua kali talak, sesudah itu pihak istri meminta khulu’ darinya.

Maka pihak suami boleh mengawininya jika suka, mengingat Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229) sampai dengan firman-Nya: bila keduanya (bekas suami pertama dan istri) kawin kembali. (Al-Baqarah: 230) Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang diperbolehkan melalui imbalan harta bukan talak namanya. Sedangkan selain Imam Syafii meriwayatkan dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibrahim ibnu Sa’d ibnu Abu Waqqas pernah bertanya kepadanya mengenai masalah seorang lelaki yang menceraikan istrinya dua kali talak, kemudian pihak istri minta khulu’ darinya.

Pertanyaannya, “”Bolehkah suami tersebut mengawininya kembali?”” Ibnu Abbas menjawab, “”Ya, boleh. Khulu’ bukanlah talak. Allah menyebutkan masalah talak pada permulaan ayat dan akhirnya, sedangkan masalah khulu’ disebutkan-Nya di antara keduanya. Maka khulu’ bukan merupakan sesuatu yang dianggap (sebagai talak).”” Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229); Firman-Nya: Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 230) Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas yang kesimpulannya menyatakan bahwa khulu’ bukanlah talak, melainkan fasakh nikah.

Hal yang sama dikatakan pula oleh suatu riwayat dari Usman ibnu Affan dan Ibnu Umar. Juga merupakan pendapat yang dikatakan oleh Tawus dan Ikrimah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Tsaur, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Syafii dalam qaul qadimnya, dan sesuai dengan makna lahiriah ayat yang bersangkutan. Pendapat yang kedua mengenai masalah khulu’ mengatakan bahwa khulu’ adalah talak bain, kecuali jika lelaki yang bersangkutan berniat lebih dari itu.

Imam Malik meriwayatkan dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Jahman maula Bani Aslam, dari Ummu Bakr Al-Aslamiyyah, bahwa ia pernah meminta khulu’ dari suaminya yang bernama Abdullah ibnu Khalid ibnu Usaid. Lalu keduanya datang menghadap Usman ibnu Affan, mengadukan perkara tersebut. Maka Khalifah Usman mengatakan, “”Talak satu. Kecuali jika kamu menyebutkan bilangannya, maka talak yang jatuh menurut apa yang kamu sebutkan.”” Imam Syafii mengatakan bahwa ia tidak mengenal perawi yang bernama Jahman tersebut.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, ia mengatakan bahwa atsar ini dha’if. Hal yang sama diriwayatkan pula melalui Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, dan ibnu Umar. Dikatakan pula oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan, ‘Atha’, Syuraih, Asy-Sya’bi, Ibrahim, dan Jabir ibnu Zaid. Juga dikatakan oleh Imam Malik, Abu Hanifah, dan teman-temannya; serta Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Abu Usman Al-Batti, dan Imam Syafii dalam qaul jadid-nya.

Hanya mazhab Hanafi mengatakan, “”Manakala Mukhali’ berniat dengan khulu’-nya itu menjatuhkan sekali talak atau dua kali atau memutlakkannya, maka yang terjadi adalah talak satu bainah. Jika pihak suami berniat menjatuhkan tiga talak, maka yang jatuh adalah tiga talak.”” Imam Syafii mempunyai pendapat lain dalam masalah khulu’, yaitu manakala khulu’ terjadi bukan dengan lafal talak dan lagi tidak ada bayyinah (bukti/saksi), maka hal tersebut bukan dinamakan sebagai suatu masalah sama sekali.

Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Ahmad, Ishaq ibnu Rahawaih dalam salah satu riwayat darinya yang terkenal mengatakan, wanita yang meminta khulu’ mempunyai idah sama dengan idah wanita yang ditalak, yaitu tiga quru’ jika ia termasuk wanita yang berhaid. Hal ini telah diriwayatkan dari Umar, Ali, dan Ibnu Umar. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa’id ibnul Musayyab, Sulaiman ibnu Yasar dan Urwah, Salim, Abu Salamah, Umar ibnu Abdul Aziz, Ibnu Syihab, Al-Hasan, Asy-Sya’bi, Ibrahim An-Nakha’i, Abu Iyad, Khal-las Ibnu Umar, Qatadah, Sufyan, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Al-Laits ibnu Sa’d, dan Abul Ubaid.

Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa pendapat inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ulama dari kalangan sahabat dan lain-lainnya. Kesimpulan pendapat mereka dalam masalah ini menyatakan bahwa khulu’ adalah talak. Karena itu, wanita yang meminta khulu’ dikategorikan sebagaimana wanita-wanita lainnya yang diceraikan. Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita yang meminta khulu’ dari suaminya melakukan idahnya hanya dengan sekali haid untuk membersihkan rahimnya.

Ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa’id, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, bahwa Ar-Rabi’ meminta khulu’ kepada suaminya, lalu paman Ar-Rabi’ datang kepada Khalifah Usman (mengadukan hal tersebut). Lalu Usman berkata, “”Hendaklah ia melakukan idah selama sekali haid.”” Ibnu Abu Syaibah mengatakan bahwa Ibnu Umar mengatakan, “”Hendaklah wanita yang khulu’ melakukan idahnya selama tiga kali haid.”” Hingga Khalifah Usman sendiri mengatakan hal yang sama, dan Ibnu Umar selalu memfatwakan demikian dan mengatakan, “”Usman adalah orang yang paling terpilih dan paling alim di antara kami.”” Telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Ubaidillah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa idah wanita yang meminta khulu’ kepada suaminya adalah sekali haid.

Telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, dari Al-Laits, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mukhtali’ah (wanita yang meminta khulu’) idahnya adalah sekali haid. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah dan Aban ibnu Usman beserta semua orang yang telah disebutkan di atas dari kalangan mereka yang mengatakan bahwa khulu’ adalah fasakh. Mereka mengatakan demikian berdalilkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi; masing-masing dari keduanya mengatakan: telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahim Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Bahr, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Yusuf, dari Ma’mar, dari Amr ibnu Muslim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: Bahwa istri Sabit ibnu Qais meminta khulu’ dari suaminya di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya agar melakukan idah sekali haid.

Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan lagi gharib. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma’mar, dari Amr ibnu Muslim, dari Ikrimah secara mursal. Hadits lain diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi: telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Musa, dari Sufyan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman (yaitu maula keluarga Talhah), dari Sulaiman ibnu Yasar, dari Ar-Rabi’ binti Mu’awwaz ibnu Afra, bahwa ia pernah meminta khulu’ di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya atau dia diperintahkan untuk melakukan idah sekali haid.

Imam At-Tirmidzi mengatakan, yang shahih adalah disebutkan bahwa ia diperintahkan untuk melakukan idah sekali haid. Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah: telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Salamah An-Naisaburi, telah menceritakan kepada kami Ya’qub ibnu Ibrahim ibnu Sa’d, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Ubadah ibnu Walid ibnu Ubadah ibnus Samit, dari Ar-Rabi’ binti Mu’awwaz ibnu Afra, bahwa Ubadah pernah berkata kepada Ar-Rabi’, “”Ceritakanlah kepadaku kisah tentang dirimu.”” Ar-Rabi’ menjawab, “”Aku pernah meminta khulu’ dari suamiku.

Kemudian aku datang kepada Khalifah Us’man dan menanyakan kepadanya berapa lama idah yang harus aku jalani. Maka Khalifah Usman menjawab, ‘Tiada idah atas dirimu, kecuali jika suamimu baru saja menggaulimu, maka kamu tinggal padanya selama sekali haid’.”” selanjutnya Ar-Rabi’ mengatakan bahwa sesungguhnya dia dalam masalah ini hanyalah mengikut kepada peradilan yang telah diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Maryam Al-Mugaliyah. Maryam pada mulanya menjadi istri Sabit ibnu Qais, lalu ia meminta khulu’ darinya.

Ibnu Luhai’ah menceritakan dari Abul Aswad, dari Abu Salamah dan Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Sauban, dari Ar-Rabi’ binti Mu’awwaz yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada istri Sabit ibnu Qais ketika meminta khulu’ dari suaminya agar melakukan idah sekali haid. Lelaki yang meng-khulu’ istrinya tidak boleh merujuki istrinya yang meminta khulu’ dalam idahnya tanpa seizin dari pihak si istri. Demikianlah menurut para imam yang empat dan jumhur ulama, karena si istri telah memiliki dirinya sendiri berkat tebusan yang telah ia berikan kepada pihak suami.

Telah diriwayatkan dari Abdullah ibnu Abu Aufa, Mahan Al-Hanafi, dan Sa’id ibnul Musayyab serta Az-Zuhri, bahwa mereka mengatakan, “”Jika pihak suami mengembalikan lagi tebusan tersebut kepada pihak istri, maka pihak suami diperbolehkan merujuki istrinya selagi dalam idahnya tanpa perlu ada kerelaan dari pihak si istri.”” Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Tsaur rahimahullah. Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, “”Jika khulu’ terjadi bukan dengan memakai lafal talak, maka hal ini namanya perpisahan, dan tidak ada jalan lagi bagi pihak suami untuk merujukinya.

Jika pihak suami menyebutnya dengan memakai kalimat talak, maka dialah yang lebih berhak merujuki istrinya selagi masih berada dalam idahnya.”” Pendapat inilah yang dikatakan oleh Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Semua ulama sepakat bahwa lelaki yang meng-khulu’ istrinya berhak mengawini istrinya selagi masih dalam idah. Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barra telah meriwayatkan dari sejumlah ulama, bahwa suami tidak boleh merujuki istrinya yang telah di-khulu’, sebagaimana tidak boleh pula bagi lelaki lain yang ingin mengawininya.

Pendapat ini syaz (menyendiri) lagi tidak dapat diterima. Apakah si suami boleh menjatuhkan talak lainnya kepada mukhtali’ah di masa idahnya? Sehubungan dengan masalah ini ada tiga pendapat di kalangan ulama. Pendapat pertama: mengatakan bahwa pihak suami tidak boleh melakukan demikian, karena pihak istri telah memiliki dirinya sendiri dan terpisah dari dia. Hal inilah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnuz Zubair, Ikrimah, Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan Al-Basri, Imam Syafii, Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, dan Abu Tsaur.

Pendapat kedua. Imam Malik mengatakan, “”Jika talak diikutkan dengan khulu’ tanpa ada tenggang waktu di antara keduanya, maka talaknya sah. Tetapi jika si suami diam sebentar di antara keduanya (lafal khulu’ dan lafal talak), maka talaknya tidak jatuh.”” Ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat ini mirip dengan apa yang diriwayatkan dari sahabat Usman Pendapat ketiga mengatakan bahwa talak jatuh atas diri si istri yang meminta khulu’ dalam keadaan apa pun selagi si istri masih berada dalam idahnya.

Pendapat ini merupakan pegangan Abu Hanifah dan semua teman-temannya serta Ats-Tsauri dan Al-Auza’i. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa’id ibnul Musayyab, Syuraih, Tawus, Ibrahim, Az-Zuhri, Al-Hakim, Al-Hakam, dan Hammad ibnu Abu Sulaiman. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Abu Darda. Ibnu Abdul Bar mengatakan, hal tersebut masih belum terbukti bersumberkan dari keduanya (Ibnu Mas’ud dan Abu Darda). Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya.

Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229) Yakni syariat-syariat yang telah ditetapkan-Nya bagi kalian merupakan hukum-hukum-Nya, maka janganlah kalian melanggarnya. Seperti yang dijelaskan di dalam hadits shahih yang mengatakan: Sesungguhnya Allah telah menggariskan hukum-hukum-Nya, maka janganlah kalian melanggarnya; dan Dia telah menetapkan fardu-fardu-Nya, maka janganlah kalian melalaikannya; dan Dia telah mengharamkan hal-hal yang haram, maka janganlah kalian melanggarnya; dan Dia membiarkan banyak hal karena kasihan kepada kalian tanpa melupakannya, maka janganlah kalian menanyakan tentangnya.

Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa menggabungkan tiga kali talak dalam satu kalimat hukumnya haram. Seperti yang dikatakan oleh mazhab Maliki dan orang-orang yang sependapat dengan mereka. Karena sesungguhnya hal yang diberlakukan di kalangan mereka, talak itu dijatuhkan hanya sekali talak, karena berdasarkan kepada firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229) Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggar-nya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229) Hal ini diperkuat oleh mereka dengan sebuah hadits dari Mahmud ibnu Labid yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasai di dalam kitab sunan-nya.

Disebutkan bahwa: telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Makhramah ibnu Bukair, dari ayahnya, dari Mahmud ibnu Labid yang menceritakan: Diceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya tiga kali talak sekaligus. Maka beliau berdiri dalam keadaan emosi dan bersabda, “”Apakah Kitabullah dipermainkan, sedangkan aku masih ada di antara kalian? Hingga ada seorang lelaki yang bangkit dan mengatakan, “”Wahai Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya!”” Akan tetapi, di dalam sanad hadits ini terdapat inqita’.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 230) Yaitu apabila seorang lelaki menceraikan istrinya dalam talak yang ketiga, sesudah dua talak yang mendahuluinya jauh sebelum itu, maka si istri tidak halal lagi bagi suaminya sebelum kawin dengan lelaki yang lain, yakni hingga suaminya yang baru menyetubuhinya dalam perkawinan yang benar.

