Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 239

Yuk bagikan infonya...

Al-Baqarah: 239

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

Terjemahan

Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.

Tafsir (Ibnu Katsir)

Tafsir Surat Al-Baqarah: 238-239

Peliharalah semua shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wusta. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kalian telah aman, maka sebutlah Allah (salatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui. Allah memerintahkan agar semua shalat dipelihara dalam waktunya masing-masing, dan memelihara batasannya serta menunaikannya di dalam waktunya masing-masing. Seperti yang telah disebutkan di dalam kitab Shahihain, dari Ibnu Mas’ud yang menceritakan: .

Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “”Amal apakah yang paling utama?”” Ia menjawab, “”Mengerjakan shalat pada waktunya.”” Aku berkata lagi, “”Kemudian apa lagi?”” Beliau menjawab, “”Berjihad di jalan Allah.”” Aku bertanya lagi, “”Lalu apa lagi?”” Beliau menjawab, “”Berbakti kepada kedua orang tua.”” Ibnu Mas’ud mengatakan, “”Semua itu diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku. Seandainya aku meminta keterangan yang lebih lanjut, niscaya beliau akan menambahkannya.”” Imam Ahmad mengatakan: telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Al-Laits, dari Abdullah ibnu Umar ibnu Hafs ibnu ‘Ashim, dari Al-Qasim ibnu Ganam, dari neneknya (yakni ibu ayahnya yang bernama Ad-Dunia), dari neneknya (yaitu Ummu Farwah).

Ummu Farwah termasuk salah seorang sahabat wanita yang ikut ber-baiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tentang berbagai amal perbuatan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya amal perbuatan yang paling disukai Allah ialah menyegerakan shalat pada awal waktunya. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi, dan ia mengatakan, “”Kami tidak mengetahui hadits ini melainkan hanya melalui jalur Al-Umari, sedangkan dia orangnya dinilai tidak kuat oleh kalangan ahli hadits.”” Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan sccara khusus di antara semua shalat, yaitu shalat wusta, dengan sebutan yang lebih kuat kedudukannya. Ulama Salaf dan Khalaf berselisih pendapat mengenai makna yang dimaksud dari shalat wusta ini, shalat apakah ia? Menurut suatu pendapat, shalat wusta itu adalah shalat Subuh, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta’-nya melalui Ali dan Ibnu Abbas.

Hasyim, Ibnu Ulayyah, Gundar, Ibnu Abu Add:, Abdul Wahhab, dan Syarik serta lain-lainnya telah meriwayatkan dari Auf Al-A’rabi, dari Abu Raja Al-Utaridi yang mengatakan bahwa ia pernah shalat Subuh bermakmum kepada Ibnu Abbas, lalu Ibnu Abbas membaca doa qunut seraya mengangkat kedua tangannya. Kemudian ia berkata, “”Inilah shalat wusta yang diperintahkan kepada kita agar kita berdiri di dalamnya seraya membaca doa qunut.”” Asar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dan dia telah meriwayatkannya pula melalui Auf, dari Khallas ibnu Amr, dari Ibnu Abbas dengan lafal yang semisal.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basvsyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Abul Minhal, dari Abul Aliyah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia shalat di masjid Basrah, yaitu shalat Subuh, lalu ia melakukan doa qunut sebelum rukuk. Sesudah itu ia berkata, “”Inilah shalat wusta yang disebutkan oleh Allah di dalam Kitab (Al-Qur’an)-Nya,”” lalu ia membacakan firman-Nya: Peliharalah semua shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wusta.

Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238) Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Isa Ad-Damigani, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi’ ibnu Anas, dari Abul Aliyah yang mengatakan, “”Aku pernah shalat di belakang Abdullah ibnu Qais di Basrah, yaitu shalat Subuh. Lalu aku bertanya kepada seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berada di sebelahku, ‘Apakah shalat wusta itu?’ Ia menjawab, ‘Salat wusta adalah shalat sekarang ini (yaitu Subuh)’.”” Diriwayatkan melalui jalur lain, dari Ar-Rabi’, dari Abul Aliyah, bahwa ia pernah shalat bersama sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu shalat Subuh.

Ketika mereka selesai dari salatnya, maka aku bertanya kepada mereka, “”Manakah yang dimaksud dengan shalat wusta itu?”” Mereka menjawab, “”Salat yang baru saja kamu kerjakan.”” Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Yasyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Asmah, dari Sa’id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan: Salat wusta adalah shalat Subuh.

Asar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim melalui Ibnu Umar, Abu Umamah, Anas, Abul Aliyah, Ubaid ibnu Umair, ‘Atha’, Mujahid, Jabir ibnu Zaid, Ikrimah, dan Ar-Rabi’ ibnu Anas. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had. Hal inilah yang dinaskan oleh Imam Syafii rahimahullah seraya berdalilkan firman-Nya: Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan membaca doa qunut. (Al-Baqarah: 238) Doa qunut menurut Imam Syafii di dalam shalat Subuh.

Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa shalat ini dinamakan wusta karena mengingat tidak dapat diqasar dan terletak di antara dua shalat ruba’iyyah yang dapat diqasar. Menurut pendapat lain, shalat wusta adalah shalat Magrib, karena letak waktunya di antara dua shalat jahriyyah di malam hari dan dua shalat siang yang sirri (perlahan bacaannya). Menurut pendapat yang lain, shalat wusta adalah shalat Lohor.

Abu Dawud Ath-Thayalisi di dalam kitab musnadnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zi’b, dari Az-Zabarqan (yakni Ibnu Amr), dari Zahrah (yakni Ibnu Ma’bad) yang menceritakan, “”Ketika kami sedang berada di dalam majelis sahabat Zaid ibnu Sabit, mereka (jamaah yang hadir) mengirimkan utusan kepada sahabat Usamah untuk menanyakan kepadanya tentang shalat wusta. Maka ia berkata: ‘Salat wusta adalah shalat Lohor, dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengerjakannya di waktu hajir (panas matahari terik sekali)’.”” Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, telah menceritakan kepadaku Amr ibnu Abu Hakim, bahwa ia pernah mendengar Az-Zabarqan menceritakan hadits berikut dari Urwah ibnuz Zubair, dari Zaid ibnu Sabit yang menceritakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Lohor di waktu hajir (panas matahari sangat terik), tiada suatu shalat pun yang dirasakan amat berat oleh sahabat-sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam selain dari shalat Lohor.

