Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 275

Yuk bagikan infonya...

quran-riba-2

Al Baqarah | Daftar Surat | Ibnu Katsir 

Al Baqarah : 275

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” QS. Al Baqarah : 275

Tafsir Ibnu Katsir 

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu karena mereka berkata (berpendapat) bahwa sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Setelah Allah menuturkan perihal orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya, mengeluarkan zakatnya, lagi suka berbuat kebajikan dan memberi sedekah kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan, juga kepada kaum kerabatnya dalam semua waktu dan dengan berbagai cara, maka Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan perihal orang-orang yang memakan riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil, serta melakukan berbagai macam usaha syubhat.

Melalui ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan keadaan mereka kelak di saat mereka dibangkitkan dari kuburnya, lalu berdiri menuju tempat dihimpunnya semua makhluk. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. (Al-Baqarah: 275) Dengan kata lain, tidak sekali-kali mereka bangkit dari kuburnya pada hari kiamat nanti, melainkan seperti orang gila yang terbangun pada saat mendapat tekanan penyakit dan setan merasukinya. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi berdiri mereka pada saat itu sangat buruk. Ibnu Abbas mengatakan bahwa orang yang memakan riba (melakukan riba) dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan gila dan tercekik.

Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan pula hal yang semisal dari Auf ibnu Malik, Sa’id ibnu Jubair, As-Suddi, Ar-Rabi’ ibnu Anas, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan. Telah diriwayatkan dari Abdullah ibnu Abbas, Ikrimah, Sa’id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. (Al-Baqarah: 275), Yakni kelak pada hari kiamat.

Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Abu Nujaih dari Mujahid, Adh-Dhahhak, dan Ibnu Zaid. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui hadits Abu Bakar ibnu Abu Maryam dari Damrah ibnu Hanif, dari Abu Abdullah ibnu Mas’ud, dari ayahnya, bahwa ia membaca ayat berikut dengan bacaan berikut tafsirnya, yaitu: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakil gila, kelak di hari kiamat. (Al-Baqarah: 275) Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Rabi’ah ibnu Kalsum, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa kelak di hari kiamat dikatakan kepada pemakan riba, “”Ambillah senjatamu untuk perang,”” lalu ia membacakan firman-Nya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakil gila. (Al-Baqarah: 275) Demikian itu terjadi ketika mereka bangkit dari kuburnya.

Di dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang mengisahkan tentang hadits Isra, seperti yang disebutkan di dalam surat Al-Isra””, dinyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam beliau melakukan Isra melewati suatu kaum yang mempunyai perut besar-besar seperti rumah. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya (kepada Jibril) tentang mereka, lalu dikatakan kepadanya bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan riba. Diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dalam hadits yang panjang. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Ibnu Abu Syaibah. telah menceritakan kepada kami Al-Hasan Ibnu Musa, dari Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid, dari Abus Silt, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Aku bersua di malam aku menjalani Isra dengan suatu kaum yang perut mereka sebesar-besar rumah, di dalam perut mereka terdapat ular-ular yang masuk dari luar perut mereka.

Maka aku bertanya, “Siapakah mereka itu, wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Mereka adalah para pemakan riba” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Hasan dan Affan, keduanya dari Hammad ibnu Salamah dengan lafal yang sama, tetapi di dalam sanadnya terkandung kelemahan. Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Samurah ibnu Jundub di dalam hadisul manam (mengenai mimpi) yang cukup panjang. Di dalamnya disebutkan bahwa kami menjumpai sebuah sungai, yang menurut dugaanku perawi mengatakan bahwa warna airnya merah seperti darah.

Tiba-tiba di dalam sungai itu terdapat seorang lelaki yang sedang berenang, sedangkan di pinggir sungai terdapat lelaki lain yang telah mengumpulkan batu-batuan yang banyak di dekatnya. Lalu lelaki yang berenang itu menuju ke arah lelaki yang di dekatnya banyak batu. Ketika lelaki yang berenang itu mengangakan mulutnya, maka lelaki yang ada di pinggir sungai menyumbatnya dengan batu.