Seandainya si istri disetubuhi oleh lelaki yang lain bukan dalam nikah, sekalipun si istri adalah milkul yamin (budak perempuan), maka si istri tetap tidak halal bagi suaminya yang pertama, karena bukan suami. Demikian pula seandainya kawin dengan suami yang baru, tetapi belum disetubuhi oleh suami yang baru, maka si istri tetap tidak halal bagi suaminya yang pertama. Telah terkenal di kalangan kebanyakan ulama fiqih, bahwa Sa’id ibnul Musayyab pernah mengatakan, “”Maksud yang dituju telah berhasil untuk men-tahlil-kan (menghalalkan) si istri bagi suaminya yang pertama hanya dengan melakukan akad nikah dengan lelaki yang lain.”” Akan tetapi, kesahihan pendapat ini dari dia masih perlu dipertimbangkan, sekalipun Asy-Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar telah meriwayatkannya dari dia di dalam kitab Al-Istiikar-nya.

Dikatakan demikian karena Abu Ja’far ibnu Jarir meriwayatkan: telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far, dari Syu’bah, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Salim ibnu Razin, dari Salim ibnu Abdullah, dari Sa’id ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang lelaki yang menikahi seorang wanita, lalu ia menceraikannya sebelum menggaulinya dengan talak tiga kali. Kemudian wanita itu dikawin oleh lelaki lain dan langsung diceraikan sebelum disetubuhinya.

Hal ini ditanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “”Bolehkah si wanita tersebut kembali kepada suaminya yang pertama?”” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Tidak boleh, sebelum si wanita mencicipi madu kecilnya dan si suami yang baru mencicipi pula madu kecilnya. Hal yang sama disebutkan pula di dalam riwayat Ibnu Jarir. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Untuk itu dia mengatakan: telah menceritakan kepada karai Muhammad ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Alqamah ibnu Marsad yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Salim ibnu Razin menceritakan hadits berikut dari Salim ibnu Abdullah (yakni Ibnu Umar), dari Sa’ib ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehubungan dengan masalah seorang lelaki yang mempunyai istri, lalu istrinya itu ditalaknya.

Kemudian si istri dikawini oleh lelaki lain dan diceraikannya sebelum disetubuhinya, lalu si istri kembali kepada suaminya yang pertama. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (Tidak boleh) sebelum si wanita mencicipi madu kecilnya. Demikian pula menurut riwayat Imam An-Nasai, dari Amr ibnu Ali Al-Fallas dan Ibnu Majah, dari Muhammad ibnu Basysyar Bandar; keduanya menceritakan hadits ini dari Muhammad Ibnu Ja’far Gundar, dari Syu’bah dengan lafal yang sama. Apa yang diriwayatkan oleh Sa’id ibnul Musayyab dari Ibnu Umar secara marfu’ bertentangan dengan apa yang diriwayatkan dari Sa’id ibnul Musayyab sendiri, seperti yang disebutkan di atas tadi.

Maka mustahil bila dia menentang riwayatnya sendiri yang ada sandarannya dengan riwayat yang tidak ada sandarannya. Imam Ahmad meriwayatkan pula begitu pula Imam An-Nasai dan Imam Ibnu Jarir hadits ini melalui jalur Sufyan Ats-Tsauri: dari Alqamah ibnu Marsad, dari Razin ibnu Sulaiman Al-Ahmari, dari Ibnu Umar yang menceritakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang menceraikan istrinya sebanyak tiga kali talak, lalu si istri dikawini oleh lelaki lain, dan suaminya yang baru itu menutup pintu rumahnya serta menurunkan kain kelambunya.

Setelah itu dia menceraikannya sebelum menggaulinya. Maka apakah si istri halal bagi suaminya yang pertama? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “”Tidak, sebelum si wanita itu mencicipi madu kecil (suami baru)nya.”” Demikianlah menurut lafal Imam Ahmad dan menurut suatu riwayat dari Ahmad, yakni Sulaiman ibnu Razin. Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad: telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Yazid Al-Hana’i, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang lelaki yang mempunyai istri, lalu ia menceraikannya dengan tiga kali talak.

Sesudah itu bekas istri kawin lagi dengan lelaki lain, tetapi suaminya yang baru ini menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Apakah wanita tersebut boleh dikawini lagi oleh suaminya yang pertama? Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu mencicipi madu kecilnya dan dia mencicipi pula madu kecil suaminya yang baru. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Muhammad ibnu Ibrahim Al-Anmati, dari Hisyam ibnu Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, lalu ia menceritakan hadits ini.

Menurut kami, Muhammad ibnu Dinar ibnu Sandal yang dikenal dengan sebutan Abu Bakar Al-Azdi, lalu At-Ta-i, lalu Al-Basri, yang juga dikenal dengan sebutan Ibnu Abul Furat, para ahli hadits berselisih pendapat mengenai dirinya. Di antara mereka ada yang menilainya lemah, ada pula yang menilainya kuat dan hadisnya dapat diterima serta dinilai baik. Akan tetapi, Imam Abu Dawud menyebutkan bahwa dia mengalami masa pikun sebelum meninggal dunia.

Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir: telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Adam ibnu Abu Ayas Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Syaiban, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abul Haris Al-Gifari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda sehubungan dengan wanita yang diceraikan tiga kali talak oleh suaminya, lalu wanita itu dikawini oleh lelaki lain dan diceraikannya sebelum disetubuhi, kemudian suaminya yang pertama hendak menikahinya kembali: Tidak boleh, sebelum suami barunya merasakan madu kecilnya.

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula melalui jalur lain dari Syaiban (yaitu Ibnu Abdur Rahman) dengan lafal yang sama. Abu Haris orangnya tidak terkenal. Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir: telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, dari Siti Aisyah, bahwa ada seorang lelaki menceraikan istrinya dengan tiga kali talak. Kemudian si istri kawin lagi dengan lelaki lain yang juga menceraikannya sebelum menyetubuhinya.

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “”Apakah si wanita itu halal bagi suaminya yang pertama?”” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu merasakan madu kecilnya sebagaimana suaminya yang pertama telah merasakannya. Hadits ini diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim serta Imam An-Nasai melalui banyak jalur dari Ubaidillah ibnu Umar Al-Umari, dari Al-Qasim ibnu Abu Bukair, dari bibinya, dari Siti Aisyah dengan lafal yang sama. Jalur yang lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir: telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Ismail Al-Hubari dan Sufyan ibnu Waki’ serta Abu Hisyam Ar-Rifa’i.

Semuanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, dari Al-A’masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Aisyah yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya, lalu si istri kawin lagi dengan lelaki yang lain, kemudian suami yang baru ini memasukinya, setelah itu menceraikannya, padahal ia belum menyetubuhinya. Apakah si wanita tersebut halal bagi suaminya yang pertama? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Wanita itu tidak halal bagi suaminya yang pertama sebelum suaminya yang baru merasakan kemanisannya dan dia pun merasakan kemanisan suaminya yang baru itu.

Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Musaddad dan Imam An-Nasai, dari Abu Kuraib; keduanya dari Abu Mu’awiyah (yaitu Muhammad ibnu Hazim yang tuna netra) dengan lafal yang sama. Jalur lain disebutkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya: telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Ala Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai seorang wanita yang dikawini oleh seorang lelaki, lalu diceraikannya.

Setelah itu si wanita tersebut kawin lagi dengan lelaki yang lain, dan suaminya yang baru ini pun menceraikannya pula sebelum menggaulinya, maka apakah wanita tersebut halal dikawin lagi oleh suaminya yang pertama? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu merasakan kemanisannya. Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Fudail, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, semuanya dari Hisyam dengan sanad ini.

Imam Al-Bukhari meriwayatkannya melalui jalur Abu Mu’awiyah (yaitu Muhammad ibnu Hazm), dari Hisyam dengan lafal yang sama. Imam Muslim menyendiri dalam dua jalur lainnya. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Abdullah ibnu Mubarak, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah secara marfu’ dengan lafal yang sama atau yang semisal dengannya. Riwayat ini sanadnya berpredikat jayyid (baik). Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui jalur Ali ibnu Zaid ibnu Jad’an, dari istri ayahnya (yaitu Aminah Ummu Muhammad), dari Aisyah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafal yang semisal.

Konteks hadits di atas merupakan kependekan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, yaitu: Telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Hisyam ibnu Urwah, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Siti Aisyah secara marfu’, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Telah menceritakan pula kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah , bahwa Rifa’ah Al-Qurazi kawin dengan seorang wanita, lalu ia menceraikannya.

Kemudian si wanita itu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kepadanya bahwa dia (suami yang baru) belum menggauli dirinya, dan bahwa apa yang dimilikinya tiada lain mirip dengan ujung kain baju (yakni tidak dapat ereksi). Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak boleh, sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun mencicipi kemanisanmu. Imam Al-Bukhari dalam jalur sanad ini menyendiri dalam periwayatannya. Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad: telah menceritakan kepada kami Abdul A’la, dari Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang menceritakan hadits berikut: Istri Rifa’ah Al-Qurazi masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Ketika itu aku dan Abu Bakar sedang bersamanya. Lalu istri Rifa’ah berkata, “”Sesungguhnya Rifa’ah telah menceraikanku habis-habisan, dan sesungguhnya Abdur Rahman ibnuz Zubair menikahiku, tetapi apa yang ada padanya hanyalah seperti ujung kain baju,”” seraya memegang ujung kain jilbabnya.

Ketika itu Khalid ibnu Sa’id ibnul As berada di dekat pintu rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena belum mendapat izin untuk masuk. Maka ia berkata, “”Wahai Abu Bakar, mengapa engkau tidak menghentikan wanita yang berbicara blakblakan ini di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”” Tiada yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya tersenyum, lalu bersabda, “”Seakan-akan kamu ingin kembali kepada Rifa’ah. Tidak boleh, sebelum kamu merasakan kemanisannya dan dia merasakan pula kemanisanmu.”” Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari melalui hadits Abdullah ibnul Mubarak dan Imam Muslim melalui hadits Abdur Razzaq, serta Imam An-Nasai melalui hadits Yazid ibnu Zurai’.

Ketiga-tiganya meriwayatkan hadits ini dari Ma’mar dengan lafal yang sama. Menurut hadits Abdur Razzaq yang ada pada Imam Muslim disebutkan: Bahwa Rifa’ah menceraikannya dengan tiga kali talak. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Jamaah selain Imam Abu Dawud melalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah dan Imam Al-Bukhari melalui jalur Uqail, serta Imam Muslim melalui jalur Yunus ibnu Yazid.

Yang ada pada riwayat Imam Muslim disebutkan talak terakhir, yaitu yang ketiga. Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui jalur Ayyub ibnu Musa, dan Saleh ibnu Abul Akhdar; semuanya dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah dengan lafal yang sama. Imam Malik meriwayatkan: dari Al-Miswar ibnu Rifa’ah Al-Qurazi, dari Az-Zubair ibnu Abdur Rahman ibnuz Zubair, bahwa Rifa’ah ibnu Samuel menceraikan istrinya yang bernama Tamimah binti Wahb di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tiga kali talak.

Lalu Tamimah kawin lagi dengan Abdur Rahman ibnu Zubair. Akan tetapi, Tamimah berpaling darinya dan ia tidak mampu menyentuhnya. Maka Abdur Rahman ibnuz Zubair menceraikannya. Ketika Rifa’ah ibnu Samuel (yaitu suami pertama yang telah menceraikannya) hendak mengawininya kembali, maka hal tersebut diceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Rifa’ah mengawininya seraya bersabda: Dia tidak halal bagimu sebelum dia merasakan kemanisan (suami baru) nya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh murid-murid Imam Malik di dalam kitab Muwatta’, dari Imam Malik. Akan tetapi, di dalam sanadnya terdapat inqita’. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibrahim ibnu Tahman dan Abdullah ibnu Wahb, dari Malik, dari Rifa’ah, dari Zubair ibnu Abdur Rahman ibnuz Zubair, dari ayahnya yang me-rafa-kan hadits ini.

Tujuan utama perkawinan baru dengan lelaki lain ialah hendaknya perkawinan tersebut didasari rasa cinta yang sesungguhnya kepada wanita yang bersangkutan dan akan membina rumah tangga yang lestari dengannya sebagaimana yang telah disyariatkan dalam ketentuan perkawinan. Imam Malik mensyaratkan selain ini, hendaknya suami yang baru menyetubuhinya dalam keadaan yang diperbolehkan. Untuk itu seandainya suami yang baru menyetubuhinya di masa ia sedang ihrarn atau sedang berpuasa atau sedang i’tikaf atau sedang haid atau sedang nifas, atau pihak suami barunya sedang puasa atau sedang ihrarn atau sedang melakukan i’tikaf, maka si istri masih belum diperbolehkan untuk dikawini oleh suami pertamanya.

Demikian pula jika suami barunya itu adalah seorang kafir zimmi yang tidak halal bagi seorang muslim menikahinya, karena nikah dengan orang kafir hukumnya batil menurut mazhab Maliki. Menurut Al-Hasan Al-Basri melalui riwayat yang dikemukakan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar, dari Al-Hasan, disyaratkan hendaknya suaminya yang baru itu mengeluarkan air mani dalam persetubuhannya. Seakan-akan pendapat ini berpegang kepada makna yang terkandung di dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan: Sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun mencicipi kemanisanmu.