Maka turunlah firman-Nya, “”Peliharalah semua shalat-(mu), dan (peliharalah) shalat wusta. Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk”” (Al-Baqarah: 238). Beliau mengatakan: bahwa sebelum shalat Lohor terdapat dua shalat lain, dan sesudahnya terdapat pula dua shalat lainnya. Imam Abu Dawud meriwayatkannya pula di dalam kitab sunannya melalui hadits Syu’bah dengan lafal yang sama. Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dab, dari Az-Zabarqan, bahwa segolongan orang-orang Quraisy dijumpai oleh Zaid ibnu Sabit ketika mereka sedang berkumpul.

Lalu mereka mengutus dua orang budak kepada Zaid ibnu Sabit untuk menanyakan kepadanya tentang apa yang dimaksud dengan shalat wusta. Maka Zaid ibnu Sabit menjawab, bahwa shalat wusta adalah shalat Asar. Mereka kurang puas, lalu berdirilah dua orang lelaki dari kalangan mereka. Kemudian keduanya menanyakan hal tersebut kepada Zaid, maka Zaid ibnu Sabit menjawab bahwa shalat wusta itu adalah shalat Lohor.

Kemudian keduanya berangkat menuju sahabat Usamah ibnu Zaid, lalu keduanya menanyakan hal tersebut kepadanya, dan ia menjawab bahwa shalat wusta adalah shalat Lohor. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengerjakan shalat Lohornya di waktu hajir, maka orang-orang yang bermakmum di belakangnya hanya terdiri atas satu atau dua saf saja, karena saat itu orang-orang sedang dalam istirahat siang harinya dan di antara mereka ada yang sibuk dengan urusan dagangnya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Peliharalah semua salal(mu) dan (peliharalah) shalat wusta.

Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238); Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Hendaklah kaum lelaki benar-benar berhenti (dari meninggalkan shalat jamaah Lohor) atau aku benar-benar akan membakar rumah mereka. Az-Zabarqan adalah Ibnu Amr ibnu Umayyah Ad-Dimri, ia belum pernah menjumpai masa seorang sahabat pun. Hal yang benar ialah apa yang telah disebutkan sebelum ini, yaitu riwayatnya yang dari Zuhrah ibnu Ma’bad dan Urwah ibnuz Zubair. Syu’bah, Hammam meriwayatkan dari Qatadah, dari Sa’id ibnul Musayyab, dari Ibnu Umar, dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan, “”Salat wusta adalah shalat Lohor.”” Abu Dawud Ath-Thayalisi dan lain-lainnya meriwayatkan dari Syu’bah, telah menceritakan kepadaku Sulaiman ibnu Umar (salah seorang anak Umar ibnul Khattab ) yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar dari Abdur Rahman ibnu Aban ibnu Usman menceritakan atsar berikut dari ayahnya, dari Zaid ibnu Sabit yang mengatakan, “”Salat wusta adalah shalat Lohor.”” Ibnu Jarir meriwayatkan dari Zakaria ibnu Yahya ibnu Abu Zai-dah, dari Abdus Samad, dari Syu’bah, dari Umar ibnu Sulaiman, dari Zaid ibnu Sabit di dalam hadits marfu’-nya yang mengatakan: Salat wusta adalah shalat Lohor.

Di antara orang-orang yang meriwayatkan darinya (Zaid ibnu Sabit), bahwa shalat wusta itu adalah shalat Lohor ialah Ibnu Umar, Abu Sa’id, dan Siti Aisyah, sekalipun masih diperselisihkan keabsahannya dari mereka. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Urwah ibnuz Zubair dan Abdullah ibnu Syaddad ibnul Had, serta salah satu riwayat dari Imam Abu Hanifah. Menurut pendapat yang lain, shalat wusta itu adalah shalat Asar.

Imam At-Tirmidzi dan Imam Bagawi mengatakan bahwa hal inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ulama dari kalangan sahabat dan lain-lainnya. Al-Qadi Al-Mawardi mengatakan bahwa pendapat inilah yang dikatakan oleh jumhur ulama dari kalangan tabi’in. Al-Hafidzh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat inilah yang dikatakan oleh kebanyakan ahli atsar. Abu Muhammad ibnu Atiyyah di dalam tafsirnya mengatakan, hal inilah yang dikatakan oleh mayoritas ulama.

Al-Hafidzh Abu Muhammad Abdul Mumin ibnu Khalaf Ad-Dimyati di dalam kitabnya yang berjudul Kasyful Gita fi Tabyini Salatil Wusta (Menyingkap Tabir Rahasia Salat Wusta) mengatakan, telah di-naskan bahwa yang dimaksud dengan shalat wusta adalah shalat Asar. Ia meriwayatkannya dari Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Abu Ayyub, Abdullah ibnu Amr, Samurah ibnu Jundub, Abu Hurairah, Abu Sa’id, Hafsah, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Siti Aisyah, menurut pendapat yang shahih dari mereka.

Ubaidah, Ibrahim An-Nakha’i, Razin, Zur ibnu Hubaisy, Sa’id ibnu Jubair, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Qatadah, Adh-Dhahhak, Al-Kalbi, Muqatil, Ubaid ibnu Maryam dan lain-lainnya mengatakan bahwa pendapat inilah yang dianut oleh mazhab Imam Ahmad ibnu Hambal. Al-Qadi Al-Mawardi dan Imam Syafii mengatakan bahwa Ibnul Munzir pernah mengatakan, “”Pendapat inilah yang shahih dari Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad, dipilih oleh Ibnu Habib Al-Maliki.”” Dalil yang memperkuat pendapat ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Muslim, dari Syittir ibnu Syakl, dari Ali yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam Perang Ahzab:

Mereka menyibukkan kami dari shalat wusta, yaitu shalat Asar. Semoga Allah memenuhi hati dan rumah mereka dengan api. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya di antara shalat Magrib dan Isya. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadits Abu Mu’awiyah dan Muhammad ibnu Hazm yang tuna netra, sedangkan Imam An-Nasai meriwayatkannya dari jalur Isa ibnu Yunus. Keduanya meriwayatkan hadits ini dari Al-A’masy, dari Muslim ibnu Sabih, dari Abud Duha, dari Syittir ibnu Syakl ibnu Humaid, dari Ali ibnu Abu Talib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafal yang semisal.

Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui jalur Syu’bah, dari Al-Hakam ibnu Uyaynah, dari Yahya ibnul Jazzar, dari Ali ibnu Abu Talib. Syaikhain, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai serta bukan hanya seorang dari kalangan pemilik kitab musnad, sunah, dan shahih telah mengetengahkannya melalui berbagai jalur yang amat panjang bila dikemukakan, melalui Ubaidah As-Salmani, dari Ali dengan lafal yang sama.

Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai meriwayatkannya pula melalui jalur Al-Hasan Al-Basri, dari Ali dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan, “”Belum pernah dikenal bahwa Al-Hasan Al-Basri pernah mendengar dari Ali.”” Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari ‘Ashim, dari Zur yang menceritakan bahwa ia pernah berkata kepada Ubaidah, “”Tanyakanlah kepada sahabat Ali tentang makna shalat wusta.”” Lalu Ubaidah menanyakan hal ini kepadanya.

Maka Ali menjawab, “”Dahulu kami menganggapnya shalat fajar yakni shalat Subuh, hingga aku mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yar.g telah bersabda dalam Perang Ahzab: -“” ‘Mereka menyibukkan kami dari shalat wusta, yaitu shalat Asar. Semoga Allah memenuhi kubur mereka dan perut mereka atau rumah mereka dengan api’.”” Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Bandar, dari Ibnu Mahdi dengan lafal yang sama. Hadits mengenai Perang Ahzab dan kaum musyrik yang membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sibuk hingga tidak dapat mengerjakan shalat Asar pada hari itu diriwayatkan oleh banyak perawi dari para sahabat yang bila disebutkan akan panjang sekali.

Hal yang dimaksud dalam pembahasan ini hanyalah menerangkan tentang pendapat orang yang mengatakan bahwa shalat wusta itu adalah shalat Asar dengan berdalilkan hadits ini. Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadits Ibnu Mas’ud dan Al-Barra ibnu Azib Hadits lainnya diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammam, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Salat wusta adalah shalat Asar. Telah menceritakan kepada kami Bahz dan Affan; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aban, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan firman-Nya: Peliharalah semua shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wusta. (Al-Baqarah: 238) Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keterangannya kepada kami sebagai shalat Asar. Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far dan Rauh; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa’id, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah ibnu Jundub, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda sehubungan dengan shalat wusta: Ia adalah shalat Asar, Ibnu Ja’far mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian karena ditanya mengenai maksud shalat wusta.

Imam At-Tirmidzi meriwayatkan pula hadits ini melalui hadits Sa’id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berpredikat hasan shahih. Imam At-Tirmidzi pernah mendengar hadits lainnya (mengenai masalah yang sama) dari Sa’id ibnu Abu Arubah. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Mani’, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu ‘Atha’, dari At-Taimi, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Salat wusta adalah shalat Asar.

Jalur yang lain dan bahkan hadits yang lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, bahwa Al-Musanna telah menceritakan kepadanya, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad Al-Jarasyi Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim yang pernah mengatakan, telah menceritakan kepadanya Sadaqah ibnu Khalid, telah menceritakan kepadanya Khalid ibnu Dihqan, dari Khalid ibnu Sailan, dari Kahil ibnu Harmalah yang pernah menceritakan bahwa Abu Hurairah pernah ditanya mengenai makna shalat wusta.

Maka ia menjawab, “”Kami pernah berselisih pendapat mengenainya sebagaimana kalian berbeda pendapat mengenainya. Saat itu kami berada di halaman rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di kalangan kami terdapat seorang lelaki yang saleh, yaitu Abu Hasyim ibnu Atabah ibnu Rabi’ah ibnu Abdu Syams. Ia berkata, ‘Akulah yang akan memberitahukannya kepada kalian.’ Lalu ia meminta izin untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Setelah diberi izin, ia masuk menemuinya. Kemudian ia keluar menemui kami, lalu berkata, ‘Beliau telah bersabda kepada kami bahwa yang dimaksud dengan shalat wusta adalah shalat Asar’.”” Ditinjau dari segi sanad ini predikat hadits gharib jiddan.

Hadits lainnya diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Abdus Salam, dari Muslim maula Abu Jubair, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Yazid Ad-Dimasyqi yang menceritakan atsar berikut: Ketika aku sedang duduk di majelis Abdul Aziz ibnu Marwan, maka Abdul Aziz ibnu Marwan berkata, “”Wahai Fulan, berangkatlah kepada si anu dan tanyakanlah ‘apa saja yang pernah ia dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat wusta’.”” Maka seorang lelaki dari hadirin yang ada di majelis berkata, “”Abu Bakar dan Umar pernah mengutusku, ketika itu aku masih kecil untuk menanyakan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang shalat wusta.

Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang jari kecilku, lalu bersabda, ‘Ini adalah shalat Subuh,’ lalu memegang jari sesudahnya dan bersabda, ‘Ini shalat Lohor.’ Lalu memegang jari jempolku dan bersabda, ‘Ini shalat Magrib,’ lalu beliau memegang jari sesudahnya (yakni jari telunjukku) dan bersabda, ‘Ini shalat Isya.’ Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jarimu yang manakah yang belum terpegang?’ Aku menjawab, ‘Jari tengah.’ Dan beliau saw. bersabda, ‘Salat apakah yang belum disebutkan?’ Aku menjawab, ‘Salat Asar.’ Maka beliau bersabda, ‘Salat wusta adalah shalat Asar’.”” Akan tetapi, hadits ini pun berpredikat gharib (aneh). Hadits lainnya, Imam Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Auf At-Ta-i, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Iyasy, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku Abu Damdam ibnu Dzar’ah, dari Syuraih ibnu Ubaid, dari Abu Malik Al-Asy’ari yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Salat wusta adalah shalat Asar.

Sanad hadits ini tidak mengandung cela. Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Abu Hatim ibnu Hibban yang mengatakan di dalam kitab sahihnya bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya ibnu Zuhair, telah menceritakan kepada kami Al-Jarrah ibnu Makhlad, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu ‘Ashim, telah menceritakan kepada kami Hammam ibnu Mauriq Al-Ajali, dari Abul Ahwas, dari Abdullah yang telah menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Salat wusta adalah shalat Asar.

Dan sesungguhnya Imam At-Tirmidzi meriwayatkan melalui hadits Muhammad ibnu Talhah ibnu Musarrif, dari Zubaid Al-Yami, dari Mur-rah Al-Hamdani, dari Ibnu Mas’ud yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Salat wusta adalah shalat Asar. Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Imam Muslim mengetengahkan hadits ini di dalam kitab sahihnya melalui jalur Muhammad ibnu Talhah yang lafaznya seperti berikut: Mereka telah menyibukkan kita dari shalat wusta, yaitu shalat Asar.

