Tafsir Surat Al Ma’un

Yuk bagikan infonya...

DAFTAR SURAT | IBNU KATSIR 

Al-Ma’un: 1

أَرَءَيۡتَ ٱلَّذِى يُكَذِّبُ بِٱلدِّينِ

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?

Al-Ma’un: 2

فَذَٰلِكَ ٱلَّذِى يَدُعُّ ٱلۡيَتِيمَ

Itulah orang yang menghardik anak yatim

Al-Ma’un: 3

وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلۡمِسۡكِينِ

Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin

Al-Ma’un: 4

فَوَيۡلٌ لِّلۡمُصَلِّينَ

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat

Al-Ma’un: 5

ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ

(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya

Al-Ma’un: 6

ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ

Orang-orang yang berbuat riya

Al-Ma’un: 7

وَيَمۡنَعُونَ ٱلۡمَاعُونَ

Dan enggan (menolong dengan) barang berguna

Tafsir Ibnu Katsir

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, bahwa tahukah engkau, wahai Muhammad, orang yang mendustakan hari pembalasan? Itulah orang yang menghardik anak yatim. (Al-Ma’un: 2) Yakni dialah orang yang berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim, menganiaya haknya dan tidak memberinya makan serta tidak memperlakukannya dengan perlakuan yang baik. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. (Al-Ma’un: 3) Semakna dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya: Sekali-kali tidak (demikian).

sebenarnya kalian tidak memuliakan anak yatim, dan kalian tidak saling mengajak memberi makan orang miskin. (Al-Fajr: 17-18) Makna yang dimaksud ialah orang fakir yang tidak mempunyai sesuatu pun untuk menutupi kebutuhan dan kecukupannya. Kemudian disebutkan dalam firman berikutnya: Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya. (Al-Ma’un: 4-5) Ibnu Abbas dan lain-lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah orang-orang munafik yang mengerjakan salatnya terang-terangan, sedangkan dalam kesendiriannya mereka tidak shalat.

Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: bagi orang-orang yang shalat. (Al-Ma’un: 4) Yaitu mereka yang sudah berkewajiban mengerjakan shalat dan menetapinya, kemudian mereka melalaikannya. Hal ini adakalanya mengandung pengertian tidak mengerjakannya sama sekali, menurut pendapat Ibnu Abbas, atau mengerjakannya bukan pada waktu yang telah ditetapkan baginya menurut syara’; bahkan mengerjakannya di luar waktunya, sebagaimana yang dikatakan oleh Masruq dan Abud Duha.

‘Atha’ ibnu Dinar mengatakan bahwa segala puji bagi Allah yang telah mengatakan dalam firman-Nya: yang lalai dari salatnya. (Al-Ma’un: 5) Dan tidak disebutkan “yang lalai dalam salatnya”. Adakalanya pula karena tidak menunaikannya di awal waktunya, melainkan menangguhkannya sampai akhir waktunya secara terus-menerus atau sebagian besar kebiasaannya. Dan adakalanya karena dalam menunaikannya tidak memenuhi rukun-rukun dan persyaratannya sesuai dengan apa yang diperintahkan.

Dan adakalanya saat mengerjakannya tidak khusyuk dan tidak merenungkan maknanya. Maka pengertian ayat mencakup semuanya itu. Tetapi orang yang menyandang sesuatu dari sifat-sifat tersebut berarti dia mendapat bagian dari apa yang diancamkan oleh ayat ini. Dan barang siapa yang menyandang semua sifat tersebut, berarti telah sempurnalah baginya bagiannya dan jadilah dia seorang munafik dalam amal perbuatannya.

