Tafsir Surat Al-Baqarah: 26

Yuk bagikan infonya...

Al-Baqarah: 26

إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَن يَضْرِبَ مَثَلًا مَّا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلًا يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ

Terjemahan

“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “”Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?””. Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik,”

Tafsir (Ibnu Katsir)

Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, “”Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?” Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi.

Mereka itu-lah orang-orang yang rugi. As-Suddi di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud, dari sejumlah sahabat, bahwa ketika Allah membuat kedua perumpamaan ini bagi orang-orang munafik, yakni firman-Nya: Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api. (Al-Baqarah: 17) Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit. (Al-Baqarah: 19) Yakni semuanya terdiri atas tiga ayat. Maka orang-orang munafik berkata bahwa Allah Maha Tinggi lagi Mahaagung untuk membuat perumpamaan-perumpamaan ini.

Maka Allah menurunkan ayat ini (yakni Al-Baqarah ayat 26-27) sampai dengan firman-Nya: Mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 27) Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Qatadah; ketika Allah menyebutkan laba-laba dan lalat dalam perumpamaan yang dibuat-Nya, maka orang-orang musyrik berkata, “”Apa hubungannya laba-laba dan lalat disebutkan?”” Lalu Allah menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. (Al-Baqarah: 26) Sa’id meriwayatkan dari Qatadah, bahwa sesungguhnya Allah tiada segan demi perkara yang hak untuk menyebutkan sesuatu hal, baik yang kecil maupun yang besar.

Sesungguhnya ketika Allah menyebutkan di dalam Kitab-Nya mengenai lalat dan laba-laba, lalu orang-orang yang sesat mengatakan, “”Apakah yang dimaksud oleh Allah menyebut hal ini?”” Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. (Al-Baqarah: 26) Menurut kami, dalam riwayat pertama dari Qatadah mengandung isyarat bahwa ayat ini termasuk ayat Makkiyyah, tetapi sebenarnya tidaklah demikian (yakni Madaniyyah).

Bahkan riwayat Sa’id yang dari Qatadah lebih mendekati kepada kebenaran. Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid semisal dengan riwayat kedua yang dari Qatadah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Al-Hasan dan Ismail ibnu Abu Khalid hal yang semisal dengan perkataan As-Suddi dan Qatadah. Abu Ja’far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi’ ibnu Anas sehubungan dengan ayat ini, bahwa hal ini merupakan perumpamaan yang dibuat oleh Allah untuk menggambarkan dunia, yaitu nyamuk tetap hidup selagi dalam keadaan lapar; tetapi bila telah gemuk (kekenyangan), maka ia mati.

Demikian pula perumpamaan kaum yang dibuatkan perumpamaannya oleh Allah di dalam Al-Qur’an dengan perumpamaan ini. Dengan kata lain, bila mereka kekenyangan karena berlimpah ruah dengan harta duniawi, maka pada saat itulah Allah mengazab mereka. Kemudian Ar-Rabi’ ibnu Anas membacakan firman-Nya: Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, hingga akhir ayat. (Al-An’am: 44) Demikian riwayat Ibnu Jarir.

Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Hatim melalui hadits Abu Ja’far, dari Ar-Rabi’ ibnu Anas, dari Abul Aliyah. Demikian perbedaan pendapat di kalangan mereka mengenai Asbabun Nuzul ayat ini, sedangkan Ibnu Jarir sendiri memilih riwayat yang dikemukakan oleh As-Suddi; mengingat riwayatnya lebih menyentuh surat, maka lebih cocok. Makna ayat, Allah memberitakan bahwa Dia tidak merasa malu yakni tidak segan atau tidak takut untuk membuat perumpamaan apa pun, baik perumpamaan yang kecil ataupun yang besar.