Semua dalil dalam masalah ini tidak mengandung suatu takwil pun (karena sudah jelas), dan hal ini diperkuat dengan adanya perintah yang menganjurkan untuk memelihara shalat wusta. Dalil lainnya ialah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sebuah hadits shahih melalui riwayat Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Barang siapa yang meninggalkan shalat Asarnya, maka seakan-akan ia seperti orang yang kehilangan keluarga dan harta bendanya. Di dalam kitab shahih pula dari hadits Al-Auza’i, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Qilabah, dari Abu Kasir, dari Abul Mujahir, dari Buraidah ibnul Hasib, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, disebutkan seperti berikut, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Bersegeralah dalam melakukan shalat (yakni di awal waktunya) pada hari yang berawan; karena sesungguhnya barang siapa yang meninggalkan shalat Asar, niscaya amal perbuatannya dihapuskan.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai’ah, dari Abdullah ibnu Hubairah, dari Abu Tamim, dari Abu Nadrah Al-Gifari yang menceritakan hadits berikut: Kami shalat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di sebuah lembah milik mereka yang dikenal dengan nama Al-Hamis, yaitu shalat Asar. Lalu beliau bersabda, “”Sesungguhnya shalat ini pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, lalu mereka menyia-nyiakannya. Ingatlah, barang siapa yang mengerjakannya, maka dilipatgandakan pahalanya menjadi dua kali lipat.

Ingatlah, tiada shalat (sunat) sesudahnya sebelum kalian melihat asy-syahid (matahari tenggelam dan malam hari mulai gelap). Kemudian Imam Ahmad mengatakan bahwa dia meriwayatkannya pula dari Yahya ibnu Ishaq, dari Al-Al-Laits, dari Jubair ibnu Na’im, dari Abdullah ibnu Hubairah dengan lafal yang sama. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dan Imam An-Nasai secara bersamaan, dari Qutaibah, dari Al-Al-Laits. Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadits Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Abu Habib; keduanya menerima hadits ini dari Jubair ibnu Na’im Al-Hadrami, dari Abdullah ibnu Hubairah As-Siba-i dengan lafal yang sama.

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad adalah seperti berikut: Telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepadaku Malik, dari Zaid ibnu Aslam, dari Al-Qa’qa ibnu Hakim, dari Abu Yunus maula Aisyah yang menceritakan hadits berikut: Siti Aisyah pernah memerintahkan kepadaku agar menuliskan buatnya sebuah mushaf. Ia berkata, “”Apabila tulisanmu sampai pada ayat berikut, yaitu firman-Nya, ‘Peliharalah semua shalat kalian dan (peliharalah) shalat wusta’ (Al-Baqarah: 238), maka beri tahukanlah aku.”” Ketika tulisanku sampai pada ayat ini, maka kuberi tahu dia.

Lalu ia mengimlakan kepadaku yang bunyinya menjadi seperti berikut, “”Peliharalah semua shalat kalian dan (peliharalah) shalat wusta, yaitu shalat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.”” Lalu Siti Aisyah-berkata bahwa ia mendengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Yahya ibnu Yahya, dari Malik dengan lafal yang sama. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj, telah menceritakan ke-pada kami Hammad, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa di dalam mushaf Siti Aisyah disebutkan seperti berikut: Peliharalah semua shalat (kalian) dan (peliharalah) shalat wusta, yaitu shalat Asar.

Hal yang sama diriwayatkan pula melalui jalur Al-Hasan Al-Basri, seperti berikut: Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya seperti itu (yakni memakai tafsirnya). Imam Malik meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, dari Amr ibnu Rafi’ yang mengatakan, “”Dahulu aku pernah menuliskan sebuah mushaf untuk Siti Hafsah, istri Nabi SAW. Lalu ia berkata, ‘Apabila tulisanmu sampai kepada firman-Nya: Peliharalah semua salatmu) dan (peliharalah) shalat wusta. (Al-Baqarah: 238) maka beri tahukanlah aku.’ Ketika tulisanku sampai kepadanya, aku beri tahu dia, dan ia mengirimkan kepadaku ayat tersebut yang bunyinya seperti berikut: ‘Peliharalah semua shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wusta, yaitu shalat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk’.”” Hal yang sama diriwayatkan oleh Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar.

Ia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Ja’far (yaitu Muhammad ibnu Ali dan Nafi’ maula Ibnu Umar), bahwa Amr ibnu Rafi’ menceritakan hadits ini dengan lafal yang semisal. Akan tetapi, di dalam riwayat ini ditambahkan bahwa Siti Hafsah berkata, “”Seperti yang aku hafalkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”” Jalur lain dari Hafsah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Bisyr, dari Abdullah ibnu Yazid Al-Azdi, dari Salim ibnu Abdullah, bahwa Siti Hafsah memerintahkan seseorang untuk menuliskan sebuah mushaf buatnya, lalu ia berpesan, “”Jika kamu sampai pada ayat berikut, yaitu firman-Nya: ‘Peliharalah semua salatmu) dan (peliharalah) shalat wusta’ (Al-Baqarah: 238).

maka beri tahukanlah aku.”” Ketika si penulis sampai pada ayat tersebut, ia memberitahukannya kepada Siti Hafsah. Lalu Siti Hafsah memerintahkan kepadanya agar mencatat apa yang diucapkannya, yaitu: Peliharalah semua shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wusta, yaitu shalat Asar. Jalur lain diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Nafi’, bahwa Siti Hafsah pernah memerintahkan kepada salah seorang maula (pelayan)nya untuk menuliskan sebuah mushaf untuknya.

Ia berpesan kepada maulanya, “”Apabila tulisanmu sampai kepada ayat ini, yaitu firman-Nya: ‘Peliharalah semua shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wusta’ (Al-Baqarah: 238). janganlah kamu tulis, karena aku yang akan mengimlakannya kepadamu seperti apa yang pernah kudengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakannya.”” Setelah Nafi’ sampai kepada ayat ini, maka Hafsah memerintahkan kepadanya untuk menulisnya seperti berikut: Peliharalah semua shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wusta, yaitu shalat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. Nafi’ mengatakan bahwa ia membaca mushaf tersebut, dan ternyata ia menjumpai adanya huruf wawu. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Ibnu Abbas dan Ubaid ibnu Umair, bahwa keduanya membaca ayat ini dengan bacaan tersebut (yakni memakai wasalatil asri).

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ubaidah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amr, telah menceritakan kepadaku Abu Salamah, dari Amr ibnu Rafi’ maula Urnar yang menceritakan bahwa di dalam mushaf Siti Hafsah terdapat: Peliharalah semua shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wusta, yaitu shalat Asar, dan berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. Menurut analisis dari orang-orang yang menentang pendapat ini, lafal salatil ‘asri di-‘ataf-kan kepada salatil wusta dengan memakai wawu ‘ataf.