Berdasarkan pengertian ini, maka pihak wanita diharuskan pula mengalami inzal (ejakulasi). Akan tetapi, makna yang dimaksud dengan istilah ‘usailah bukanlah air mani, berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam An-Nasai melalui Siti Aisyah , bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Ingatlah, sesungguhnya ‘usailah adalah jimak (persetubuhan). Jika suami yang baru hanya bertujuan untuk menghalalkan si wanita untuk dikawin lagi oleh suami pertamanya, hal ini disebutkan dengan istilah ‘penghapus talak’ yang dikecam dan dilaknat oleh banyak hadits. Untuk itu apabila suami yang baru mengutarakan maksud yang sebenarnya (yakni hanya sebagai penghapus talak) secara terang-terangan dalam akad nikahnya, maka nikahnya batal menurut kesepakatan jumhur para imam.

Hadits-hadits tentang muhallil Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Imam Ahmad mengatakan: telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Dakin, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Qais, dari Al-Huzail, dari Abdullah yang telah menceritakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat wanita yang menato dan yang ditato, wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang meminta disambung (dengan rambut lain), dan muhallil serta muhallal lah, dan pemakan riba serta orang yang menjadi wakilnya. Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan pula, begitu juga Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai melalui berbagai jalur dari Sufyan (yakni Ats-Tsauri), dari Abu Qais yang nama aslinya Abdur Rahman ibnu Sarwan Al-Audi, dari Huzail ibnu Syurahbil Al-Audi, dari Abdullah ibnu Mas’ud, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafal yang sama.

Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan lagi shahih. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa pendapat inilah yang diamalkan di kalangan ahlul ‘ilmi dari kalangan sahabat yang antara lain ialah Usman, Umar, dan Ibnu Umar. Pendapat ini pula yang dipakai oleh ulama fiqih dari kalangan tabi’in. Hal ini diriwayatkan pula dari Ali, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Abbas.

Jalur lain melalui Ibnu Mas’ud. Imam Ahmad mengatakan: telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Abdul Karim, dari Abul Wasil, dari Ibnu Mas’ud, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah bersabda: Allah melaknat muhallil dan muhallal lah. Jalur yang lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam An-Nasai melalui hadits Al-A’masy, dari Abdullah ibnu Murrah, dari Al-Harts Al-A’war, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa pemakan riba, wakilnya, dan kedua saksinya serta juru tulisnya jika mereka mengetahui transaksi riba; wanita yang menyambung rambutnya dan yang minta disambung rambutnya; penggelap zakat dan memungut zakat yang melampaui batas; orang yang murtad dari kalangan bangsa Arab sesudah hijrahnya; dan muhallil serta muhallal lah; semuanya dilaknat oleh lisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari kiamat.

Hadits yang diriwayatkan melalui sahabat Ali Imam Ahmad mengatakan: telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Jabir, dari Asy-Sya’bi, dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pemakan riba, wakilnya, kedua saksinya, dan juru tulisnya; dan wanita yang menato serta wanita yang minta ditato untuk kecantikan; orang yang tidak mau membayar zakat; dan muhallil serta muhallal lah; dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pula menangisi mayat (dengan tangisan Jahiliah). Hal yang sama diriwayatkan pula dari Gundar, dari Syu’bah, dari Jabir (yaitu Ibnu Yazid Al-Ju’fi), dari Asy-Sya’bi, dari Al-Haris, dari Ali dengan lafal yang sama. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad melalui hadits Ismail ibnu Abu Khalid, Husain ibnu Abdur Rahman, Mujalid ibnu Sa’id, dan Ibnu Aun, dari Amir Asy-Sya’bi dengan lafal yang sama.

Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya pula melalui hadits Asy-Sya’bi dengan lafal yang sama. Kemudian Imam Ahmad mengatakan: telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat tukang riba, pemakannya, juru tulisnya, kedua saksinya, muhallil, dan muhallal lah. Hadits yang diriwayatkan dari Jabir Imam At-Tirmidzi mengatakan: telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Asy’as”” ibnu Abdur Rahman ibnu Yazid Al-Ayyami, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Asy-Sya’bi, dari Jabir ibnu Abdullah dan dari Al-Haris, dari Ali , bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Allah telah melaknat muhallil dan muhallal lah (lelaki penghapus talak dan yang memintanya).

Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan, sanad hadits ini kurang kuat, karena Mujalid dinilai dha’if bukan hanya oleh seorang saja, antara lain ialah Imam Ahmad ibnu Hambal. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Numair, dari Mujalid, dari Asy-Sya’bi, dari Jabir ibnu Abdullah, dari Ali Imam At-Tirmidzi mengatakan, sanad ini merupakan dugaan dari Ibnu Numair; hadits pertama tadi lebih shahih. Hadits yang diriwayatkan dari Uqbah ibnu Amir Abu Abdullah (yaitu Muhammad ibnu Yazid ibnu Majah) mengatakan: telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman ibnu Saleh Al-Masri, telah menceritakan kepada kami ayahku, bahwa ia pernah mendengar Al-Al-Laits ibnu Sa’d mengatakan bahwa Abul Musab (yaitu Musarrih yang dikenal dengan panggilan Ibnu Ahan) pernah menceritakan bahwa Uqbah ibnu Amir pernah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “”Maukah kalian aku ceritakan tentang pejantan sewaan?”” Mereka menjawab, “”Tentu saja kami mau, wahai Rasulullah.”” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “”Dia adalah muhallil (lelaki penghapus talak).

Allah melaknat muhallil dan muhallal lah.”” Hadits ini hanya ada pada Imam Ibnu Majah sendiri. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibrahim ibnu Ya’qub Al-Jauzjani, dari Usman ibnu Saleh, dari Al-Al-Laits dengan lafal yang sama. Kemudian ia mengatakan bahwa mereka menilai Usman dalam hadits ini munkar dengan penilaian munkar yang berat. Menurut kami, Usman yang disebut dalam sanad hadits ini adalah salah seorang perawi tsiqah; Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits darinya di dalam kitab sahihnya, kemudian jejaknya itu diikuti oleh yang lain.

Maka hadits ini diriwayatkan pula oleh Ja’far Al-Giryani, dari Al-Abbas yang dikenal dengan nama Ibnu Fariq, dari Abu Saleh (yaitu Abdullah ibnu Saleh), dari Al-Al-Laits dengan lafal yang sama. Karena itu, maka Usman terbebas dari tuduhan yang dilancarkan kepada dirinya. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Imam Ibnu Majah mengatakan: telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, dari Zam’ah ibnu Saleh, dari Salamah ibnu Wahran, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat muhallil dan muhallal lahu. Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Al-Hafidzh juru khotbah kota Damaskus, yaitu Abu Ishaq (yakni Ibrahim ibnu Ya’qub Al-Jauzjani As-Sa’di):

telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ismail ibnu Abu Hanifah dari Daud Ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai nikah yang dilakukan oleh muhallil, maka beliau bersabda, “”Tidak sah, kecuali nikah karena kehendak sendiri (senang), bukan nikah palsu, bukan pula memperolok-olokkan Kitabullah, kemudian dia merasakan kemanisannya.”” Kedua sanad ini bertambah kuat dengan adanya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, dari Musa ibnu Abul Furat, dari Amr ibnu Dinar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafal yang semisal.

Dengan demikian, maka bertambah kuatlah dengan adanya hadits mursal ini, satu sama lainnya saling memperkuat. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Imam Ahmad mengatakan: telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu Ja’far), dari Usman ibnu Muhammad Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat muhallil dan muhallal lah. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan Al-Jauzjani Al-Al-Baihaqi melalui jalur Abdullah ibnu Ja’far Al-Qurasyi. Imam Ahmad menilainya tsiqah, begitu pula Ali ibnul Madini dan Yahya ibnu Mu’in serta lain-lainnya.

Imam Muslim mengetengahkan hadits ini di dalam kitab sahihnya dari Usman ibnu Muhammad Al-Akhnasi yang dinilai tsiqah oleh Ibnu Mu’in, dari Sa’id Al-Maqbari. Hadits ini termasuk hadits yang dinilai muttafaq ‘alaih (disepakati oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim). Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar Imam Hakim mengatakan di dalam kitab Mustadrak-nya: telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Al-Asam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq As-San’ani, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Abu Yaman (yaitu Muhammad ibnu Mutarrif Al-Madani), dari Umar ibnu Nafi’, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu Umar, lalu lelaki itu menanyakan kepadanya tentang masalah seorang lelaki yang menalak istrinya tiga kali.

Lalu wanita itu dikawini oleh saudaranya tanpa ada persetujuan dari pihak suaminya yang pertama tadi. Maka apakah wanita tersebut halal dikawini lagi oleh suaminya yang pertama (setelah diceraikan oleh suami barunya yang merupakan saudara lelaki dari suami pertamanya)? Maka Ibnu Umar menjawab, “”Tidak boleh, kecuali nikah karena senang. Kami dahulu menganggap perkawinan seperti itu termasuk sifah (zina), yakni di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”” Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini berpredikat shahih, tetapi Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim tidak mengetengahkannya.

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ats-Tsauri, dari Abdullah ibnu Nafi’, dari ayahnya, dari Ibnu Umar dengan lafal yang sama. Ungkapan ini memberikan pengertian bahwa hadits ini berpredikat marfu’. Demikian pula menurut apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, Al-Jauzjani, Harb Al-Kirmani, dan Abu Bakar ibnul Asram melalui hadits Al-A’masy, dari Al-Musayyab ibnu Rafi’, dari Qubaisah ibnu Jabir, dari Umar yang mengatakan: Tidak sekali-kali dihadapkan kepadaku muhallil dan muhallal lah, melainkan aku pasti merajam keduanya.

Imam Al-Baihaqi meriwayatkan melalui hadits Ibnu Luhai’ah, dari Bukair ibnul Asyaj, dari Sulaiman ibnu Yasar, bahwa Khalifah Usman ibnu Affan pernah menangani kasus seorang lelaki yang kawin dengan seorang wanita untuk tujuan menghapus talaknya agar si wanita halal dikawini oleh suami pertamanya. Maka Khalifah Usman ibnu Affan memisahkan keduanya. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ali dan Ibnu Abbas serta sahabat lainnya yang bukan hanya seorang, semoga Allah melimpah-kan rida-Nya kepada mereka.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya. (Al-Baqarah: 230) Yakni suami yang baru sesudah menggaulinya. maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk kawin kembali. (Al-Baqarah: 230) Yaitu dia dan bekas suami yang pertama. jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 230) Maksudnya, kembali membangun rumah tangga secara makruf. Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah jika keduanya menduga bahwa perkawinan mereka kali ini bukanlah palsu.

Itulah hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 230) Yakni syariat-syariat dan ketentuan-ketentuan hukum-Nya. diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Al-Baqarah: 230) Para Imam rahimahumullah berselisih pendapat dalam masalah bila seorang lelaki menceraikan istrinya dengan sekali atau dua kali talak, lalu si lelaki membiarkannya hingga masa idahnya habis. Kemudian si wanita itu kawin dengan lelaki lain dan bersetubuh dengannya, setelah itu ia dicerai kembali hingga habis masa idahnya. Selanjutnya ia dikawini oleh suami pertamanya, maka apakah kembali lagi kepadanya apa yang tersisa dari tiga talaknya, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal? Hal ini juga merupakan pendapat segolongan sahabat.

Ataukah suami yang kedua dianggap telah menghapuskan semua talak yang terjadi sebelumnya? Untuk itu apabila si wanita yang bersangkutan kembali lagi dikawini oleh suami pertama, maka kembali pula kepadanya talak tiga secara utuh, seperti yang dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah dan semua temannya. Alasan mereka mengatakan, apabila suami yang kedua dapat menghapuskan tiga talak, terlebih lagi bila talak yang dihapuskan itu kurang dari tiga.

Kembali Al-Baqarah, ayat 229-230 (229) (230) Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.

Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.

Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. Ayat yang mulia ini mengangkat nasib kaum wanita dari apa yang berlaku pada masa permulaan Islam. Yaitu seorang lelaki lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia menceraikannya sebanyak seratus kali talak, selagi si istri masih dalam masa idahnya. Mengingat hal tersebut merugikan pihak wanita, maka Allah membatasinya hanya sampai tiga kali talak, dan memperbolehkan rujuk pada talak pertama dan kedua, memisahkannya secara keseluruhan pada talak yang ketiga kalinya.

Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229) Imam Abu Dawud di dalam kitab Sunnan-nya mengatakan, yaitu dalam Bab “”Nasakh Rujuk Sesudah Talak Tiga Kali””, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad Al-Marwazi, telah menceritakan kepadaku Ali ibnul Husain ibnu Waqid, dari ayahnya, dari Yazid ibnun Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.

Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya. (Al-Baqarah: 228), hingga akhir ayat. Demikian itu bila ada seorang lelaki menalak istrinya, maka dialah yang lebih berhak merujukinya, sekalipun dia telah menceraikannya sebanyak tiga kali. Maka ketentuan tersebut di-mansukh oleh firman-Nya:Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229), hingga akhir ayat. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam An-Nasai, dari Zakaria ibnu Yahya, dari Ishaq ibnu Ibrahim, dari Ali ibnul Husain dengan lafal yang sama.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdah (yakni Ibnu Sulaiman), dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, bahwa ada seorang lelaki berkata kepada istrinya, “”Aku tidak akan menceraikanmu selama-lamanya, dan tidak akan pula memberimu tempat selama-lamanya.”” Si istri bertanya, “”Bagaimana caranya bisa demikian?”” Lelaki (si suami) menjawab, “”Aku akan menceraikanmu; dan apabila masa idahmu akan habis, maka aku merujukmu kembali.”” Lalu si istri datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kepadanya hal tersebut.