Huruf ma pada lafal masalan ma menunjukkan makna taqlil (sedikit atau terkecil), dan lafal ba’udah di-nasab-kan sebagai badal. Perihal makna ma di sini sama dengan ucapan seseorang la-adriban-na darban ma, artinya aku benar-benar akan memukul dengan suatu pukulan. Pengertiannya dapat diartikan dengan pukulan yang paling ringan. Atau huruf ma di sini dianggap sebagai ma nakirah mausufah, yakni huruf ma diartikan dengan penjelasan lafal ba’udah (nyamuk).

Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa huruf ma di sini adalah ma mausulah (kata penghubung), sedangkan lafal ba’udah di-i’rab-kan sesuai dengan kedudukannya. Selanjutnya Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal seperti ini terjadi dalam percakapan orang-orang Arab, yakni mereka biasa meng-i’rab-kan silah dari huruf ma dan man sesuai dengan kedudukan i’rab keduanya. Mengingat keduanya adakalanya berupa ma’rifat, adakalanya pula berupa nakirah.

Sebagai contohnya ialah apa yang dikatakan oleh Hasan ibnu Sabit dalam salah satu bait syairnya, yaitu: Cukuplah keutamaan bagi kami yang berada di atas selain kami hanya berkat Nabi Muhammad yang keturunannya tergabung kepada kami. Ibnu Jarir mengatakan bahwa lafal ba’udah dapat di-nasab-kan karena membuang harakat jar-nya. Bentuk kalimat secara utuh menjadi seperti berikut: Innallaha la yastahyi ay-yadriba masalam ma baina ba’udatin ila mafauqaha, yakni sesungguhnya Allah tiada segan untuk membuat perumpamaan apa pun mulai dari seekor nyamuk hingga yang lebih dari itu kecilnya.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Al-Kisai dan Al-Farra. Adh-Dhahhak dan Ibrahim ibnu Ablah membaca lafal ba’udah dengan bacaan rafa’ (ba’udatun). Ibnu Jinni memberikan komentarnya bahwa dengan demikian berarti lafal ba’udatun berkedudukan sebagai silah-nya ma, sedangkan damir yang kembali kepada ma dibuang. Perihalnya sama dengan i’rab yang terdapat di dalam firman-Nya: Untuk menyempurnakan (nikmat Kami) kepada orang yang berbuat kebaikan. (Al-An’am: 154) Bentuk Lengkapnya ialah ‘alal lazi huwa ahsanu. Imam Sibawaih telah meriwayatkan kalimat yang mengatakan ma anal lazi qailun laka syai-an (Aku bukanlah orang yang pernah mengatakan sesuatu mengenai dirimu).

bentuk Lengkapnya ialah bil lazi huwa qailun laka syaian. Firman Allah Subhanahu wa ta’ala: atau yang lebih rendah dari itu. (Al-Baqarah: 26) Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan, yang dimaksud ialah lebih kecil dan lebih rendah darinya. Perihalnya sama dengan seorang lelaki jika disifati dengan karakter yang tercela, yakni kikir. Lalu ada pendengar yang menjawabnya, “”Memang benar, dia lebih rendah dari apa yang digambarkannya.”” Demikian pendapat Al-Kisai dan Abu Ubaid.

Ar-Razi dan kebanyakan ulama ahli tahqiq mengatakan bahwa di dalam hadits disebutkan: Seandainya dunia ini berbobot di sisi Allah sama dengan sayap nyamuk, niscaya dia tidak akan memberi minum seteguk air pun darinya kepada orang kafir. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa makna fama fauqaha ialah yang lebih besar dari (nyamuk) itu, atas dasar kriteria bahwa tiada sesuatu pun yang lebih rendah dan lebih kecil daripada nyamuk.