Hal ini menunjukkan makna mugayarah (perbedaaan antara ma’tuf dan ma’tuf ‘alaih). Maka demikian itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan shalat wusta adalah selain shalat Asar. Akan tetapi, sanggahan tersebut dapat dibantah dengan berbagai alasan, antara lain ialah ‘jika hal ini diriwayatkan dengan anggapan bahwa ia merupakan kalimat berita, maka hadits Ali lebih shahih dan lebih jelas darinya’. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa wawu yang ada merupakan huruf zaidah (tambahan), seperti yang terdapat di dalam firman-Nya: Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur’an, supaya jelas jalan orang-orang yang berdosa. (Al-An’am: 55) Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, agar dia termasuk orang-orang yang yakin. (Al-An’am: 75) Atau huruf wawu pada ayat untuk tujuan ‘ataf sifat kepada sifat yang lain, bukan zat kepada zat.

Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: tetapi dia adalah Rasulullah dan penulup nabi-nabi. (Al-Ahzab: 40) Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan. (Al-A’la: 1-4) Ayat-ayat lainnya yang serupa cukup banyak. Sehubungan dengan hal ini seorang penyair mengatakan: Kepada raja yang agung yaitu anak orang yang berkuasa, harimau dalam barisan perang bila perang berkobar. Abu Dawud Al-Iyadi mengatakan dalam salah satu bait syairnya:

Semoga maut dan ajal menguasai mereka, maka tempat mereka hanyalah kuburan. Al-maut yang juga berarti al-manun; keduanya mempunyai makna yang sama, yaitu maut. Addi ibnu Zaid Al-Ibadi mengatakan: Ia memotong kulit itu untuk kedua sisi pelananya, maka ia menjumpai ucapannya hanya dusta dan main-main. Al-main dan al-kazib artinya sama, yakni dusta. Imam Sibawaih Syekh ilmu Nahwu menaskan bahwa seseorang diperbolehkan mengatakan, “”Aku bersua dengan saudaramu yang juga temanmu.”” Dengan demikian, berarti pengertian teman adalah saudara juga, yakni keduanya adalah orang yang sama.

Jika diriwayatkan bacaan wasalatil ‘asri adalah Al-Qur’an, maka riwayat mengenainya tidak mutawatir dan hanya dibuktikan melalui hadits ahad yang tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan Al-Qur’an. Karena itulah maka bacaan tersebut tidak ditetapkan oleh Amirul Muminin Usman ibnu Affan di dalam mushafnya. Tiada seorang ahli qurra pun yang membacanya dari kalangan mereka yang qiraahnya dapat dijadikan sebagai hujah, baik dari kalangan qurra sab’ah maupun dari lainnya.

Kemudian ada suatu riwayat yang menunjukkan bahwa qiraah tersebut di-mansukh, yang dimaksud ialah qiraah yang terdapat di dalam hadits di atas (yakni lafal wa salatil ‘asri). Imam Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Rahawaih, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, dari Fudail ibnu Marzuq. dari Syaqiq ibnu Uqbah, dari Al-Barra ibnu Azib yang mengatakan bahwa pada mulanya diturunkan ayat berikut: Peliharalah semua shalat(mu) dan (peliharalah) shalat Asar.

Maka kami membacakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama apa yang dikehendaki oleh Allah. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menasakhnya dengan menurunkan firman-Nya: Peliharalah semua shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wusta. (Al-Baqarah: 238) Lalu ada seorang lelaki yang dikenal dengan nama Zahir yang saat itu ada bersama Syaqiq. Ia bertanya, “”Apakah shalat wusta itu adalah shalat Asar?”” Syaqiq menjawab, “”Sesungguhnya aku telah menceritakan kepadamu bagaimana pada mulanya ayat ini diturunkan dan bagaimana pada akhirnya Allah subhanahu wa ta’ala menasakhnya.”” Imam Muslim mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Al-Asyja’i, dari Ats-Tsauri, dari Al-Aswad, dari Syaqiq. Menurut kami, Syaqiq ini tidak pernah hadisnya diriwayatkan oleh Imam Muslim kecuali hanya hadits yang satu ini. Berdasarkan hal ini berarti tilawah. ini yakni tilawah yang terakhir menasakh lafal yang ada di dalam riwayat Siti Aisyah dan Siti Hafsah, juga maknanya, sekalipun huruf wawu yang ada menunjukkan makna mugayarah.

Jika bukan menunjukkan makna mugayarah, berarti yang di-mansukh hanyalah lafazhya saja. Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan shalat wusta adalah shalat Magrib. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ibnu Abbas, tetapi di dalam sanadnya masih perlu dipertimbangkan kesahihannya. Karena sesungguhnya Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari ayahnya, dari Abul Jamahir, dari Sa’id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Abul Khalil, dari pamannya, dari Ibnu Abbas.

Ibnu Abbas mengatakan bahwa shalat wusta adalah shalat Magrib, dan pendapat ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Qubaisah ibnu Zuaib. Qatadah meriwayatkan demikian, menurut riwayat yang bersumber darinya, sekalipun ada perbedaan pendapat. Sebagian dari mereka yang berpendapat demikian mengemukakan alasannya bahwa shalat Magrib dinamakan shalat wusta karena bilangan rakaatnya pertengahan antara shalat ruba’iyyah dan shalat Sunaiyyah, atau karena bilangan rakaatnya ganjil di antara shalat-shalat fardu lainnya, juga karena hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaannya.

Menurut pendapat lain, shalat wusta adalah shalat Isya. Pendapat ini dipilih oleh Ali ibnu Ahmad Al-Wahidi di dalam kitab tafsirnya yang terkenal itu. Menurut pendapat yang lainnya, shalat wusta adalah salah satu dari shalat fardu yang lima waktu tanpa ada penentuan, dan sesungguhnya shalat wusta ini disamarkan di antara shalat lima waktu; perihalnya sama dengan lailatul qadar yang disamarkan dalam tahun, bulan, dan bilangan puluhannya.

Pendapat ini diriwayatkan dari Sa’id ibnul Musayyab, Syuraih Al-Qadi, dan Nafi’ maula Ibnu Umar serta Ar-Rabi’ ibnu Khaisam. Pendapat ini dinukil pula dari Zaid ibnu Sabit, lalu dipilih oleh Imamul Haramain yaitu Al-Juwaini di dalam kitab nihayahnya. Menurut pendapat lain, shalat wusta itu adalah semua shalat lima waktu. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Ibnu Umar.