Lalu perawi menuturkan dalam tafsir hadits ini bahwa lelaki yang berenang itu adalah pemakan riba. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Al-Baqarah: 275) Dengan kata lain, sesungguhnya mereka menghalalkan hal tersebut tiada lain karena mereka menentang hukum-hukum Allah dalam syariat-Nya, dan hal ini bukanlah analogi mereka yang menyamakan riba dengan jual beli, karena orang-orang musyrik tidak mengakui kaidah jual beli yang disyariatkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an.

Sekiranya hal ini termasuk ke dalam pengertian kias (analogi), niscaya mereka mengatakan, “”Sesungguhnya riba itu seperti jual beli,”” tetapi ternyata mereka mengatakan: sesungguhnya jual beli sama dengan riba. (Al-Baqarah: 275) Dengan kata lain, jual beli itu sama dengan riba; mengapa yang ini diharamkan, sedangkan yang itu tidak? Hal ini jelas merupakan pembangkangan dari mereka terhadap hukum syara’. Yakni yang ini sama dengan yang itu, tetapi yang ini dihalalkan dan yang itu (riba) diharamkan.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Al-Baqarah: 275) Makna ayat ini dapat ditafsirkan sebagai kelanjutan dari kalam sebelumnya untuk menyanggah protes yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan antara jual beli dan riba secara hukum. Dia Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana yang tiada akibat bagi keputusan hukum-Nya, tidak dimintai pertanggung-jawaban atas apa yang diperbuat-Nya, sedangkan mereka pasti dimintai pertanggungjawabannya.

Dia Maha Mengetahui semua hakikat segala perkara dan kemaslahatannya; mana yang bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya, hal itu dihalalkan-Nya bagi mereka; dan mana yang membahayakan mereka, maka Dia melarang mereka darinya. Dia lebih belas kasihan kepada mereka daripada belas kasih seorang ibu kepada bayinya. Karena itulah dalam firman selanjutnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya terserah kepada Allah. (Al-Baqarah: 275) Dengan kata lain, barang siapa yang telah sampai kepadanya larangan Allah terhadap riba, lalu ia berhenti dari melakukan riba setelah sampai berita itu kepadanya, maka masih diperbolehkan mengambil apa yang dahulu ia lakukan sebelum ada larangan.

Dikatakan demikian karena firman-Nya: Allah memaafkan apa yang telah lalu. (Al-Maidah: 95) Seperti apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kemenangan atas kota Mekah, yaitu: Semua riba Jahiliah telah diletakkan di bawah kedua telapak kakiku ini (dihapuskan), mula-mula riba yang kuhapuskan adalah riba Al-Abbas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kepada mereka untuk mengembalikan bunga yang diambil mereka di masa Jahiliah, melainkan memaafkan apa yang telah lalu. Seperti juga yang disebutkan di dalam firman-Nya: maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. (Al-Baqarah: 275) Menurut Sa’id ibnu Jubair dan As-Suddi, baginya apa yang telah lalu dari perbuatan ribanya dan memakannya sebelum datang larangan dari Allah subhanahu wa ta’ala Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah membacakan kepadaku Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Jarir ibnu Hazm, dari Abu Ishaq Al-Hamdani, dari Ummu Yunus (yakni istrinya yang bernama Aliyah binti Abqa’).

Ia menceritakan bahwa Ummu Bahnah (ibu dari anak Zaid ibnu Arqam) pernah mengatakan kepada Siti Aisyah , istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “”Wahai Ummul Mukminin, kenalkah engkau dengan Zaid ibnu Arqam?”” Siti Aisyah menjawab, “”Ya.”” Ia berkata, “”Sesungguhnya aku menjual seorang budak kepadanya seharga delapan ratus secara ‘ata. Lalu ia memerlukan dana, maka aku kembali membeli budak itu dengan harga enam ratus sebelum tiba masa pelunasannya.”” Siti Aisyah menjawab, “”Seburuk-buruk jual beli adalah apa yang kamu lakukan, alangkah buruknya jual beli kamu.