Ini adalah pendapat Qatadah ibnu Di’amah dan dipilih oleh Ibnu Jarir. Pendapat ini diperkuat oleh sebuah hadits riwayat Imam Muslim melalui Siti Aisyah , bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Tiada seorang muslim pun yang tertusuk oleh sebuah duri hingga yang lebih darinya melainkan dicatatkan baginya karena musibah tersebut suatu derajat (pahala), dan dihapuskan darinya karena musibah itu suatu dosa. Melalui ayat ini Allah memberitakan bahwa Dia tidak pernah menganggap remeh sesuatu pun untuk dijadikan sebagai misal (perumpamaan), sekalipun sesuatu itu hina lagi kecil seperti nyamuk; sebagaimana Dia tidak segan-segan menciptakan makhluk yang kecil itu, Dia tidak segan-segan pula membuat perumpamaan dengan makhluk kecil itu, sebagaimana membuat perumpamaan memakai lalat dan laba-laba, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya: Wahai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah oleh kalian perumpamaan itu.

Sesungguhnya segala yang kalian seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amal lemahlah yang menyembah dan amal lemah (pulalah) yang disembah. (Al-Hajj’: 73) Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. (Al-Ankabut: 41) Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh, dan cabangnya (menjulang) ke langit; pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.

Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. (Ibrahim: 24-27) Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun. (An-Nahl: 75) Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: Dua orang lelaki, yang seorang bisu tidak dapat berbuat sesuatu pun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan.

Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan? (An-Nahl: 76) Sama halnya dengan firman-Nya: Dia membuat perumpamaan untuk kalian dari diri kalian sendiri. Apakah ada di antara hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kanan kalian, sekutu bagi kalian dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepada kalian. (Ar-Rum: 28) Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan. (Az-Zumar: 29) Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (Al-Ankabut 43) Di dalam Al-Quran terdapat banyak perumpamaan. Sebagian ulama Salaf mengatakan, “”Apabila aku mendengar perumpamaan di dalam Al-Qur’an, lalu aku tidak memahaminya, maka aku menangisi diriku sendiri, karena Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman: ‘Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu (Al-Ankabut: 43) Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. (Al-Baqarah: 26) Maksudnya, semua perumpamaan baik yang kecil maupun yang besar orang-orang mukmin beriman kepadanya dan mereka mengetahui bahwa hal itu merupakan perkara hak dari Tuhan mereka, dan melaluinya Allah memberi petunjuk kepada mereka.

Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka. (Al-Baqarah: 26) Menurutnya, mereka mengetahui dengan yakin bahwa perumpamaan tersebut adalah Kalamullah Yang Maha Pemurah dan datang dari sisi-Nya. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Mujahid, Al-Hasan serta Ar-Rabi’ ibnu Anas. Abul Aliyah mengatakan, makna firman-Nya, “”Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka.”” Yang dimaksud ialah perumpamaan ini.

Tetapi mereka yang kafir mengatakan, “”Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? (Al-Baqarah: 26) Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman lainnya, yaitu: Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan), “”Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?”” Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. (Al-Muddatstsir: 31) Demikian pula dalam ayat ini (yakni Al-Baqarah: 26): Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (Al-Baqarah: 26) As-Suddi mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini, dari Abu Malik dan dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, juga dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud dan dari sejumlah sahabat, yang dimaksud dengan pe-gertian yudillu bihi kasiran adalah orang-orang munafik, sedangkan pengertian yahdi bihi kasiran adalah orang-orang mukmin.

Dengan demikian, berarti makin bertambahlah kesesatan orang-orang munafik tersebut di samping kesesatan mereka yang telah ada; karena mereka mendustakan apa yang mereka ketahui sebagai perkara yang hak dan yakin, yaitu mendustakan perumpamaan yang telah dibuat oleh Allah untuk menggambarkan keadaan mereka sendiri. Ketika perumpamaan itu ternyata sesuai dengan keadaan mereka, sedangkan mereka tidak mau percaya, maka hal itulah yang dimaksud dengan penyesatan Allah terhadap mereka melalui perumpamaan ini.

Melalui perumpamaan ini Allah memberi petunjuk kepada banyak orang dari kalangan ahli iman dan mereka yang mempercayainya. Maka Allah menambahkan petunjuk kepada mereka di samping petunjuk yang telah ada pada diri mereka, dan bertambah pula iman mereka karena mereka percaya kepada apa yang mereka ketahui sebagai perkara yang hak dan yakin. Mengingat apa yang dibuat oleh Allah sebagai perumpamaan ternyata sesuai dengan kenyataan dan mereka mengakui kebenarannya, maka hal inilah yang dimaksud sebagai hidayah dari Allah buat mereka melalui perumpamaan tersebut.