Akan tetapi, kesahihan dari riwayat ini pun masih perlu dipertimbangkan. Yang mengherankan, pendapat ini dipilih oleh Syekh Abu Amr ibnu Abdul Bar An-Numairi, seorang imam di negeri seberang laut. Sesungguhnya hal ini merupakan salah satu dosa besar, mengingat ia memilihnya, padahal ia memiliki wawasan luas lagi hafal semuanya, selagi ia tidak dapat menegakkan hujah yang memperkuat pendapatnya, baik dari Al-Qur’an atau sunnah atau atsar.

Menurut pendapat yang lain, shalat wusta itu adalah shalat Isya dan shalat Subuh. Menurut pendapat yang lainnya lagi adalah shalat berjamaah. Pendapat lain mengatakan shalat Jumat, ada yang berpendapat shalat Khauf, yang lain mengatakan shalat Idul Fitri, dan yang lainnya lagi mengatakan shalat Idul Adha. Menurut pendapat yang lain yaitu shalat witir, ada pula yang mengatakannya shalat duha.

Sementara ulama lainnya hanya bersikap abstain, mengingat menurut mereka dalilnya bersimpang siur dan tidak jelas mana yang lebih kuat di antaranya. Sedangkan ijma’ belum pernah ada kesepakatan mengenainya dalam satu pendapat, bahkan perbedaan pendapat masih tetap ada sejak zaman sahabat hingga masa sekarang. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Basysyar dan Ibnu Musanna; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Syu’bah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Qatadah menceritakan atsar berikut dari Sa’id ibnul Musayyab yang pernah bercerita bahwa sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berselisih pendapat tentang shalat wusta seperti ini, lalu ia merangkumkan jari jemari kedua tangannya menjadi satu.

Semua pendapat mengenai shalat wusta ini dinilai lemah bila dibandingkan dengan pendapat sebelumnya. Sesungguhnya pokok pangkal perselisihan ini terpusat pada shalat Subuh dan shalat Asar. Sunnah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan shalat wusta ialah shalat Asar, maka hal ini dapat dijadikan pegangan. Imam Abu Muhammad (yaitu Abdur Rahman ibnu Abu Hatim Ar-Razi) telah mengatakan di dalam kitab Fadhail Asy-Syafii, telah menceritakan kepada kami ayahku yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Harmalah ibnu Yahya Al-Lakhami mengatakan bahwa Imam Syafii pernah berkata, “”Semua pendapatku, lalu ada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih berbeda dengan pendapatku, maka hadits Nabi adalah lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian mengikutiku.”” Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ar-Rabi’, Az-Za’farani, dan Ahmad ibnu Hambal, dari Imam Syafii.

Musa Abul Walid ibnu Abul Jarud meriwayatkan dari Imam Syafii yang mengatakan, “”Apabila ada hadits shahih, sedangkan aku mempunyai pendapat lain, maka aku mencabut kembali pendapatku dan merujuk kepada hadits shahih tersebut.”” Demikianlah keutamaan dan ketulusan yang dimiliki oleh Imam Syafii. Jejaknya itu ternyata diikuti pula oleh saudara-saudaranya dari kalangan para imam rahimahumullah. Berangkat dari pengertian tersebut, maka Al-Qadi Al-Mawardi memutuskan bahwa mazhab Imam Syafii mengatakan bahwa shalat wusta adalah shalat Asar, sekalipun dalam qaul jadid-nya Imam Syafii menaskan bahwa shalat wusta adalah shalat Subuh, mengingat hadits-hadits yang shahih menyatakan bahwa shalat wusta adalah shalat Asar.

Pendapatnya ini ternyata didukung oleh sejumlah ahli hadits dari kalangan mazhab Imam Syafii sendiri. Akan tetapi, dari kalangan ahli fiqih mazhab Syafii ada yang menolak bahwa shalat wusta sebagai shalat Asar, dan mereka bersikeras bahwa yang dimaksud dengan shalat wusta adalah shalat Subuh saja. Al-Mawardi mengatakan bahwa di antara mereka ada yang meriwayatkan masalah ini dua pendapat.

Untuk lebih jelasnya, rincian mengenai masalah ini antara sanggahan dan bantahan terdapat di dalam kitab lain yang telah kami tulis khusus untuk masalah tersebut. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238) Yakni khusyuk, rendah diri, dan tenang berada di hadapan-Nya. Perintah ini mengharuskan tidak boleh berbicara dalam shalat, karena berbicara dalam shalat bertentangan dengan hal tersebut. Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjawab salam yang diucapkan oleh Ibnu Mas’ud kepadanya ketika beliau sedang shalat. Setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari salatnya, barulah beliau bersabda: Sesungguhnya di dalam shalat benar-benar ada kesibukan. Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’awiyah ibnu Hakam As-Sulami ketika berbicara dalam salatnya: Sesungguhnya shalat ini tidak layak dilakukan padanya sesuatu pun dari pembicaraan manusia, melainkan shalat itu adalah tasbih, takbir, dan zikrullah.

Imam Ahmad ibnu Hambal mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa’id, dari Ismail, telah menceritakan kepadaku Al-Haris ibnu Syubail, dari Abu Amr Asy-Syaibani, dari Zaid ibnu Arqam yang menceritakan bahwa di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang lelaki biasa berbicara dengan temannya untuk suatu keperluan di dalam shalat, hingga turunlah firman-Nya: Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238) Kemudian kami diperintahkan agar diam. Hadits ini diriwayatkan oleh Jamaah selain Ibnu Majah melalui berbagai jalur, dari Ismail. Akan tetapi, hadits ini dianggap sebagai suatu hal yang musykil oleh sebagian ulama, karena telah terbukti di kalangan mereka bahwa pengharaman berbicara dalam shalat terjadi di Mekah sebelum hijrah ke Madinah, tetapi sesudah hijrah ke negeri Habsyah.

Seperti yang ditunjukkan oleh makna yang terkandung di dalam hadits Ibnu Mas’ud yang terdapat di dalam kitab shahih. Disebutkan, “”Kami dahulu biasa mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum kami hijrah ke negeri Habsyah, sedangkan beliau dalam salatnya. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menjawab salam kami.”” Ibnu Mas’ud melanjutkan kisahnya, bahwa setelah ia tiba (dari Habsyah), lalu ia mengucapkan salam kepadanya, tetapi ternyata beliau tidak menjawab salamnya. Maka hati Ibnu Mas’ud dipenuhi oleh berbagai macam perasaan yang mengkhawatirkan. Tetapi setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersalam, beliau bersabda: Sesungguhnya aku tidak menjawab kamu tiada lain karena aku sedang dalam shalat, dan sesungguhnya Allah memperbarui perintah-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya; dan sesungguhnya di antara perintah yang diperbarui-Nya ialah janganlah kalian berbicara di dalam shalat.