Sampaikanlah kepada Zaid, bahwa semua jihadnya bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan dihapuskan, dan benar-benar akan dihapuskan (pahalanya) jika ia tidak mau bertobat.”” Ummu Yunus melanjutkan kisahnya, bahwa ia berkata kepada Siti Aisyah , “”Bagaimanakah pendapatmu jika aku bebaskan yang dua ratusnya, lalu aku menerima enam ratusnya?”” Siti Aisyah menjawab, “”Ya, boleh.”” Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya (sebelum datang larangan). (Al-Baqarah: 275) Asar ini cukup terkenal, dan dijadikan dalil bagi orang yang mengharamkan masalah riba ‘aini, selain dalil-dalil lainnya berupa hadits-hadits yang disebutkan di dalam kitab mengenai hukum-hukum.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Orang yang kembali. (Al-Baqarah: 275) Yakni kembali melakukan riba sesudah sampai kepadanya larangan Allah, berarti ia pasti terkena hukuman dan hujah mengenainya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah: 275) Imam Abu Dawud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya Abu Dawud, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Mu’in, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Raja Al-Makki, dari Abdullah ibnu Usman ibnu Khaisam, dari Abuz Zubair, dari Jabir yang menceritakan bahwa ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman-Nya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena (tekanan) penyakit gila. (Al-Baqarah: 275); Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Barang siapa yang tidak mau meninggalkan (berhenti dari) mukhabarah (bagi hasil), maka diserukan perang terhadapnya dari Allah dan Rasul-Nya.

Hadits riwayat Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Abu Khaisam, dan ia mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan syarat Muslim, tetapi keduanya (Al-Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya. Mukhabarah, juga dikenal dengan istilah muzara’ah, ialah menyewa lahan dengan bayaran sebagian dari apa yang dihasilkan oleh lahan itu. Muzabanah ialah membeli buah kurma gemading yang ada di pohonnya dengan pembayaran berupa buah kurma yang telah dipetik (masak).

Muhaqalah yaitu membeli biji-bijian yang masih hijau dengan biji-bijian yang telah masak (ijon). Sesungguhnya semuanya dan yang semisal dengannya diharamkan tiada lain untuk menutup pintu riba, mengingat persamaan di antara kedua barang yang dipertukarkan tidak diketahui karena belum kering. Karena itulah para ahli fiqih mengatakan bahwa persamaan yang tidak diketahui sama halnya dengan mufadalah (ada kelebihan pada salah satu pihaknya). Berangkat dari pengertian inilah maka mereka mengharamkan segala sesuatu yang menjurus ke arah riba dan memutuskan semua sarana yang membantunya, sesuai dengan pemahaman mereka.

Perbedaan pendapat dan pandangan mereka dalam masalah ini berpangkal dari ilmu yang dianugerahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada masing-masing dari mereka, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Dan di atas setiap orang yang berilmu ada yang lebih berilmu. (Yusuf: 76) Bab “”Riba”” merupakan bab paling sulit menurut kebanyakan ahli ilmu agama. Amirul Mukminin Umar ibnul Khattab pernah mengatakan, “”Seandainya saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan suatu keterangan yang memuaskan kepada kami tentang masalah jad (kakek) dan kalalah serta beberapa bab yang menyangkut masalah riba. Yang dimaksudnya ialah beberapa masalah yang di dalamnya terdapat campuran masalah riba.”” Hukum syariat telah tegas-tegas menyatakan bahwa semua sarana yang menjurus ke arah hal yang diharamkan hukumnya sama haramnya; karena semua sarana yang membantu ke arah hal yang diharamkan hukumnya haram. Sebagaimana hal yang menjadi kesempurnaan bagi perkara yang wajib, hukumnya wajib pula.