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala, “”Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik”” (Al-Baqarah: 26). Menurut As-Suddi, mereka adalah orang-orang munafik. Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, “”Wama yudillu bihi illal fasiqin”” bahwa mereka adalah ahli kemunafikan. Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi’ ibnu Anas. Ibnu Juraij mengatakan dari Mujahid, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya, “”Wama yudillu bihi illal fasiqin.'””‘ Ibnu Abbas mengatakan, “”Orang-orang kafir mengetahui adanya Allah, tetapi mereka mengingkari-Nya.”” Qatadah mengatakan sehubungan makna firman-Nya, “”Wama yudillu bihi illal fasiqin,”” bahwa mereka pada mulanya fasik, kemudian Allah menyesatkan mereka di samping kefasikannya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ishaq ibnu Sulaiman, dari Abu Sinan, dari Amr ibnu Murrah, dari Mus’ab ibnu Sa’d, dari Sa’d, yang dimaksud dengan kebanyakan orang dalam firman-Nya, “”Yudillu bihi kasiran,”” adalah orang-orang Khawarij. Syu’bah meriwayatkan dari Amr ibnu Murrah, dari Mus’ab ibnu Sa’d yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada ayahnya tentang makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh. (Al-Baqarah: 27), sampai akhir ayat.

Ayahnya menjawab bahwa mereka adalah golongan Haruriyyah (Khawarij). Sanad riwayat ini sekalipun shahih dari Sa’d ibnu Abu Waqqas , tetapi merupakan tafsir dari makna, bukan berarti makna yang dimaksud oleh ayat me-nas-kan orang-orang Khawarij yang memberontak terhadap Khalifah Ali di Nahrawan; karena sesungguhnya mereka masih belum ada pada saat ayat diturunkan, melainkan mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang sifat-sifatnya digambarkan oleh Al-Qur’an.

Mereka dinamakan Khawarij karena membangkang, tidak mau taat kepada imam dan tidak mau menegakkan syariat Islam. Sedangkan pengertian fasik menurut istilah bahasa ialah sama dengannya, yaitu membangkang dan tidak mau taat. Orang-orang Arab mengatakan, “”Fasaqatir ratbah”” bila buah kurma terkelupas dari kulitnya. Karena itu, tikus dinamakan fuwaisiqah karena ia keluar dari liangnya untuk mengadakan pengrusakan.

Di dalam hadits Shahihain dari Siti Aisyah dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Lima jenis binatang perusak yang boleh dibunuh baik di tanah halal maupun di tanah haram yaitu burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus, dan anjing gila. Makna fasik mencakup orang kafir dan orang durhaka, tetapi kefasikan orang kafir lebih kuat dan lebih parah. Makna yang dimaksud dengan istilah ‘fasik’ dalam ayat ini ialah orang kafir. Sebagai dalilnya ialah karena mereka disifati dalam ayat berikutnya dengan sifat berikut, yaitu: Orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi.

Mereka itulah orang-orang yang merugi. (Al-Baqarah: 27) Sifat-sifat tersebut merupakan ciri khas orang-orang kafir yang berbeda dengan sifat-sifat orang mukmin, sebagaimana dijelaskan di dalam ayat lainnya: Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (Ar-Ra’d: 19-21) Seterusnya hingga sampai pada firman-Nya: Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (Ar-Ra’d: 25) Ahli tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan makna perjanjian yang digambarkan, bahwa orang-orang fasik tersebut telah merusaknya.