Sesungguhnya sahabat Ibnu Mas’ud termasuk salah seorang yang masuk Islam paling dahulu, ia ikut hijrah ke negeri Habsyah dan datang kembali dari Habsyah ke Mekah bersama orang-orang yang datang, lalu ia hijrah ke Madinah. Ayat ini, yaitu firman-Nya: Berdirilah untuk Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk. (Al-Baqarah: 238) adalah Madiniyah, tanpa ada yang memperselisihkannya. Maka ada orang-orang yang berpendapat bahwa sesungguhnya Zaid ibnu Arqan bermaksud dengan ucapannya yang mengatakan bahwa ‘seorang lelaki berbicara kepada saudaranya tentang keperluannya di dalam shalat’ hanyalah menceritakan tentang jenis pembicaraan.

Ia mengambil kesimpulan dalil dari ayat ini untuk mengharamkan hal tersebut sesuai dengan apa yang dipahaminya dari ayat ini. Ulama lainnya berpendapat, sesungguhnya ia bermaksud bahwa hal tersebut (berbicara dalam shalat) telah terjadi pula sesudah hijrah ke Madinah. Dengan demikian, berarti hal tersebut telah diperbolehkan sebanyak dua kali dan diharamkan sebanyak dua kali pula, seperti pendapat yang dipilih oleh segolongan orang dari kalangan teman-teman kami dan lain-lainnya.

Akan tetapi, pendapat pertama lebih kuat. Al-Hafidzh Abu Ya’la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Yahya, dari Al-Musayyab, dari Ibnu Mas’ud yang menceritakan hadits berikut: Kami biasa mengucapkan salam antara sebagian kami kepada sebagian yang lain di dalam shalat. Lalu aku bersua dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku mengucapkan salam kepadanya, ternyata beliau tidak menjawab salamku, hingga timbullah dugaan dalam diriku bahwa telah turun sesuatu mengenai diriku.

Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Menyelesaikan salatnya, beliau bersabda, “”Wa’alaikas salam warahmatulldhi, wahai orang muslim. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memperbarui perintah-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Maka apabila kalian berada di dalam shalat, bersikap khusyuklah kalian dan janganlah kalian berbicara. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kalian telah aman, maka sebutlah Allah, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui. (Al-Baqarah: 239) Sesudah Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya agar memelihara semua shalat dan menegakkan batasan-batasannya serta mempertegas perintah ini dengan ungkapan yang mengukuhkan, lalu Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan suatu keadaan yang biasanya menyibukkan seseorang dari mengerjakan shalat dengan cara yang sempurna, yaitu keadaan perang dan kedua belah pihak terlibat dalam pertempuran. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya), maka salatlah sambil berjalan atau berkendaraan. (Al-Baqarah: 239) Yakni salatlah kalian dalam keadaan bagaimanapun, baik kalian sedang berjalan ataupun berkendaraan.

Dengan kata lain, baik menghadap ke arah kiblat ataupun tidak. Demikianlah seperti yang diriwaya-kan oleh Imam Malik dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar apabila ditanya mengenai shalat khauf, maka ia menggambarkannya, lalu berkata, “”Dan jika keadaan takut lebih mencekam dari keadaan lainnya, maka mereka shalat sambil berjalan kaki atau berkendaraan, baik menghadap ke arah kiblat ataupun tidak menghadap kepadanya.”” Selanjutnya Nafi’ mengatakan, ia merasa yakin bahwa tidak sekali-kali Ibnu Umar menyebutkan demikian melainkan hanya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semata-mata.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari pula, sedangkan apa yang disebutkan menurut lafal Imam Muslim. Imam Al-Bukhari meriwayatkan pula dari jalur yang lain, yaitu dari Ibnu Juraij, dari Musa ibnii Uqbah, dari Nafi, dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal yang semisal atau mirip dengannya. Imam Muslim meriwayatkan pula dari Ibnu Umar yang telah mengatakan: Apabila rasa takut (bahaya) lebih mencekam dari itu, maka salatlah kamu baik sedang berkendaraan ataupun berdiri dengan memakai isyarat yang sesungguhnya.

Di dalam hadits Abdullah ibnu Unais Al-Juhani disebutkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya untuk membunuh Khalid ibnu Sufyan Al-Huzali, ketika itu Khalid berada di arah Arafah atau Arafat. Setelah Abdullah ibnu Unais berhadapan dengannya, maka tibalah waktu shalat Asar. Abdullah ibnu Unais melanjutkan kisahnya, Maka aku merasa khawatir bila kesempatan ini digunakan oleh musuh, lalu aku shalat dengan memakai isyarat,”” hingga akhir hadits yang cukup panjang. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud dengan sanad yang jayyid (baik).

Salat dengan cara demikian merupakan salah satu rukhsah (keringanan) dari Allah buat hamba-hamba-Nya. Dengan demikian, maka terlepaslah dari mereka belenggu dan beban yang memberatkan mereka. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan pula melalui jalur Syahib, dari Bisyr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu ‘hendaklah orang yang berkendaraan shalat di atas kendaraannya dan orang yang berjalan kaki shalat sambil berjalan kaki’.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang semisal dari Al-Hasan, Mujahid, Makhul, As-Suddi, Al-Hakam, Malik, Al-Auza’i, Ats-Tsauri, dan Al-Hasan ibnu Saleh. Di dalam riwayat ini ditambahkan, hendaklah ia shalat dengan cara memakai isyarat dengan kepalanya ke arah mana pun kendaraannya menghadap. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Gassan, telah menceritakan kepada kami Daud (yakni Ibnu Ulayyah), dari Mutarrif, dari Atiyyah, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan, “”Apabila pedang saling beradu, hendaklah seseorang shalat dengan isyarat kepalanya menghadap ke arah mana pun menurut mukanya menghadap.”” Yang demikian itu adalah makna firman-Nya: sambil berjalan kaki atau berkendaraan. (Al-Baqarah: 239) Telah diriwayatkan hal yang sama dari Al-Hasan, Mujahid, Sa’id ibnu Jubair, ‘Atha’, Atiyyah, Al-Hakam, Hammad, dan Qatadah.