Di dalam hadits Shahihain, dari An-Nu’man ibnu Basyir, disebutkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas dan perkara yang haram jelas (pula), sedangkan di antara keduanya terdapat hal-hal yang syubhat. Maka barang siapa yang memelihara dirinya dari hal-hal yang syubhat, berarti dia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan barang siapa yang terjerumus ke dalam hal-hal yang syubhat, berarti dia telah terjerumus ke dalam hal yang haram. Perihalnya sama dengan seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tempat yang terlarang, maka sulit baginya menghindar dari tempat yang terlarang itu.

Di dalam kitab-kitab sunnah disebutkan dari Al-Hasan ibnu Ali , bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tinggalkanlah hal yang meragukanmu untuk melakukan hal yang tidak kamu ragukan. Di dalam hadits lain disebutkan: Dosa ialah sesuatu yang mengganjal di hati(mu) dan jiwa merasa ragu terhadapnya serta kamu tidak suka bila orang lain melihatnya. Di dalam riwayat yang lain disebutkan: Mintalah fatwa (tanyakanlah) kepada hatimu, sekalipun orang-orang meminta fatwa kepadamu dan mereka memberikan fatwanya kepadamu. Ats-Tsauri meriwayatkan dari ‘Ashim, dari Asy-Sya’bi, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan: Wahyu yang paling akhir diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ayat mengenai riba.

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Al-Bukhari melalui Qubaisah, dari Ibnu Abbas. Ahmad meriwayatkan dari Yahya, dari Sa’id ibnu Abu Arubah, dari Qatadah, dari Sa’id ibnul Musayyab, bahwa Umar pernah mengatakan bahwa ayat yang paling akhir diturunkan ialah ayat yang mengharamkan riba. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keburu wafat sebelum beliau menafsirkannya kepada kami. Maka tinggalkanlah riba dan hal yang meragukan. Ahmad mengatakan bahwa as’ar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dan Ibnu Mardawaih melalui jalur Hayyaj ibnu Bustam, dari Daud ibnu Abu Hind, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa’id Al-Khudri yang telah menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab berkhotbah kepada kami, antara lain isinya mengatakan, “”Barangkali aku akan melarang kalian beberapa hal yang baik buat kalian, dan akan memerintahkan kepada kalian beberapa hal yang tidak layak bagi kalian.

Sesungguhnya ayat Al-Qur’an yang diturunkan paling akhir adalah ayat riba, dan sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sedangkan beliau belum menjelaskannya kepada kami. Maka tinggalkanlah hal-hal yang meragukan kalian untuk melakukan hal-hal yang tidak meragukan kalian.”” Ibnu Abu Abdi mengatakan bahwa sanad hadits ini berpredikat mauquf, lalu ia mengetengahkan hadits ini. Hadits ini diketengahkan pula oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya. Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali As-Sairafi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Abdi, dari Syu’bah, dari Zubaid, dari Ibrahim, dari Masruq, dari Abdullah (yaitu Ibnu Mas’ud), dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah bersabda: Riba terdiri atas tujuh puluh tiga bab (macam).

Imam Hakim meriwayatkan pula hal yang semisal di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Amr ibnu Ali Al-Fallas berikut sanadnya. Ia menambahkan dalam riwayatnya hal berikut: Yang paling ringan ialah bila seorang lelaki mengawini ibunya. Dan sesungguhnya riba yang paling berat ialah kehormatan seorang lelaki muslim. Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan syarat Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkan hadits ini.

Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Sa’id, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Idris, dari Abu Ma’syar, dari Sa’id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah yang telah menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Riba itu tujuh puluh bagian. Yang paling ringan ialah bila seorang laki-laki mengawini ibunya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Ibad ibnu Rasyid, dari Said, dari Abu Khairah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan sejak dari sekitar empat puluh tahun atau lima puluh tahun, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Kelak akan datang kepada manusia suatu zaman yang dalam zaman itu mereka memakan riba.

Ketika ditanyakan kepadanya, bahwa apakah semua orang (melakukannya)? Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “”Barang siapa yang tidak memakannya dari kalangan mereka, maka ia terkena oleh debu (getah)-Nya.”” Hal yang sama diriwayatkan oleh Abu Dawud, An-Nasai, dan Ibnu Majah dari berbagai jalur melalui Sa’id ibnu Abu Khairah, dari Al-Hasan. Termasuk ke dalam bab ini pengharaman semua sarana yang menjurus ke hal-hal yang diharamkan, seperti hadits yang disebutkan oleh Imam Ahmad; telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Muslim ibnu Sabih, dari Masruq, dari Siti Aisyah yang telah menceritakan: Ketika diturunkan ayat-ayat terakhir surat Al-Baqarah yang menyangkut masalah riba, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju masjid, lalu membacakan ayat-ayat tersebut, dan beliau mengharamkan jual beli khamr.

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Jamaah selain Imam At-Tirmidzi melalui berbagai jalur dari Al-A’masy dengan lafal yang sama. Demikianlah menurut lafal riwayat Imam Al-Bukhari dalam tafsir ayat ini, yaitu: “”Maka beliau mengharamkan jual beli khamr.”” Menurut lafal lain yang juga dari Imam Al-Bukhari, bersumber dari Siti Aisyah , disebut seperti berikut: Setelah diturunkan ayat-ayat terakhir dari surat Al-Baqarah mengenai masalah riba, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakannya kepada orang-orang, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan jual beli khamr. Salah seorang Imam yang membicarakan hadits ini mengatakan, “”Setelah riba dan semua sarananya diharamkan, maka diharamkan pula khamr dan semua sarana yang membantunya, seperti memperjualbelikannya dan lain sebagainya.”” Seperti yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang muttafaq ‘alaih (disepakati kesahihannya oleh Al-Bukhari dan Muslim), yaitu: Allah melaknat orang-orang Yahudi, diharamkan kepada mereka lemak, tetapi mereka memulasinya, kemudian mereka menjualnya dan memakan hasilnya.

Dalam pembahasan yang lalu disebutkan hadits Ali dan Ibnu Mas’ud serta selain keduanya pada masalah laknat Allah terhadap muhallil (penghapus talak), dalam tafsir firman-Nya: hingga dia kawin dengan suami yang lain. (Al-Baqarah: 230) Yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan: Allah melaknat pemakan riba, wakilnya, kedua saksinya, dan juru tulisnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sekali-kali seseorang menyaksikan dan mencatat riba kecuali jika riba ditampakkan dalam bentuk transaksi yang diakui oleh syariat, tetapi pada hakikatnya transaksi itu sendiri batal. Hal yang dijadikan pertimbangan adalah maknanya, bukan gambar lahiriahnya, mengingat semua amal perbuatan itu berdasarkan niat masing-masing.

Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan: Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian dan tidak pula kepada harta kalian, melainkan Dia memandang kepada hati dan amal perbuatan kalian. Abul Abbas ibnu Taimiyyah menulis sebuah kitab yang isinya membatalkan tentang tahlil, di dalamnya terkandung larangan menggunakan semua sarana yang menjurus kepada setiap perkara yang batil. Penyajian yang disuguhkannya itu cukup memuaskan, semoga Allah merahmati dan melimpahkan rida-Nya kepadanya.

Sumber : tafsir.learn-quran.co 

Yuk bagikan sebagai sedekah…   

   


Yuk bagikan infonya...

About Auther:

Info Biografi

BUKU TES TNI POLRI AKMIL AKPOL 2024
Hello. Add your message here.