Maka Allah menurunkan firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah 229) Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya melalui jalur Jarir ibnu Abdul Hamid dan Ibnu Idris. Abdu ibnu Humaid meriwayatkannya pula di dalam kitab tafsirnya, dari Ja’far ibnu Aun. Semuanya meriwayatkan hadits ini dari Hisyam, dari ayahnya yang menceritakan: Pada mulanya seorang suami lebih berhak merujuk istrinya, sekalipun ia telah menceraikannya menurut apa yang dikehendakinya, selagi si istri masih berada dalam masa idahnya.

Dan ada seorang lelaki dari kalangan Anshar marah kepada istrinya, lalu ia mengatakan, “”Demi Allah, aku tidak akan menaungimu dan tidak pula akan menceraikanmu.”” Si istri bertanya, “”Bagaimana bisa demikian?”” Si suami menjawab, “”Aku akan menceraikanmu; dan apabila telah dekat masa habis idahmu, maka aku akan merujukmu kembali. Kemudian aku ceraikan kamu lagi; dan apabila sudah dekat masa habis idahmu, maka aku akan merujukmu kembali.”” Kemudian si istri menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya, “”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali”” (Al-Baqarah: 229). Ayah Hisyam melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu orang-orang tidak berani lagi mempermainkan talak, baik mereka yang suka menjatuhkannya maupun yang belum pernah.

Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkannya pula melalui jalur Muhammad ibnu Sulaiman, dari Ya’la ibnu Syabib maula Az-Zubair, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, lalu ia menceritakan ha-dis ini seperti yang disebutkan di atas, yakni semisal dengannya. Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya dari Qutaibah, dari Ya’la ibnu Syabib dengan lafal yang sama. Kemudian Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya pula melalui Abu Kuraib, dari Ibnu Idris, dari Hisyam, dari ayahnya secara mursal, dan mengatakan bahwa sanad hadits ini paling shahih.

Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya melalui jalur Ya’qub ibnu Humaid ibnu Kasib, dari Ya’la ibnu Syabib dengan lafal yang sama, dan mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Kemudian Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Fadl, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah yang menceritakan hadits berikut: Pada mulanya talak tidak mempunyai batas; seorang lelaki dapat menceraikan istrinya, lalu merujukinya kembali selagi si istri belum habis masa idahnya.

Dan tersebutlah terjadi antara seorang lelaki Anshar dengan istrinya suatu hal yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang (yakni menceraikan istrinya dengan seenaknya). Si lelaki berkata, “”Demi Allah, aku benar-benar akan membuat dirimu bukan sebagai janda, bukan pula sebagai wanita yang bersuami.”” Lalu si lelaki menalaknya; dan bila masa idah istrinya hampir habis, maka ia merujukinya kembali; dia melakukan hal tersebut berkali-kali.

Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya, “”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik”” (Al-Baqarah: 229). Maka talak dihentikan sampai batas tiga kali, tiada rujuk lagi sesudah talak tiga, sebelum si istri kawin dengan suami yang baru. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Qatadah secara mursal. As-Suddi, Ibnu Zaid, dan Ibnu Jarir menuturkan pula demikian, dan Ibnu Jarir memilih bahwa hadits ini merupakan tafsir dari ayat ini. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229) Yakni apabila engkau menceraikan istrimu sebanyak sekali talak atau dua kali talak, maka engkau boleh memilih selagi istrimu masih dalam idahnya antara mengembalikan dia kepadamu dengan niat memperbaiki dia dan berbuat baik kepadanya; atau kamu biarkan dia menghabiskan masa idahnya, lalu berpisah darimu dan kamu lepaskan ikatannya darimu dengan cara yang baik; tetapi janganlah kamu berbuat aniaya terhadap haknya barang sedikit pun, jangan pula kamu membuat dia mudarat.

Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “”Apabila seorang lelaki menceraikan istrinya dua kali talak, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam hal tersebut, yakni dalam talak yang ketiga. Adakalanya dia merujukinya dengan cara yang makruf dan mempergaulinya dengan cara yang baik, atau menceraikannya dengan cara yang baik. Dan janganlah ia menganiaya haknya barang sedikit pun.””

Ibnu Abu Hatim mengatakan; telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A’la secara qiraah (bacaan), telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Sufyan Ats-Tsauri, telah menceritakan kepadaku Ismail ibnu Sami’ yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Razin menceritakan hadits berikut: Seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “”Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang makna firman-Nya, ‘Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik”” (Al-Baqarah: 229).

Maka manakah talak yang ketiganya? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “”Melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik.”” Abdu ibnu Humaid meriwayatkan pula hadits ini di dalam kitab tafsirnya yang lafaznya berbunyi seperti berikut: Telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abu Hakim, dan Sufyan, dari Ismail ibnu Sami’, bahwa Abu Razin Al-Asadi pernah menceritakan hadits berikut: Seorang lelaki berkata, “”Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu mengenai firman Allah subhanahu wa ta’ala, ‘Talak (yang boleh dirujuki) dua kali (Al-Baqarah: 229). Maka manakah talak yang ketiganya?”” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “”Melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik adalah talak yang ketiganya.”” Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Sa’id ibnu Mansur, dari Khalid ibnu Abdullah, dari Ismail ibnu Zakaria dan Abu Mu’awiyah, dari Ismail ibnu Sami’, dari Abu Razin dengan lafal yang sama.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Mardawaih melalui jalur Qais ibnur Rabi’, dari Ismail ibnu Sami’, dari Abu Razin dengan lafal yang sama secara mursal. Ibnu Mardawaih meriwayatkan pula melalui jalur Abdul Wahid ibnu Ziyad, dari Ismail ibnu Sami’, dari Anas ibnu Malik, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia menceritakan hadits tersebut. Kemudian Ibnu Mardawaih mengatakan;

telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ahmad ibnu Abdur Rahim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Jarir ibnu Jabalah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aisyah, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Qatadah, dari Anas ibnu Malik yang telah menceritakan: Seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya, “”Wahai Rasulullah, Allah menuturkan masalah talak dua kali, maka manakah talak yang ketiganya?”” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “”Rujuk lagi dengan cara yang makruf atau melepaskan (menceraikan) dengan cara yang baik.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka. (Al-Baqarah: 229) Artinya, tidak dihalalkan bagi kalian mengganggu dan mempersulit mereka dengan maksud agar mereka membayar tebusannya kepada kalian sebagai ganti maskawin yang telah kalian berikan kepada mereka, baik secara keseluruhan atau sebagiannya. Hal ini diungkapkan pula oleh Allah dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya: Dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. (An-Nisa: 19) Jika pihak istri memberikan sesuatu kepada pihak suami dengan suka hati, maka diterangkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui firman-Nya: Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (An-Nisa: 4) Jika suami dan istri bertengkar karena pihak istri tidak dapat menunaikan hak-hak suaminya dan membuat pihak suami marah kepadanya begitu pula sebaliknya, pihak suami tidak dapat mempergaulinya, maka pihak istri boleh menebus dirinya dari pihak suami dengan mengembalikan kepada pihak suami apa yang pernah ia terima darinya.

Tidak ada dosa atas diri istri dalam pengembalian itu, tidak ada dosa pula bagi pihak suami menerimanya dari pihak istri. Karena itulah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229), hingga akhir ayat.

Jika pihak wanita tidak mempunyai halangan (uzur), kemudian ia meminta agar dirinya dilepaskan dengan imbalan tebusan darinya, menurut Ibnu Jarir dalam salah satu riwayatnya disebutkan: telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab. Telah menceritakan pula kepadaku Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah. Keduanya (Abdul Wahhab dan Ibnu Ulayyah) mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari orang yang menceritakannya, dari Sauban, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Wanita mana pun yang meminta kepada suaminya untuk diceraikan tanpa ada alasan yang membenarkan, maka haram baginya bau surga.

Demikian pula menurut riwayat Imam At-Tirmidzi, dari Bandar, dari Abdul Wahhab ibnu Abdul Majid As-Saqafi, dan Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa predikat hadits ini hasan. Imam At-Tirmidzi mengatakan, telah diriwayatkan pula dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abu Asma, dari Sauban. Sebagian ahli hadits ada yang meriwayatkannya dari Ayyub dengan sanad ini, tetapi tidak marfu’.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari Abu Qilabah yang mengatakan bahwa ia pernah menceritakan, Abu Asma dan juga Sauban pernah menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Wanita mana pun yang meminta untuk diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka haram baginya bau surga. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah, Imam ibnu Jarir melalui hadits Hammad ibnu Zaid dengan lafal yang sama.

Jalur periwayatan yang lain diketengahkan oleh Ibnu Jarir: telah menceritakan kepadaku Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Mu’tamir ibnu Sulaiman, dari Al-Laits ibnu Abu Idris, juga Sauban (pelayan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam), bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Pernah bersabda: Wanita mana pun yang meminta kepada suaminya agar diceraikan tanpa alasan yang dibenarkan, maka Allah mengharamkan atasnya bau surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula: Wanita-wanita yang meminta khulu’ (diceraikan oleh suaminya) adalah wanita-wanita munafik. Kemudian Ibnu Jarir dan Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Kuraib, dari Muzahim ibnu Daud ibnu Ulayyah, dari ayahnya, dari Al-Laits (yaitu Ibnu Abu Sulaim), dari Abul Khattab, dari Abu Dzar’ah, dari Abu Idris, dari Sauban, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Wanita-wanita yang meminta khulu’ adalah wanita-wanita munafik.

Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib bila ditinjau dari segi ini, sanadnya pun tidak kuat. Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir: telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Qais ibnur Rabi’, dari Asy’as ibnu Siwar, dari Al-Hasan, dari Sabit ibnu Yazid, dari Uqbah ibnu Amir, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Sesungguhnya wanita-wanita yang minta diceraikan lagi suka bertengkar dengan suaminya adalah wanita-wanita munafik.

Hadits ini berpredikat gharib lagi dha’if bila ditinjau dari segi ini. Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad: telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Al-Hasan, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah bersabda: Wanita-wanita yang minta dicerai oleh suaminya lagi suka bertengkar dengan suaminya adalah wanita-wanita munafik. Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah: telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Khalaf Abu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim, dari Ja’far ibnu Yahya ibnu Sauban, dari pamannya Imarah ibnu Sauban, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Janganlah seorang wanita meminta talak kepada suaminya yang bukan karena alasan semestinya, niscaya ia akan dapat mencium baunya surga; dan sesungguhnya bau surga itu benar-benar dapat dirasakan sejauh perjalanan empat puluh tahun.

Kemudian sejumlah banyak ulama dari kalangan ulama Salaf dan para Imam ulama Khalaf mengatakan bahwa tidak boleh khulu’ kecuali jika pertengkaran dan perpecahan terjadi dari pihak istri. Maka dalam keadaan seperti itu barulah pihak suami diperbolehkan menerima tebusan dari pihak istri untuk membebaskan dia dari ikatan perkawinan. Mereka mengatakan demikian berdalilkan kepada firman-Nya: Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 229) Mereka mengatakan bahwa masalah khulu’ hanya disyariatkan bila kondisinya seperti yang disebutkan ayat ini.

Karena itu, masalah khulu’ tidak berlaku pada kondisi lainnya, kecuali jika ada dalilnya. Sedangkan pada asalnya selain kasus ini tidak ada. Di antara orang yang berpendapat seperti ini ialah Ibnu Abbas, Tawus, Ibrahim, ‘Atha’, Al-Hasan, dan jumhur ulama. Hingga Imam Malik dan Al-A’uzai mengatakan, “”Seandainya seorang suami mengambil sesuatu dari istrinya, sedangkan hal itu memudaratkan pihak istri, maka penebusan itu harus dikembalikan kepadanya dan jatuhlah talaknya sebagai talak raj’i.”” Imam Malik mengatakan, “”Demikianlah yang aku jumpai di kalangan ulama, mereka berpendapat demikian.”” Imam Syafii mengatakan bahwa pihak istri diperbolehkan melakukan khulu’ dalam kondisi percekcokan; sedangkan dalam keadaan tidak ada percekcokan lebih diperbolehkan lagi, berdasarkan analogi yang lebih utama.

Pendapat ini pula yang dikatakan oleh semua muridnya. Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barr mengatakan di dalam kitab Istizkar-nya dari Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani yang mengatakan bahwa khulu’ itu di-mansukh oleh firman-Nya: sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kalian mengambil kembali darinya barang sedikit pun. (An-Nisa: 20) Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani, tetapi pendapat ini lemah dan tidak dapat dipakai.