Imam Ahmad berpendapat menurut nas yang telah ditetapkannya, bahwa shalat khauf dalam kondisi tertentu adakalanya dikerjakan hanya dengan satu rakaat, yaitu di saat kedua belah pihak terlibat dalam pertempuran yang sengit. Berdasarkan pengertian inilah diinterpretasikan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam An-Nasai, Imam Ibnu Majah, dan Ibnu Jarir melalui hadits Abu Uwanah Al-Waddah, dari Abdullah Al-Yasykuri Imam Muslim, Imam An-Nasai, dan Ayyub ibnu Aiz menambahkan bahwa keduanya meriwayatkan hadits ini dari Bukair ibnul Akhnas Al-Kufi, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan: Allah telah memfardukan shalat atas kalian melalui lisan Nabi kalian sebanyak empat rakaat bila kalian berada di tempat tinggal dan dua rakaat bila kalian sedang bepergian, dan dalam keadaan khauf satu rakaat.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Al-Hasan Al-Basri, Qatadah, Adh-Dhahhak, dan lain-lainnya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdi,dari Syu’bah yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Hakam, Hammad, dan Qatadah tentang shalat di .saat pedang sedang beradu. Maka mereka menjawab, “”Satu rakaat saja.”” Hal yang sama diriwayatkan oleh Ats-Tsauri dari mereka.

Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Sa’id ibnu Amr As-Sukuni, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Al-Mas’udi, telah menceritakan kepada kami Yazid Al-Faqir, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa shalat khauf adalah satu rakaat. Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Ibnu Jarir. Imam Al-Bukhari di dalam Bab “”Salat di Saat Mengepung Benteng Musuh dan Bersua dengan Musuh”” dan Al-Auza’i mengatakan, “”Apabila kemenangan telah di ambang pintu, sedangkan mereka tidak mampu mengerjakan shalat, hendaklah mereka shalat dengan isyarat, yakni masing-masing dari pasukan shalat untuk dirinya sendiri.

Jika mereka tidak juga mampu mengerjakan shalat dengan isyarat, hendaklah mereka mengakhirkan shalat hingga perang berhenti dan aman dari serangan musuh, barulah mereka mengerjakan shalat sebanyak dua rakaat saja. Apabila situasi tidak mengizinkan mereka shalat dua rakaat, maka shalat cukup dilakukan hanya dengan satu rakaat dan dua kali sujud. Jika mereka tidak mampu mengerjakannya, karena takbir saja tidak cukup untuk mereka, maka hendaklah mereka akhirkan salatnya hingga situasi aman.”” Hal yang sama dikatakan pula oleh Makhul.

Anas ibnu Malik mengatakan bahwa ia ikut dalam serangan menjebolkan Benteng Tustur. Serangan ini dilakukan di saat fajar mulai terang, lalu berkobarlah pertempuran sengit, hingga mereka tidak mampu mengerjakan shalat (Subuhnya). Kami tidak shalat kecuali setelah matahari meninggi, lalu kami shalat bersama Abu Musa dan kami peroleh kemenangan. Anas mengatakan, “”Salat tersebut bagiku lebih baik daripada dunia dan seisinya.”” Demikianlah menurut lafal yang ada pada Imam Al-Bukhari.

Kemudian Ibnu Jarir memperkuat pendapatnya itu dengan dalil hadits yang menceritakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Asar pada hari Perang Khandaq karena uzur sedang menjalani perang, dan beliau baru melaksanakan salatnya itu setelah matahari tenggelam. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersiapkan mereka untuk menyerang Bani Quraizah, maka beliau berpesan kepada sahabat-sahabatnya: Jangan sekali-kali seseorang dari kalian shalat Asar melainkan nanti di tempat Bani Quraizah. Akan tetapi, sebagian orang ada yang menjumpai waktu shalat di tengah jalan, lalu mereka mengerjakannya, dan mereka mengatakan, “”Tidak sekali-kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan demikian kepada kami melainkan beliau menghendaki agar kami tiba dengan cepat.”” Di antara mereka ada yang menjumpai waktu shalat, tetapi mereka tidak mengerjakannya hingga matahari tenggelam di tempat Bani Quraizah (karena patuh kepada makna lahiriah perintah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela salah satu pihak pun di antara dua kelompok sahabatnya itu. Hal inilah yang menjadi dasar pegangan pilihan Imam Al-Bukhari terhadap pendapat ini, sedangkan jumhur ulama berpendapat sebaliknya. Mereka mengemukakan alasannya bahwa shalat khauf menurut gambaran yang disebutkan di dalam surat An-Nisa dan diterangkan oleh banyak hadits masih belum disyariatkan di waktu Perang Khandaq. Sesungguhnya shalat khauf itu hanyalah disyariatkan setelah masa itu, hal ini secara jelas disebutkan di dalam hadits Abu Sa’id dan lain-lainnya.

Adapun Makhul, Al-Auza’i, dan Imam Al-Bukhari menjawab bantahan itu, bila shalat khauf memang disyariatkan sesudah Perang Khandaq, kenyataan ini tidaklah bertentangan dengan hal tersebut, mengingat hal ini merupakan keadaan yang jarang terjadi lagi bersifat khusus. Oleh karena itu, sehubungan dengan masalah ini diperbolehkan hal seperti apa yang kami katakan. Sebagai dalilnya ialah perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat di masa pemerintahan Khalifah Umar, yaitu dalam penaklukan kota Tustur yang terkenal itu, dan tiada seorang ulama pun yang membantahnya.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Kemudian apabila kalian telah aman, maka sebutlah Allah. (Al-Baqarah: 239) Artinya, dirikanlah shalat kalian seperti yang diperintahkan kepada kalian. Untuk itu sempurnakanlah rukuk, sujud, qiyam, duduk, khusyuk, dan bangunnya. sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui. (Al-Baqarah: 239) Yakni sebagaimana Dia telah melimpahkan nikmat dan memberi petunjuk iman serta mengajarkan kepada kalian hal-hal yang bermanfaat di dunia dan akhirat.

Maka kalian harus membalas-Nya dengan bersyukur dan berzikir menyebut-Nya. Makna ayat ini sama dengan ayat lain yang juga setelah menyebut masalah shalat khauf, yaitu firman-Nya: Kemudian apabila kalian telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (An-Nisa: 103) Hadits-hadits yang menerangkan perihal shalat khauf dan cara-caranya akan diketengahkan nanti dalam tafsir surat An-Nisa yaitu pada firman-Nya: Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka. (An-Nisa: 102)

Sumber : learn-quran.co

Al Baqarah :: Indeks Tema Al Baqarah :: Daftar Surat :: Ibnu Katsir

Ayo bagikan sebagai sedekah…   

  


Yuk bagikan infonya...

About Auther:

Info Biografi

BUKU TES TNI POLRI AKMIL AKPOL 2024
Hello. Add your message here.