Sebagian dari kalangan ahli tafsir mengatakan, perjanjian tersebut adalah wasiat Allah kepada makhluk-Nya, perintah-Nya kepada mereka agar taat kepada apa-apa yang diperintahkan-Nya, dan larangan-Nya kepada mereka agar jangan berbuat durhaka dengan mengerjakan hal-hal yang telah dilarang-Nya. Semua itu disebutkan di dalam kitab-kitab-Nya, juga disampaikan kepada mereka melalui lisan Rasul-rasul-Nya. Pelanggaran yang mereka lakukan ialah karena tidak mengamalkan hal tersebut.

Ahli tafsir lain mengatakan bahkan ayat ini berkenaan dengan orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang munafik. Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian Allah yang dirusak oleh mereka ialah perjanjian yang diambil oleh Allah atas diri mereka di dalam kitab Taurat, yaitu harus mengamalkan kandungan Taurat dan mengikuti Nabi Muhammad bila telah diutus dan percaya kepada kitab yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya.

Mereka merusak hal tersebut dengan menentangnya sesudah mereka mengetahui hakikatnya, mengingkari serta menyembunyikan pengetahuan mengenai hal tersebut dari orang-orang, padahal Allah telah memberikan janji kepada mereka bahwa mereka harus menjelaskan kepada orang-orang dan tidak boleh menyembunyikannya. Selanjutnya Allah memberitakan bahwa ternyata mereka menyembunyikan hal tersebut di belakang punggungnya dan menukarnya dengan harga yang sedikit. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, hal ini merupakan pendapat Muqatil ibnu Hayyan.

Ahli tafsir lainnya mengatakan, yang dimaksud oleh ayat ini ialah semua orang kafir, orang musyrik, dan orang munafik. Sedangkan janji Allah kepada mereka yang berkaitan dengan masalah menauhidkan (mengesakan)-Nya ialah segala sesuatu yang telah diciptakan bagi mereka berupa dalil-dalil (tanda-tanda) yang semuanya menunjukkan kepada sifat Rububiyyah Allah Subhanahu wa ta’ala Janji Allah kepada mereka yang menyangkut masalah perintah dan larangan-Nya ialah semua hal yang dijadikan hujah oleh para rasul, yaitu berupa mukjizat-mukjizat yang tiada seorang manusia pun selain mereka dapat membuat hal yang semisal dengannya.

Mukjizat-mukjizat tersebut menyaksikan akan kebenaran kerasulan mereka. Mereka mengatakan bahwa pengrusakan janji yang dilakukan oleh mereka ialah karena mereka tidak mau mengakui hal-hal yang telah jelas kebenarannya di mata mereka melalui dalil-dalilnya, dan mereka mendustakan para rasul serta kitab-kitab, padahal mereka mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepada para rasul itu adalah perkara yang hak. Hal yang semisal diriwayatkan pula dari Muqatil ibnu Hayyan, pendapat ini cukup baik; dan Az-Zamakhsyari memihak kepada pendapat tersebut.

Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa jika ada yang mengatakan, “”Apakah yang dimaksud dengan janji Allah?”” Jawabannya, “”Hal itu merupakan sesuatu yang telah dipancangkan di dalam akal mereka berupa hujah yang menunjukkan ajaran tauhid. Jadi, seakan-akan Allah telah memerintahkan dan mewasiatkan kepada mereka dan mengikatkan hal itu kepada mereka sebagai janji.”” Pengertian inilah yang terkandung di dalam firman-Nya: Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “”Bukankah Aku ini Tuhan kalian!”” Mereka menjawab, “”Betul (Engkau Tuhan kami).”” (Al-A’raf: 172) Yaitu ketika Allah mengambil janji terhadap diri mereka dari kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka.

Perihalnya sama dengan makna yang ada di dalam firman-Nya: Dan penuhilah janji kalian kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepada kalian. (Al-Baqarah: 40) Ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa janji yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala ialah janji yang diambil oleh Allah terhadap mereka di saat Allah mengeluarkan mereka dari sulbi Adam. Hal ini digambarkan melalui firman-Nya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “”Bukankah Aku ini Tuhan kalian?”” Mereka menjawab, “”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”” (Al-A’raf: 172) Sedangkan yang dimaksud dengan pengrusakan mereka terhadap janji tersebut ialah karena mereka tidak memenuhinya.