Karena sesungguhnya Ibnu Jarir sendiri menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Sabit ibnu Qais ibnu Syammas dan istrinya, yaitu Habibah binti Abdullah ibnu Abu Salul. Sekarang marilah kita tuturkan jalur-jalur hadisnya dan aneka ragam lafaznya. Imam Malik di dalam kitab Muwatta’-nya mengatakan dari Yahya ibnu Sa’id, dari Amrah binti Abdur Rahman ibnu Sa’id ibnu Zararah, bahwa ia telah menceritakan kepadanya apa yang ia terima dari Habibah binti Sahl Al-Ansari, bahwa ia pernah menjadi istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menunaikan shalat Subuh, beliau menjumpai Habibah binti Sahl berada di depan pintu rumahnya dalam cuaca pagi yang masih gelap. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “”Siapakah wanita ini?”” Ia menjawab, “”Aku Habibah binti Sahl.”” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “”Apakah keperluanmu?”” Ia menjawab, “”Aku tidak ada kaitan lagi dengan Sabit ibnu Qais,”” maksudnya suaminya. Ketika suaminya (yakni Sabit ibnu Qais) datang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “”Perempuan ini adalah Habibah binti Sahl, ia menceritakan semua apa yang dikehendaki oleh Allah mengenai dirinya.”” Habibah berkata, “”Wahai Rasulullah, semua apa yang pernah ia berikan masih utuh ada padaku.”” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (kepada Sabit ibnu Qais), “”Ambillah kembali darinya.”” Kemudian Sabit mengambil kembali pemberian itu dari Habibah, lalu Habibah tinggal di rumah keluarganya. Hal yang semisal telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Malik berikut sanadnya. Imam Abu Dawud meriwayatkannya pula dari Al-Qa’nabi, dari Malik, sedangkan Imam An-Nasai meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Maslamah, dari Ibnul Qasim, dari Imam Malik.

Hadits lain diriwayatkan dari Siti Aisyah. Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Jarir mengatakan: “” telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ma’mar, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abu Amr As-Sadusi, dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Amrah, dari Siti Aisyah, bahwa Habibah binti Sahl adalah istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, lalu Sabit memukulnya hingga salah satu anggota tubuhnya ada yang patah.

Kemudian Habibah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesudah shalat Subuh, dan mengadu kepadanya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Sabit dan bersabda, “”Ambillah sebagian hartanya dan ceraikanlah dia!”” Sabit bertanya, “”Apakah hal tersebut dianggap baik, wahai Rasulullah?”” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “”Ya.”” Sabit berkata, “”Sesungguhnya aku menyedekahkan kepadanya dua buah kebun kurma yang sekarang masih berada di tangannya.”” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “”Ambillah kedua kebun itu darinya, kemudian ceraikanlah dia.”” Lalu Sabit melakukan hal tersebut. Demikianlah menurut lafal Ibnu Jarir. Abu Amr As-Sadusi adalah Sa’id ibnu Salamah ibnu Abul Husam. Hadits lainnya bersumber dari sahabat Ibnu Abbas. Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu Jamil, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab As-Saqafi, telah menceritakan kepada kami Khalid, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan hadits berikut: Bahwa istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “”Wahai Rasulullah, aku tidak mencelanya dalam masalah akhlak, tidak pula dalam masalah agama, melainkan aku tidak suka kemunafikan sesudah masuk Islam.”” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “”Maukah engkau mengembalikan kepadanya kebun (kurma)nya?”” Ia menjawab, “”Ya.”” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “”Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah dia sekali talak.”” Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam An-Nasai dari Azar ibnu Jamil berikut sanadnya.

Imam Al-Bukhari meriwayatkannya pula dari Ishaq Al-Wasiti, dari Khalid (yaitu Abdullah At-Tahawi), dari Khalid (yaitu Ibnu Mahran Al-Hazza), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dengan lafal yang semisal. Demikian pula Imam Al-Bukhari meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Ayyub, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, sedangkan pada sebagiannya disebutkan bahwa istri Sabit ibnu Qais mengatakan: Aku tidak tahan dengannya yakni benci. Hadits ini bila ditinjau dari segi ini hanya Imam Al-Bukhari sendiri yang memilikinya.

Kemudian Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Ayyub, dari Ikrimah, bahwa Jamilah demikianlah menurutnya, tetapi yang masyhur nama pelaku wanitanya adalah Habibah, seperti yang disebut sebelumnya. Akan tetapi, Imam Abu Abdullah ibnu Buttah mengatakan: telah menceritakan kepadaku Abu Yusuf (yakni Ya’qub ibnu Yusuf At-Tabbakh), telah menceritakan kepada kami Abul Qasim (yaitu Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdul Aziz Al-Baghawi), telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepadaku Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Sa’id, dari Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan hadits berikut: .

Bahwa Jamilah binti Salul datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “”Demi Allah, bukan karena aku mencela Sabit ibnu Qais dalam masalah agama dan akhlak, tetapi aku benci kepada kemunafikan sesudah Islam; aku tidak tahan dengannya karena benci.”” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “”Maukah engkau mengembalikan kebunnya kepadanya?”” Jamilah menjawab, “”Ya”” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Sabit Ibnu Qais untuk mengambil kembali pokoknya dan tidak boleh lebih. Ibnu Mardawaih meriwayatkannya di dalam kitab tafsirnya melalui Musa ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu Marwan, telah menceritakan kepada kami Abdul A’la hal yang semisal.

Demikian pula menurut riwayat Ibnu Majah, dari Azar ibnu Marwan berikut sanadnya dengan lafal yang sama, sanad hadits ini baik lagi benar. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Waqid, dari Sabit, dari Abdullah ibnu Rabah, dari Jamilah binti Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, bahwa ia pernah menjadi istri Sabit ibnu Qais, lalu membangkang kepada suaminya.

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya, kemudian bersabda kepadanya: “”Wahai Jamilah, mengapa engkau tidak suka kepada Sabit?'”” Jamilah menjawab, “”Demi Allah, bukannya aku tidak senang kepadanya dalam masalah agama, tidak pula dalam masalah akhlak, melainkan aku tidak suka kepada penampilannya yang buruk.”” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “”Maukah engkau mengembalikan kepadanya kebun itu?”” Jamilah menjawab, “”Ya.”” Maka Jamilah mengembalikan kebun itu, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceraikan di antara keduanya. Ibnu Jarir meriwayatkan pula: telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A’la, telah menceritakan kepada kami Al-Mu’tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah belajar kepada Fudail yang menerima hadits berikut dari Abu Jarir, bahwa Abu Jarir pernah bertanya kepada Ikrimah, “”Apakah masalah khulu’ mempunyai dalil asal?”” Ikrimah menjawab bahwa Ibnu Abbas pernah menceritakan, mula-mula peristiwa khulu’ dalam Islam terjadi pada saudara perempuan Abdullah ibnu Ubay.

Disebutkan bahwa pada mulanya saudara perempuan Abdullah ibnu Ubay datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya, “”Wahai Rasulullah, semoga aku dan dia tidak dipertemukan untuk selama-lamanya. Sesungguhnya aku mengintip di balik tendaku, lalu aku lihat dia datang dengan segala perangkatnya. Ternyata dia adalah lelaki berkulit hitam, tubuhnya sangat pendek, dan mukanya sangat jelek.”” Maka suaminya berkata, “”Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah memberikan kepadanya harta milikku yang paling berharga, yaitu kebunku.

Bagaimanakah kalau dia mengembalikan kebun itu kepadaku?”” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada istrinya, “”Bagaimanakah pendapatmu?”” Si istri menjawab, “”Ya. Dan jika dia menghendaki, aku beri tambahannya.”” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan (menceraikan) keduanya. Hadits lainnya diriwayatkan oleh Ibnu Majah: telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Hajjaj, dari Amr ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan: Habibah binti Sahl pada mulanya menjadi istri Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, sedangkan Sabit adalah orang yang buruk rupanya. Lalu Habibah berkata, “”Wahai Rasulullah, demi Allah, sekiranya aku tidak takut kepada Allah, bila ia masuk ke kamarku, niscaya aku ludahi wajahnya.”” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “”Maukah engkau mengembalikan kebunnya kepada dia?”” Habibah menjawab, “”Ya.”” Lalu Habibah mengembalikan kepada Sabit kebun (yang pernah ia berikan kepada)nya.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisahkan keduanya. Para imam berbeda pendapat mengenai masalah bila pihak lelaki meminta tebusan yang jumlahnya lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepada pihak si istri. Menurut jumhur ulama, hal tersebut diperbolehkan karena mengingat keumuman makna firman-Nya: maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229) Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya’qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Kasir maula Ibnu Samurah, bahwa dihadapkan kepada Khalifah Umar seorang wanita yang membangkang terhadap suaminya.

Maka Khalifah Umar memerintahkan agar wanita tersebut disekap di dalam sebuah aimah yang banyak sampahnya. Setelah itu si wanita tersebut dipanggil dan ditanya, “”Bagairnanakah perasaanmu?”” Si wanita menjawab, “”Aku belum pernah merasa ketenangan sejak aku dinikahi olehnya kecuali malam tadi sewaktu engkau menyekapku.”” Maka Khalifah Umar berkata kepada suaminya, “”Ceraikanlah dia, sekalipun dengan tebusan anting-anting-nya.”” Asar ini diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma’mar, dari Ayyub, dari Kasir maula Samurah dengan lafal yang semisal.

Tetapi di dalam riwayat ini disebutkan bahwa Khalifah Umar menyekap wanita itu di dalam rumah tersebut selama tiga hari. Sa’id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, bahwa ada seorang wanita datang kepada Khalifah Umar ibnul Khattab, lalu wanita itu mengadu perihal dengan suaminya. Maka Khalifah Umar menyekapnya di dalam rumah yang penuh dengan sampah.

Pada keesokan harinya Khalifah Umar berkata kepadanya, “”Bagaimanakah keadaan tempatmu ini?”” Wanita itu menjawab, “”Sejak aku dinikahi olehnya, aku belum pernah merasakan malam hari yang menyenangkan seperti malam ini.”” Maka Khalifah Umar berkata (kepada suaminya), “”Ambillah, sekalipun kondenya (lalu ceraikanlah dia).”” Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa Usman memperbolehkan khulu’ dengan tebusan yang lebih kecil daripada konde. Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail, bahwa Ar-Rabi’ binti Mu’awwaz ibnu Afra pernah menceritakan atsar berikut.

Ia pernah mempunyai seorang suami yang tidak baik kepadanya bila ada di rumah; dan apabila bepergian, maka si suami menelantarkannya. Ar-Rabi’ binti Mu’awwaz melanjutkan kisahnya, bahwa pada suatu hari ia terlanjur mengatakan kalimat, “”Aku meminta khulu’ kepadamu dengan tebusan semua yang aku miliki.”” Si suami menjawab, “”Ya.”” Maka Ar-Rabi’ melakukan hal itu. Ar-Rabi’ melanjutkan kisahnya, bahwa pamannya (yaitu Mu’az ibnu Afra) memperkarakan hal itu kepada Khalifah Usman ibnu Affan.

Maka Khalifah Usman memperbolehkan khulu’ itu dan memerintahkan kepada suaminya untuk mengambil konde kepalanya dan yang lebih kecil daripada itu, atau segala sesuatu yang nilainya lebih kecil daripada konde. Makna yang dimaksud dari atsar ini ialah bahwa pihak suami diperbolehkan mengambil dari istrinya yang meminta khulu’ seperti itu segala sesuatu yang menjadi miliknya, baik yang bernilai besar ataupun kecil, dan tiada menyisakan untuk si istri kecuali tusuk konde kepalanya.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha’i, Qubaisah ibnu Zuaib, Al-Hasan ibnu Saleh, dan Usman Al-Batti. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Maliki, Al-Al-Laits, Imam Syafii, dan Abu Tsaur serta dipilih oleh Ibnu Jarir. Murid-murid Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa jika mudarat yang ditimbulkan bersumber dari pihak istri, maka pihak suami diperbolehkan menarik dari pihak istri apa yang pernah diberikan kepadanya, dan tidak boleh lebih dari itu.

Jika pihak suami menuntut tambahannya, maka hanya diperbolehkan lewat pengadilan. Jika mudarat yang ditimbulkan bersumber dari pihak suami, maka tidak boleh pihak suami mengambil sesuatu pun dari pihak istrinya. Jika pihak suami ingin mengambilnya kembali, maka hanya diperbolehkan lewat pengadilan. Imam Ahmad, Abu Ubaid, dan Ishaq ibnu Rahawaih mengatakan bahwa pihak suami tidak boleh mengambil lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepada istrinya yang meminta khulu’.

Hal ini dikatakan oleh Sa’id ibnu Musayyab, ‘Atha’, Amr ibnu Syu’aib, Az-Zuhri, Tawus, Al-Hasan, Asy-Sya’bi, Hammad ibnu Abu Sulaiman, dan Ar-Rabi’ ibnu Anas. Ma’mar dan Al-Hakam mengatakan bahwa sahabat Ali pernah mengatakan, “”Seorang suami tidak boleh mengambil dari wanita yang meminta khulu’ lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan ke-padanya.”” Al-Auza’i mengatakan bahwa para kadi tidak membolehkan seorang lelaki mengambil dari istrinya yang minta khulu’ lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepadanya.

Menurut kami, dalil dari pendapat ini adalah hadits yang telah kami sebutkan di atas yang diriwayatkan oleh Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas dalam kisah Sabit ibnu Qais. Yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada Sabit agar mengambil dari istrinya kebun itu (yang pernah ia berikan kepadanya) dan tidak boleh lebih dari itu. Dalil lainnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Abdu ibnu Humaid yang menceritakan, telah menceritakan kepada kami Qubaisah, dari Sufyan, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka bila seorang lelaki mengambil dari istrinya yang minta khulu’ hal yang lebih banyak daripada apa yang pernah ia berikan kepadanya.

Mereka menakwilkan makna ayat berikut: Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229) Yakni berupa apa yang pernah diberikan pihak suami kepadanya, mengingat dalam ayat sebelumnya disebutkan: Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.

Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (Al-Baqarah: 229) Yaitu mengembalikan kembali pemberian tersebut. Takwil yang sama dikemukakan pula oleh Ar-Rabi’ ibnu Anas melalui qiraahnya yang mengatakan, “”Tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya dengan mengembalikan pemberian tersebut.”” Demikianlah menurut riwayat Ibnu jarir.

Karena itulah maka sesudahnya disebutkan: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim. (Al-Baqarah: 229) Imam Syafii mengatakan bahwa teman-teman kami berselisih pendapat dalam masalah khulu’. Telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas mengenai masalah seorang lelaki yang menceraikan istrinya dua kali talak, sesudah itu pihak istri meminta khulu’ darinya.

Maka pihak suami boleh mengawininya jika suka, mengingat Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229) sampai dengan firman-Nya: bila keduanya (bekas suami pertama dan istri) kawin kembali. (Al-Baqarah: 230) Imam Syafii mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ikrimah yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang diperbolehkan melalui imbalan harta bukan talak namanya. Sedangkan selain Imam Syafii meriwayatkan dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa Ibrahim ibnu Sa’d ibnu Abu Waqqas pernah bertanya kepadanya mengenai masalah seorang lelaki yang menceraikan istrinya dua kali talak, kemudian pihak istri minta khulu’ darinya.

Pertanyaannya, “”Bolehkah suami tersebut mengawininya kembali?”” Ibnu Abbas menjawab, “”Ya, boleh. Khulu’ bukanlah talak. Allah menyebutkan masalah talak pada permulaan ayat dan akhirnya, sedangkan masalah khulu’ disebutkan-Nya di antara keduanya. Maka khulu’ bukan merupakan sesuatu yang dianggap (sebagai talak).”” Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 229); Firman-Nya: Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 230) Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas yang kesimpulannya menyatakan bahwa khulu’ bukanlah talak, melainkan fasakh nikah.

Hal yang sama dikatakan pula oleh suatu riwayat dari Usman ibnu Affan dan Ibnu Umar. Juga merupakan pendapat yang dikatakan oleh Tawus dan Ikrimah. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, Abu Tsaur, dan Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Pendapat ini merupakan mazhab Imam Syafii dalam qaul qadimnya, dan sesuai dengan makna lahiriah ayat yang bersangkutan. Pendapat yang kedua mengenai masalah khulu’ mengatakan bahwa khulu’ adalah talak bain, kecuali jika lelaki yang bersangkutan berniat lebih dari itu.

Imam Malik meriwayatkan dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Jahman maula Bani Aslam, dari Ummu Bakr Al-Aslamiyyah, bahwa ia pernah meminta khulu’ dari suaminya yang bernama Abdullah ibnu Khalid ibnu Usaid. Lalu keduanya datang menghadap Usman ibnu Affan, mengadukan perkara tersebut. Maka Khalifah Usman mengatakan, “”Talak satu. Kecuali jika kamu menyebutkan bilangannya, maka talak yang jatuh menurut apa yang kamu sebutkan.”” Imam Syafii mengatakan bahwa ia tidak mengenal perawi yang bernama Jahman tersebut.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad ibnu Hambal, ia mengatakan bahwa atsar ini dha’if. Hal yang sama diriwayatkan pula melalui Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, dan ibnu Umar. Dikatakan pula oleh Sa’id ibnul Musayyab, Al-Hasan, ‘Atha’, Syuraih, Asy-Sya’bi, Ibrahim, dan Jabir ibnu Zaid. Juga dikatakan oleh Imam Malik, Abu Hanifah, dan teman-temannya; serta Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Abu Usman Al-Batti, dan Imam Syafii dalam qaul jadid-nya.

Hanya mazhab Hanafi mengatakan, “”Manakala Mukhali’ berniat dengan khulu’-nya itu menjatuhkan sekali talak atau dua kali atau memutlakkannya, maka yang terjadi adalah talak satu bainah. Jika pihak suami berniat menjatuhkan tiga talak, maka yang jatuh adalah tiga talak.”” Imam Syafii mempunyai pendapat lain dalam masalah khulu’, yaitu manakala khulu’ terjadi bukan dengan lafal talak dan lagi tidak ada bayyinah (bukti/saksi), maka hal tersebut bukan dinamakan sebagai suatu masalah sama sekali.

Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, Imam Ahmad, Ishaq ibnu Rahawaih dalam salah satu riwayat darinya yang terkenal mengatakan, wanita yang meminta khulu’ mempunyai idah sama dengan idah wanita yang ditalak, yaitu tiga quru’ jika ia termasuk wanita yang berhaid. Hal ini telah diriwayatkan dari Umar, Ali, dan Ibnu Umar. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa’id ibnul Musayyab, Sulaiman ibnu Yasar dan Urwah, Salim, Abu Salamah, Umar ibnu Abdul Aziz, Ibnu Syihab, Al-Hasan, Asy-Sya’bi, Ibrahim An-Nakha’i, Abu Iyad, Khal-las Ibnu Umar, Qatadah, Sufyan, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Al-Al-Laits ibnu Sa’d, dan Abul Ubaid.

Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa pendapat inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ulama dari kalangan sahabat dan lain-lainnya. Kesimpulan pendapat mereka dalam masalah ini menyatakan bahwa khulu’ adalah talak. Karena itu, wanita yang meminta khulu’ dikategorikan sebagaimana wanita-wanita lainnya yang diceraikan. Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita yang meminta khulu’ dari suaminya melakukan idahnya hanya dengan sekali haid untuk membersihkan rahimnya.

Ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa’id, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, bahwa Ar-Rabi’ meminta khulu’ kepada suaminya, lalu paman Ar-Rabi’ datang kepada Khalifah Usman (mengadukan hal tersebut). Lalu Usman berkata, “”Hendaklah ia melakukan idah selama sekali haid.”” Ibnu Abu Syaibah mengatakan bahwa Ibnu Umar mengatakan, “”Hendaklah wanita yang khulu’ melakukan idahnya selama tiga kali haid.”” Hingga Khalifah Usman sendiri mengatakan hal yang sama, dan Ibnu Umar selalu memfatwakan demikian dan mengatakan, “”Usman adalah orang yang paling terpilih dan paling alim di antara kami.”” Telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Ubaidillah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa idah wanita yang meminta khulu’ kepada suaminya adalah sekali haid.

Telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, dari Al-Laits, dari Tawus, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa mukhtali’ah (wanita yang meminta khulu’) idahnya adalah sekali haid. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah dan Aban ibnu Usman beserta semua orang yang telah disebutkan di atas dari kalangan mereka yang mengatakan bahwa khulu’ adalah fasakh. Mereka mengatakan demikian berdalilkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi; masing-masing dari keduanya mengatakan: telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahim Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Bahr, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Yusuf, dari Ma’mar, dari Amr ibnu Muslim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: Bahwa istri Sabit ibnu Qais meminta khulu’ dari suaminya di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya agar melakukan idah sekali haid.

Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan lagi gharib. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma’mar, dari Amr ibnu Muslim, dari Ikrimah secara mursal. Hadits lain diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi: telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Musa, dari Sufyan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman (yaitu maula keluarga Talhah), dari Sulaiman ibnu Yasar, dari Ar-Rabi’ binti Mu’awwaz ibnu Afra, bahwa ia pernah meminta khulu’ di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadanya atau dia diperintahkan untuk melakukan idah sekali haid.

Imam At-Tirmidzi mengatakan, yang shahih adalah disebutkan bahwa ia diperintahkan untuk melakukan idah sekali haid. Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah: telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Salamah An-Naisaburi, telah menceritakan kepada kami Ya’qub ibnu Ibrahim ibnu Sa’d, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Ubadah ibnu Walid ibnu Ubadah ibnus Samit, dari Ar-Rabi’ binti Mu’awwaz ibnu Afra, bahwa Ubadah pernah berkata kepada Ar-Rabi’, “”Ceritakanlah kepadaku kisah tentang dirimu.”” Ar-Rabi’ menjawab, “”Aku pernah meminta khulu’ dari suamiku.

Kemudian aku datang kepada Khalifah Us’man dan menanyakan kepadanya berapa lama idah yang harus aku jalani. Maka Khalifah Usman menjawab, ‘Tiada idah atas dirimu, kecuali jika suamimu baru saja menggaulimu, maka kamu tinggal padanya selama sekali haid’.”” selanjutnya Ar-Rabi’ mengatakan bahwa sesungguhnya dia dalam masalah ini hanyalah mengikut kepada peradilan yang telah diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Maryam Al-Mugaliyah. Maryam pada mulanya menjadi istri Sabit ibnu Qais, lalu ia meminta khulu’ darinya.

Ibnu Luhai’ah menceritakan dari Abul Aswad, dari Abu Salamah dan Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Sauban, dari Ar-Rabi’ binti Mu’awwaz yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada istri Sabit ibnu Qais ketika meminta khulu’ dari suaminya agar melakukan idah sekali haid. Lelaki yang meng-khulu’ istrinya tidak boleh merujuki istrinya yang meminta khulu’ dalam idahnya tanpa seizin dari pihak si istri. Demikianlah menurut para imam yang empat dan jumhur ulama, karena si istri telah memiliki dirinya sendiri berkat tebusan yang telah ia berikan kepada pihak suami.

Telah diriwayatkan dari Abdullah ibnu Abu Aufa, Mahan Al-Hanafi, dan Sa’id ibnul Musayyab serta Az-Zuhri, bahwa mereka mengatakan, “”Jika pihak suami mengembalikan lagi tebusan tersebut kepada pihak istri, maka pihak suami diperbolehkan merujuki istrinya selagi dalam idahnya tanpa perlu ada kerelaan dari pihak si istri.”” Pendapat inilah yang dipilih oleh Abu Tsaur rahimahullah. Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, “”Jika khulu’ terjadi bukan dengan memakai lafal talak, maka hal ini namanya perpisahan, dan tidak ada jalan lagi bagi pihak suami untuk merujukinya.

Jika pihak suami menyebutnya dengan memakai kalimat talak, maka dialah yang lebih berhak merujuki istrinya selagi masih berada dalam idahnya.”” Pendapat inilah yang dikatakan oleh Daud ibnu Ali Az-Zahiri. Semua ulama sepakat bahwa lelaki yang meng-khulu’ istrinya berhak mengawini istrinya selagi masih dalam idah. Syekh Abu Umar ibnu Abdul Barra telah meriwayatkan dari sejumlah ulama, bahwa suami tidak boleh merujuki istrinya yang telah di-khulu’, sebagaimana tidak boleh pula bagi lelaki lain yang ingin mengawininya.

Pendapat ini syaz (menyendiri) lagi tidak dapat diterima. Apakah si suami boleh menjatuhkan talak lainnya kepada mukhtali’ah di masa idahnya? Sehubungan dengan masalah ini ada tiga pendapat di kalangan ulama. Pendapat pertama: mengatakan bahwa pihak suami tidak boleh melakukan demikian, karena pihak istri telah memiliki dirinya sendiri dan terpisah dari dia. Hal inilah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, Ibnuz Zubair, Ikrimah, Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan Al-Basri, Imam Syafii, Imam Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih, dan Abu Tsaur.

Pendapat kedua. Imam Malik mengatakan, “”Jika talak diikutkan dengan khulu’ tanpa ada tenggang waktu di antara keduanya, maka talaknya sah. Tetapi jika si suami diam sebentar di antara keduanya (lafal khulu’ dan lafal talak), maka talaknya tidak jatuh.”” Ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat ini mirip dengan apa yang diriwayatkan dari sahabat Usman Pendapat ketiga mengatakan bahwa talak jatuh atas diri si istri yang meminta khulu’ dalam keadaan apa pun selagi si istri masih berada dalam idahnya.

Pendapat ini merupakan pegangan Abu Hanifah dan semua teman-temannya serta Ats-Tsauri dan Al-Auza’i. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa’id ibnul Musayyab, Syuraih, Tawus, Ibrahim, Az-Zuhri, Al-Hakim, Al-Hakam, dan Hammad ibnu Abu Sulaiman. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Abu Darda. Ibnu Abdul Bar mengatakan, hal tersebut masih belum terbukti bersumberkan dari keduanya (Ibnu Mas’ud dan Abu Darda). Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya.

Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229) Yakni syariat-syariat yang telah ditetapkan-Nya bagi kalian merupakan hukum-hukum-Nya, maka janganlah kalian melanggarnya. Seperti yang dijelaskan di dalam hadits shahih yang mengatakan: Sesungguhnya Allah telah menggariskan hukum-hukum-Nya, maka janganlah kalian melanggarnya; dan Dia telah menetapkan fardu-fardu-Nya, maka janganlah kalian melalaikannya; dan Dia telah mengharamkan hal-hal yang haram, maka janganlah kalian melanggarnya; dan Dia membiarkan banyak hal karena kasihan kepada kalian tanpa melupakannya, maka janganlah kalian menanyakan tentangnya.

Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa menggabungkan tiga kali talak dalam satu kalimat hukumnya haram. Seperti yang dikatakan oleh mazhab Maliki dan orang-orang yang sependapat dengan mereka. Karena sesungguhnya hal yang diberlakukan di kalangan mereka, talak itu dijatuhkan hanya sekali talak, karena berdasarkan kepada firman-Nya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. (Al-Baqarah: 229) Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggar-nya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al-Baqarah: 229) Hal ini diperkuat oleh mereka dengan sebuah hadits dari Mahmud ibnu Labid yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasai di dalam kitab sunan-nya.

Disebutkan bahwa: telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Makhramah ibnu Bukair, dari ayahnya, dari Mahmud ibnu Labid yang menceritakan: Diceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya tiga kali talak sekaligus. Maka beliau berdiri dalam keadaan emosi dan bersabda, “”Apakah Kitabullah dipermainkan, sedangkan aku masih ada di antara kalian? Hingga ada seorang lelaki yang bangkit dan mengatakan, “”Wahai Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya!”” Akan tetapi, di dalam sanad hadits ini terdapat inqita’.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 230) Yaitu apabila seorang lelaki menceraikan istrinya dalam talak yang ketiga, sesudah dua talak yang mendahuluinya jauh sebelum itu, maka si istri tidak halal lagi bagi suaminya sebelum kawin dengan lelaki yang lain, yakni hingga suaminya yang baru menyetubuhinya dalam perkawinan yang benar.

Seandainya si istri disetubuhi oleh lelaki yang lain bukan dalam nikah, sekalipun si istri adalah milkul yamin (budak perempuan), maka si istri tetap tidak halal bagi suaminya yang pertama, karena bukan suami. Demikian pula seandainya kawin dengan suami yang baru, tetapi belum disetubuhi oleh suami yang baru, maka si istri tetap tidak halal bagi suaminya yang pertama. Telah terkenal di kalangan kebanyakan ulama fiqih, bahwa Sa’id ibnul Musayyab pernah mengatakan, “”Maksud yang dituju telah berhasil untuk men-tahlil-kan (menghalalkan) si istri bagi suaminya yang pertama hanya dengan melakukan akad nikah dengan lelaki yang lain.”” Akan tetapi, kesahihan pendapat ini dari dia masih perlu dipertimbangkan, sekalipun Asy-Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar telah meriwayatkannya dari dia di dalam kitab Al-Istiikar-nya.

Dikatakan demikian karena Abu Ja’far ibnu Jarir meriwayatkan: telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far, dari Syu’bah, dari Alqamah ibnu Marsad, dari Salim ibnu Razin, dari Salim ibnu Abdullah, dari Sa’id ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang lelaki yang menikahi seorang wanita, lalu ia menceraikannya sebelum menggaulinya dengan talak tiga kali. Kemudian wanita itu dikawin oleh lelaki lain dan langsung diceraikan sebelum disetubuhinya.

Hal ini ditanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “”Bolehkah si wanita tersebut kembali kepada suaminya yang pertama?”” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Tidak boleh, sebelum si wanita mencicipi madu kecilnya dan si suami yang baru mencicipi pula madu kecilnya. Hal yang sama disebutkan pula di dalam riwayat Ibnu Jarir. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Untuk itu dia mengatakan: telah menceritakan kepada karai Muhammad ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Alqamah ibnu Marsad yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Salim ibnu Razin menceritakan hadits berikut dari Salim ibnu Abdullah (yakni Ibnu Umar), dari Sa’ib ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehubungan dengan masalah seorang lelaki yang mempunyai istri, lalu istrinya itu ditalaknya.

Kemudian si istri dikawini oleh lelaki lain dan diceraikannya sebelum disetubuhinya, lalu si istri kembali kepada suaminya yang pertama. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (Tidak boleh) sebelum si wanita mencicipi madu kecilnya. Demikian pula menurut riwayat Imam An-Nasai, dari Amr ibnu Ali Al-Fallas dan Ibnu Majah, dari Muhammad ibnu Basysyar Bandar; keduanya menceritakan hadits ini dari Muhammad Ibnu Ja’far Gundar, dari Syu’bah dengan lafal yang sama. Apa yang diriwayatkan oleh Sa’id ibnul Musayyab dari Ibnu Umar secara marfu’ bertentangan dengan apa yang diriwayatkan dari Sa’id ibnul Musayyab sendiri, seperti yang disebutkan di atas tadi.

Maka mustahil bila dia menentang riwayatnya sendiri yang ada sandarannya dengan riwayat yang tidak ada sandarannya. Imam Ahmad meriwayatkan pula begitu pula Imam An-Nasai dan Imam Ibnu Jarir hadits ini melalui jalur Sufyan Ats-Tsauri: dari Alqamah ibnu Marsad, dari Razin ibnu Sulaiman Al-Ahmari, dari Ibnu Umar yang menceritakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang menceraikan istrinya sebanyak tiga kali talak, lalu si istri dikawini oleh lelaki lain, dan suaminya yang baru itu menutup pintu rumahnya serta menurunkan kain kelambunya.

Setelah itu dia menceraikannya sebelum menggaulinya. Maka apakah si istri halal bagi suaminya yang pertama? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “”Tidak, sebelum si wanita itu mencicipi madu kecil (suami baru)nya.”” Demikianlah menurut lafal Imam Ahmad dan menurut suatu riwayat dari Ahmad, yakni Sulaiman ibnu Razin. Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad: telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Yazid Al-Hana’i, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang lelaki yang mempunyai istri, lalu ia menceraikannya dengan tiga kali talak.

Sesudah itu bekas istri kawin lagi dengan lelaki lain, tetapi suaminya yang baru ini menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Apakah wanita tersebut boleh dikawini lagi oleh suaminya yang pertama? Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu mencicipi madu kecilnya dan dia mencicipi pula madu kecil suaminya yang baru. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Muhammad ibnu Ibrahim Al-Anmati, dari Hisyam ibnu Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, lalu ia menceritakan hadits ini.

Menurut kami, Muhammad ibnu Dinar ibnu Sandal yang dikenal dengan sebutan Abu Bakar Al-Azdi, lalu At-Ta-i, lalu Al-Basri, yang juga dikenal dengan sebutan Ibnu Abul Furat, para ahli hadits berselisih pendapat mengenai dirinya. Di antara mereka ada yang menilainya lemah, ada pula yang menilainya kuat dan hadisnya dapat diterima serta dinilai baik. Akan tetapi, Imam Abu Dawud menyebutkan bahwa dia mengalami masa pikun sebelum meninggal dunia.

Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir: telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Adam ibnu Abu Ayas Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Syaiban, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abul Haris Al-Gifari, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda sehubungan dengan wanita yang diceraikan tiga kali talak oleh suaminya, lalu wanita itu dikawini oleh lelaki lain dan diceraikannya sebelum disetubuhi, kemudian suaminya yang pertama hendak menikahinya kembali: Tidak boleh, sebelum suami barunya merasakan madu kecilnya.

Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan pula melalui jalur lain dari Syaiban (yaitu Ibnu Abdur Rahman) dengan lafal yang sama. Abu Haris orangnya tidak terkenal. Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir: telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, dari Siti Aisyah, bahwa ada seorang lelaki menceraikan istrinya dengan tiga kali talak. Kemudian si istri kawin lagi dengan lelaki lain yang juga menceraikannya sebelum menyetubuhinya.

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “”Apakah si wanita itu halal bagi suaminya yang pertama?”” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu merasakan madu kecilnya sebagaimana suaminya yang pertama telah merasakannya. Hadits ini diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim serta Imam An-Nasai melalui banyak jalur dari Ubaidillah ibnu Umar Al-Umari, dari Al-Qasim ibnu Abu Bukair, dari bibinya, dari Siti Aisyah dengan lafal yang sama. Jalur yang lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir: telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Ismail Al-Hubari dan Sufyan ibnu Waki’ serta Abu Hisyam Ar-Rifa’i.

Semuanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, dari Al-A’masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Aisyah yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya, lalu si istri kawin lagi dengan lelaki yang lain, kemudian suami yang baru ini memasukinya, setelah itu menceraikannya, padahal ia belum menyetubuhinya. Apakah si wanita tersebut halal bagi suaminya yang pertama? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Wanita itu tidak halal bagi suaminya yang pertama sebelum suaminya yang baru merasakan kemanisannya dan dia pun merasakan kemanisan suaminya yang baru itu.

Demikian pula yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Musaddad dan Imam An-Nasai, dari Abu Kuraib; keduanya dari Abu Mu’awiyah (yaitu Muhammad ibnu Hazim yang tuna netra) dengan lafal yang sama. Jalur lain disebutkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya: telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Ala Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai seorang wanita yang dikawini oleh seorang lelaki, lalu diceraikannya.

Setelah itu si wanita tersebut kawin lagi dengan lelaki yang lain, dan suaminya yang baru ini pun menceraikannya pula sebelum menggaulinya, maka apakah wanita tersebut halal dikawin lagi oleh suaminya yang pertama? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Tidak boleh, sebelum suaminya yang baru itu merasakan kemanisannya. Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Fudail, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, semuanya dari Hisyam dengan sanad ini.

Imam Al-Bukhari meriwayatkannya melalui jalur Abu Mu’awiyah (yaitu Muhammad ibnu Hazm), dari Hisyam dengan lafal yang sama. Imam Muslim menyendiri dalam dua jalur lainnya. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Abdullah ibnu Mubarak, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah secara marfu’ dengan lafal yang sama atau yang semisal dengannya. Riwayat ini sanadnya berpredikat jayyid (baik). Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui jalur Ali ibnu Zaid ibnu Jad’an, dari istri ayahnya (yaitu Aminah Ummu Muhammad), dari Aisyah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafal yang semisal.

Konteks hadits di atas merupakan kependekan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, yaitu: Telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Hisyam ibnu Urwah, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Siti Aisyah secara marfu’, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Telah menceritakan pula kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah , bahwa Rifa’ah Al-Qurazi kawin dengan seorang wanita, lalu ia menceraikannya.

Kemudian si wanita itu datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kepadanya bahwa dia (suami yang baru) belum menggauli dirinya, dan bahwa apa yang dimilikinya tiada lain mirip dengan ujung kain baju (yakni tidak dapat ereksi). Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak boleh, sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun mencicipi kemanisanmu. Imam Al-Bukhari dalam jalur sanad ini menyendiri dalam periwayatannya. Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad: telah menceritakan kepada kami Abdul A’la, dari Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang menceritakan hadits berikut: Istri Rifa’ah Al-Qurazi masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Ketika itu aku dan Abu Bakar sedang bersamanya. Lalu istri Rifa’ah berkata, “”Sesungguhnya Rifa’ah telah menceraikanku habis-habisan, dan sesungguhnya Abdur Rahman ibnuz Zubair menikahiku, tetapi apa yang ada padanya hanyalah seperti ujung kain baju,”” seraya memegang ujung kain jilbabnya.

Ketika itu Khalid ibnu Sa’id ibnul As berada di dekat pintu rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena belum mendapat izin untuk masuk. Maka ia berkata, “”Wahai Abu Bakar, mengapa engkau tidak menghentikan wanita yang berbicara blakblakan ini di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”” Tiada yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali hanya tersenyum, lalu bersabda, “”Seakan-akan kamu ingin kembali kepada Rifa’ah. Tidak boleh, sebelum kamu merasakan kemanisannya dan dia merasakan pula kemanisanmu.”” Demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari melalui hadits Abdullah ibnul Mubarak dan Imam Muslim melalui hadits Abdur Razzaq, serta Imam An-Nasai melalui hadits Yazid ibnu Zurai’.

Ketiga-tiganya meriwayatkan hadits ini dari Ma’mar dengan lafal yang sama. Menurut hadits Abdur Razzaq yang ada pada Imam Muslim disebutkan: Bahwa Rifa’ah menceraikannya dengan tiga kali talak. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Jamaah selain Imam Abu Dawud melalui jalur Sufyan ibnu Uyaynah dan Imam Al-Bukhari melalui jalur Uqail, serta Imam Muslim melalui jalur Yunus ibnu Yazid.

Yang ada pada riwayat Imam Muslim disebutkan talak terakhir, yaitu yang ketiga. Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui jalur Ayyub ibnu Musa, dan Saleh ibnu Abul Akhdar; semuanya dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Siti Aisyah dengan lafal yang sama. Imam Malik meriwayatkan: dari Al-Miswar ibnu Rifa’ah Al-Qurazi, dari Az-Zubair ibnu Abdur Rahman ibnuz Zubair, bahwa Rifa’ah ibnu Samuel menceraikan istrinya yang bernama Tamimah binti Wahb di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tiga kali talak.

Lalu Tamimah kawin lagi dengan Abdur Rahman ibnu Zubair. Akan tetapi, Tamimah berpaling darinya dan ia tidak mampu menyentuhnya. Maka Abdur Rahman ibnuz Zubair menceraikannya. Ketika Rifa’ah ibnu Samuel (yaitu suami pertama yang telah menceraikannya) hendak mengawininya kembali, maka hal tersebut diceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Rifa’ah mengawininya seraya bersabda: Dia tidak halal bagimu sebelum dia merasakan kemanisan (suami baru) nya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh murid-murid Imam Malik di dalam kitab Muwatta’, dari Imam Malik. Akan tetapi, di dalam sanadnya terdapat inqita’. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibrahim ibnu Tahman dan Abdullah ibnu Wahb, dari Malik, dari Rifa’ah, dari Zubair ibnu Abdur Rahman ibnuz Zubair, dari ayahnya yang me-rafa-kan hadits ini.

Tujuan utama perkawinan baru dengan lelaki lain ialah hendaknya perkawinan tersebut didasari rasa cinta yang sesungguhnya kepada wanita yang bersangkutan dan akan membina rumah tangga yang lestari dengannya sebagaimana yang telah disyariatkan dalam ketentuan perkawinan. Imam Malik mensyaratkan selain ini, hendaknya suami yang baru menyetubuhinya dalam keadaan yang diperbolehkan. Untuk itu seandainya suami yang baru menyetubuhinya di masa ia sedang ihrarn atau sedang berpuasa atau sedang i’tikaf atau sedang haid atau sedang nifas, atau pihak suami barunya sedang puasa atau sedang ihrarn atau sedang melakukan i’tikaf, maka si istri masih belum diperbolehkan untuk dikawini oleh suami pertamanya.