Demikian pula menurut riwayat dari Muqatil ibnu Hayyan; semua pendapat di atas diketengahkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab tafsirnya. Abu Ja’far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi’ ibnu Anas, dari Abul Aliyah sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 27) Menurutnya ada enam pekerti orang-orang munafik.

Apabila mereka mengalami kemenangan atas semua orang, maka mereka menampakkan keenam pekerti tersebut, yaitu: Apabila bicara, berdusta; apabila berjanji, ingkar akan janjinya; apabila dipercaya, khianat; mereka melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah agar dihubungkan, dan suka menimbulkan kerusakan di muka bumi. Tetapi jika mereka dalam keadaan kalah, mereka hanya menampakkan ketiga pekerti saja, yaitu: Apabila bicara, berdusta; apabila berjanji, ingkar; dan apabila dipercaya, khianat.

Hal yang sama dikatakan pula oleh Ar-Rabi’ ibnu Anas. As-Suddi di dalam kitab tafsirnya mengatakan berikut sanadnya sehubungan dengan makna firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh. (Al-Baqarah: 27) Disebutkan bahwa hal yang dimaksud ialah perjanjian yang diberikan kepada mereka di dalam Al-Qur’an, lalu mereka mengakuinya, kemudian kafir dan merusaknya. Firman Allah Subhanahu wa ta’ala: dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya. (Al-Baqarah: 27) Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah silaturahmi dan hubungan kekerabatan, seperti yang ditafsirkan oleh Qatadah dalam firman-Nya: Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan (Muhammad: 22) Pendapatnya itu didukung oleh Ibnu Jarir dan dinilainya kuat.

Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud lebih umum dari itu, yakni mencakup semua hal yang diperintahkan oleh Allah menghubungkan dan mengerjakannya, kemudian mereka memutuskan dan meninggalkannya. Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka itulah orang-orang yang rugi. (Al-Baqarah: 27) bahwa hal itu terjadi di akhirat. Pengertiannya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman Allah Swt: Orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (Ar-Ra’d: 25) Menurut Dahhak, dari Ibnu Abbas, segala sesuatu yang dinisbatkan oleh Allah kepada selain pemeluk Islam berupa suatu sebutan, misalnya merugi; maka sesungguhnya yang dimaksud hanyalah kekufuran.

Sedangkan hal serupa yang dinisbatkan kepada pemeluk Islam, makna yang dimaksud hanyalah dosa. Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya, “”Ulaika humul khasirun”” bahwa lafal al-khasirun adalah bentuk jamak dari lafal khasirun; mereka adalah orang-orang yang mengurangi bagian keberuntungan mereka dari rahmat Allah karena perbuatan maksiat mereka. Perihalnya sama dengan seorang lelaki yang mengalami kerugian dalam perniagaan, misalnya sebagian modalnya amblas karena rugi dalam jual beli.

Demikian pula halnya orang munafik dan orang kafir, keduanya beroleh kerugian karena terhalang tidak mendapat rahmat Allah yang diciptakan-Nya buat hamba-hamba-Nya di hari kiamat, padahal saat itu yang paling mereka perlukan adalah rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala Termasuk ke dalam pengertian lafal ini bila dikatakan khasirar rajulu (lelaki itu mengalami kerugian), bentuk masdar-nya adalah khusran, khusranan, dan khisaran, sebagaimana dikatakan Jarir ibnu Atiyyah: Sesungguhnya si Sulait, kerugian yang dialaminya ialah karena ia dari anak-anak suatu kaum yang sejak lahir ditakdirkan menjadi hamba sahaya. (learnquran)

Al Baqarah

DAFTAR ISI


Yuk bagikan infonya...

About Auther:

Info Biografi

BUKU TES TNI POLRI AKMIL AKPOL 2024
Hello. Add your message here.