Demikian pula jika suami barunya itu adalah seorang kafir zimmi yang tidak halal bagi seorang muslim menikahinya, karena nikah dengan orang kafir hukumnya batil menurut mazhab Maliki. Menurut Al-Hasan Al-Basri melalui riwayat yang dikemukakan oleh Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar, dari Al-Hasan, disyaratkan hendaknya suaminya yang baru itu mengeluarkan air mani dalam persetubuhannya. Seakan-akan pendapat ini berpegang kepada makna yang terkandung di dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan: Sebelum kamu mencicipi kemanisannya dan dia pun mencicipi kemanisanmu.

Berdasarkan pengertian ini, maka pihak wanita diharuskan pula mengalami inzal (ejakulasi). Akan tetapi, makna yang dimaksud dengan istilah ‘usailah bukanlah air mani, berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam An-Nasai melalui Siti Aisyah , bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Ingatlah, sesungguhnya ‘usailah adalah jimak (persetubuhan). Jika suami yang baru hanya bertujuan untuk menghalalkan si wanita untuk dikawin lagi oleh suami pertamanya, hal ini disebutkan dengan istilah ‘penghapus talak’ yang dikecam dan dilaknat oleh banyak hadits. Untuk itu apabila suami yang baru mengutarakan maksud yang sebenarnya (yakni hanya sebagai penghapus talak) secara terang-terangan dalam akad nikahnya, maka nikahnya batal menurut kesepakatan jumhur para imam.

Hadits-hadits tentang muhallil Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Imam Ahmad mengatakan: telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Dakin, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Qais, dari Al-Huzail, dari Abdullah yang telah menceritakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat wanita yang menato dan yang ditato, wanita yang menyambung rambutnya dan wanita yang meminta disambung (dengan rambut lain), dan muhallil serta muhallal lah, dan pemakan riba serta orang yang menjadi wakilnya. Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan pula, begitu juga Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai melalui berbagai jalur dari Sufyan (yakni Ats-Tsauri), dari Abu Qais yang nama aslinya Abdur Rahman ibnu Sarwan Al-Audi, dari Huzail ibnu Syurahbil Al-Audi, dari Abdullah ibnu Mas’ud, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafal yang sama.

Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan lagi shahih. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa pendapat inilah yang diamalkan di kalangan ahlul ‘ilmi dari kalangan sahabat yang antara lain ialah Usman, Umar, dan Ibnu Umar. Pendapat ini pula yang dipakai oleh ulama fiqih dari kalangan tabi’in. Hal ini diriwayatkan pula dari Ali, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Abbas.

Jalur lain melalui Ibnu Mas’ud. Imam Ahmad mengatakan: telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Abdul Karim, dari Abul Wasil, dari Ibnu Mas’ud, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah bersabda: Allah melaknat muhallil dan muhallal lah. Jalur yang lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam An-Nasai melalui hadits Al-A’masy, dari Abdullah ibnu Murrah, dari Al-Harts Al-A’war, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa pemakan riba, wakilnya, dan kedua saksinya serta juru tulisnya jika mereka mengetahui transaksi riba; wanita yang menyambung rambutnya dan yang minta disambung rambutnya; penggelap zakat dan memungut zakat yang melampaui batas; orang yang murtad dari kalangan bangsa Arab sesudah hijrahnya; dan muhallil serta muhallal lah; semuanya dilaknat oleh lisan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari kiamat.

Hadits yang diriwayatkan melalui sahabat Ali Imam Ahmad mengatakan: telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Jabir, dari Asy-Sya’bi, dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pemakan riba, wakilnya, kedua saksinya, dan juru tulisnya; dan wanita yang menato serta wanita yang minta ditato untuk kecantikan; orang yang tidak mau membayar zakat; dan muhallil serta muhallal lah; dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang pula menangisi mayat (dengan tangisan Jahiliah). Hal yang sama diriwayatkan pula dari Gundar, dari Syu’bah, dari Jabir (yaitu Ibnu Yazid Al-Ju’fi), dari Asy-Sya’bi, dari Al-Haris, dari Ali dengan lafal yang sama. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad melalui hadits Ismail ibnu Abu Khalid, Husain ibnu Abdur Rahman, Mujalid ibnu Sa’id, dan Ibnu Aun, dari Amir Asy-Sya’bi dengan lafal yang sama.

Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya pula melalui hadits Asy-Sya’bi dengan lafal yang sama. Kemudian Imam Ahmad mengatakan: telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Haris, dari Ali yang mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat tukang riba, pemakannya, juru tulisnya, kedua saksinya, muhallil, dan muhallal lah. Hadits yang diriwayatkan dari Jabir Imam At-Tirmidzi mengatakan: telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Asy’as”” ibnu Abdur Rahman ibnu Yazid Al-Ayyami, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Asy-Sya’bi, dari Jabir ibnu Abdullah dan dari Al-Haris, dari Ali , bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Allah telah melaknat muhallil dan muhallal lah (lelaki penghapus talak dan yang memintanya).

Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan, sanad hadits ini kurang kuat, karena Mujalid dinilai dha’if bukan hanya oleh seorang saja, antara lain ialah Imam Ahmad ibnu Hambal. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Numair, dari Mujalid, dari Asy-Sya’bi, dari Jabir ibnu Abdullah, dari Ali Imam At-Tirmidzi mengatakan, sanad ini merupakan dugaan dari Ibnu Numair; hadits pertama tadi lebih shahih. Hadits yang diriwayatkan dari Uqbah ibnu Amir Abu Abdullah (yaitu Muhammad ibnu Yazid ibnu Majah) mengatakan: telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Usman ibnu Saleh Al-Masri, telah menceritakan kepada kami ayahku, bahwa ia pernah mendengar Al-Al-Laits ibnu Sa’d mengatakan bahwa Abul Musab (yaitu Musarrih yang dikenal dengan panggilan Ibnu Ahan) pernah menceritakan bahwa Uqbah ibnu Amir pernah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “”Maukah kalian aku ceritakan tentang pejantan sewaan?”” Mereka menjawab, “”Tentu saja kami mau, wahai Rasulullah.”” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “”Dia adalah muhallil (lelaki penghapus talak).

Allah melaknat muhallil dan muhallal lah.”” Hadits ini hanya ada pada Imam Ibnu Majah sendiri. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibrahim ibnu Ya’qub Al-Jauzjani, dari Usman ibnu Saleh, dari Al-Al-Laits dengan lafal yang sama. Kemudian ia mengatakan bahwa mereka menilai Usman dalam hadits ini munkar dengan penilaian munkar yang berat. Menurut kami, Usman yang disebut dalam sanad hadits ini adalah salah seorang perawi tsiqah; Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits darinya di dalam kitab sahihnya, kemudian jejaknya itu diikuti oleh yang lain.

Maka hadits ini diriwayatkan pula oleh Ja’far Al-Giryani, dari Al-Abbas yang dikenal dengan nama Ibnu Fariq, dari Abu Saleh (yaitu Abdullah ibnu Saleh), dari Al-Al-Laits dengan lafal yang sama. Karena itu, maka Usman terbebas dari tuduhan yang dilancarkan kepada dirinya. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Imam Ibnu Majah mengatakan: telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, dari Zam’ah ibnu Saleh, dari Salamah ibnu Wahran, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat muhallil dan muhallal lahu. Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Al-Hafidzh juru khotbah kota Damaskus, yaitu Abu Ishaq (yakni Ibrahim ibnu Ya’qub Al-Jauzjani As-Sa’di):

telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ismail ibnu Abu Hanifah dari Daud Ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai nikah yang dilakukan oleh muhallil, maka beliau bersabda, “”Tidak sah, kecuali nikah karena kehendak sendiri (senang), bukan nikah palsu, bukan pula memperolok-olokkan Kitabullah, kemudian dia merasakan kemanisannya.”” Kedua sanad ini bertambah kuat dengan adanya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Humaid ibnu Abdur Rahman, dari Musa ibnu Abul Furat, dari Amr ibnu Dinar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafal yang semisal.

Dengan demikian, maka bertambah kuatlah dengan adanya hadits mursal ini, satu sama lainnya saling memperkuat. Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Imam Ahmad mengatakan: telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abdullah (yakni Ibnu Ja’far), dari Usman ibnu Muhammad Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang menceritakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat muhallil dan muhallal lah. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah dan Al-Jauzjani Al-Al-Baihaqi melalui jalur Abdullah ibnu Ja’far Al-Qurasyi. Imam Ahmad menilainya tsiqah, begitu pula Ali ibnul Madini dan Yahya ibnu Mu’in serta lain-lainnya.

Imam Muslim mengetengahkan hadits ini di dalam kitab sahihnya dari Usman ibnu Muhammad Al-Akhnasi yang dinilai tsiqah oleh Ibnu Mu’in, dari Sa’id Al-Maqbari. Hadits ini termasuk hadits yang dinilai muttafaq ‘alaih (disepakati oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim). Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar Imam Hakim mengatakan di dalam kitab Mustadrak-nya: telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Al-Asam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq As-San’ani, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Abu Yaman (yaitu Muhammad ibnu Mutarrif Al-Madani), dari Umar ibnu Nafi’, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu Umar, lalu lelaki itu menanyakan kepadanya tentang masalah seorang lelaki yang menalak istrinya tiga kali.

Lalu wanita itu dikawini oleh saudaranya tanpa ada persetujuan dari pihak suaminya yang pertama tadi. Maka apakah wanita tersebut halal dikawini lagi oleh suaminya yang pertama (setelah diceraikan oleh suami barunya yang merupakan saudara lelaki dari suami pertamanya)? Maka Ibnu Umar menjawab, “”Tidak boleh, kecuali nikah karena senang. Kami dahulu menganggap perkawinan seperti itu termasuk sifah (zina), yakni di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”” Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini berpredikat shahih, tetapi Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim tidak mengetengahkannya.

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ats-Tsauri, dari Abdullah ibnu Nafi’, dari ayahnya, dari Ibnu Umar dengan lafal yang sama. Ungkapan ini memberikan pengertian bahwa hadits ini berpredikat marfu’. Demikian pula menurut apa yang diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, Al-Jauzjani, Harb Al-Kirmani, dan Abu Bakar ibnul Asram melalui hadits Al-A’masy, dari Al-Musayyab ibnu Rafi’, dari Qubaisah ibnu Jabir, dari Umar yang mengatakan: Tidak sekali-kali dihadapkan kepadaku muhallil dan muhallal lah, melainkan aku pasti merajam keduanya.

Imam Al-Baihaqi meriwayatkan melalui hadits Ibnu Luhai’ah, dari Bukair ibnul Asyaj, dari Sulaiman ibnu Yasar, bahwa Khalifah Usman ibnu Affan pernah menangani kasus seorang lelaki yang kawin dengan seorang wanita untuk tujuan menghapus talaknya agar si wanita halal dikawini oleh suami pertamanya. Maka Khalifah Usman ibnu Affan memisahkan keduanya. Hal yang sama diriwayatkan pula dari Ali dan Ibnu Abbas serta sahabat lainnya yang bukan hanya seorang, semoga Allah melimpah-kan rida-Nya kepada mereka.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya. (Al-Baqarah: 230) Yakni suami yang baru sesudah menggaulinya. maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk kawin kembali. (Al-Baqarah: 230) Yaitu dia dan bekas suami yang pertama. jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 230) Maksudnya, kembali membangun rumah tangga secara makruf. Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah jika keduanya menduga bahwa perkawinan mereka kali ini bukanlah palsu.

Itulah hukum-hukum Allah. (Al-Baqarah: 230) Yakni syariat-syariat dan ketentuan-ketentuan hukum-Nya. diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Al-Baqarah: 230) Para Imam rahimahumullah berselisih pendapat dalam masalah bila seorang lelaki menceraikan istrinya dengan sekali atau dua kali talak, lalu si lelaki membiarkannya hingga masa idahnya habis. Kemudian si wanita itu kawin dengan lelaki lain dan bersetubuh dengannya, setelah itu ia dicerai kembali hingga habis masa idahnya. Selanjutnya ia dikawini oleh suami pertamanya, maka apakah kembali lagi kepadanya apa yang tersisa dari tiga talaknya, seperti yang dikatakan oleh mazhab Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal? Hal ini juga merupakan pendapat segolongan sahabat.

Ataukah suami yang kedua dianggap telah menghapuskan semua talak yang terjadi sebelumnya? Untuk itu apabila si wanita yang bersangkutan kembali lagi dikawini oleh suami pertama, maka kembali pula kepadanya talak tiga secara utuh, seperti yang dikatakan oleh mazhab Abu Hanifah dan semua temannya. Alasan mereka mengatakan, apabila suami yang kedua dapat menghapuskan tiga talak, terlebih lagi bila talak yang dihapuskan itu kurang dari tiga.

Sumber : learn-quran.co

Al Baqarah :: Indeks Tema Al Baqarah :: Daftar Surat :: Ibnu Katsir

Ayo bagikan sebagai sedekah…   

 


Yuk bagikan infonya...

About Auther:

Info Biografi

BUKU TES TNI POLRI AKMIL AKPOL 2024
Hello. Add your message here.