Di dalam kitab Sahihain telah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Itu adalah salatnya orang munafik, itu adalah salatnya orang munafik, itu adalah salatnya orang munafik. Dia duduk menunggu matahari; dan manakala matahari telah berada di antara kedua tanduk setan (yakni akan tenggelam), maka bangkitlah ia (untuk shalat) dan mematuk (shalat dengan cepat) sebanyak empat kali, tanpa menyebut Allah di dalamnya melainkan hanya sedikit. Ini merupakan gambaran shalat Asar di waktu yang terakhirnya, shalat Asar sebagaimana yang disebutkan dalam nas hadits lain disebut shalat wusta, dan yang digambarkan oleh hadits adalah batas terakhir waktunya, yaitu waktu yang dimakruhkan.

Kemudian seseorang mengerjakan salatnya di waktu itu dan mematuk sebagaimana burung gagak mematuk, maksudnya ia mengerjakan salatnya tanpa tumaninah dan tanpa khusyuk. Karena itulah maka dikecam oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang tersebut tidak menyebut Allah dalam salatnya, melainkan hanya sedikit (sebentar). Barangkali hal yang mendorongnya melakukan shalat tiada lain pamer kepada orang lain, dan bukan karena mengharap rida Allah. Orang yang seperti itu sama kedudukannya dengan orang yang tidak mengerjakan shalat sama sekali. Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas.

Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di Hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (An-Nisa: 142) Dan dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya: orang-orang yang berbuat ria. (Al-Ma’un: 6) Imam Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Abdu Rabbih Al-Bagdadi, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu ‘Atha’; dari Yunus, dari Al-Hasan, dari Ibnu Abbas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah bersabda: Sesungguhnya di dalam neraka Jahanam benar-benar terdapat sebuah lembah yang neraka Jahanam sendiri meminta perlindungan kepada Allah dari (keganasan) lembah itu setiap harinya sebanyak empat ratus kali.

Lembah itu disediakan bagi orang-orang yang riya (pamer)dari kalangan umat Muhammad yang hafal Kitabullah dan suka bersedekah, tetapi bukan karena Zat Allah, dan juga bagi orang yang berhaji ke Baitullah dan orang yang keluar untuk berjihad(tetapi bukan karena Allah subhanahu wa ta’ala). Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na’ im, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Amr ibnu Murrah yang mengatakan bahwa ketika kami sedang duduk di majelis Abu Ubaidah, lalu mereka berbincang-bincang tentang masalah riya.

Maka berkatalah seorang lelaki yang dikenal dengan julukan Abu Yazid, bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Arnr mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Barang siapa yang pamer kepada orang lain dengan perbuatannya, maka Allah akan memamerkannya di hadapan makhluk-Nya dan menjadikannya terhina dan direndahkan. Imam Ahmad telah meriwayatkannya pula dari Gundar dan Yahya Al-Qattan, dari Syu’bah, dari Amr ibnu Murrah, dari seorang lelaki, dari Abdullah ibnu Amr, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu disebutkan hal yang semisal.

Dan termasuk hal yang berkaitan dengan makna firman-Nya: orang-orang yang berbuat ria. (Al-Ma’un: 6) ialah bahwa barang siapa yang melakukan suatu perbuatan karena Allah, lalu orang lain melihatnya dan membuatnya merasa takjub dengan perbuatannya, maka sesungguhnya hal ini bukan termasuk perbuatan riya. Dalil yang membuktikan hal ini ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Al-Hafidzh Abu Ya’la Al-Mausuli di dalam kitab musnadnya, bahwa: telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ma’ruf, telah inenceritakan kepada kami Makhlad ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Basyir, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy; dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa ketika aku sedang shalat, tiba-tiba masuklah seorang lelaki menemuiku, maka aku merasa kagum dengan perbuatanku.

Lalu aku.ceritakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Dicatatkan bagimu dua pahala, pahala sembunyi-sembunyi dan pahala terang-terangan. Abu Ali alias Harun ibnu Ma’ruf mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Ibnul Mubarak pernah mengatakan bahwa hadits ini adalah sebaik-baik hadits bagi orang-orang yang riya. Bila ditinjau dari segi jalurnya hadits ini gharib’, dan Sa’id ibnu Basyir orangnya pertengahan, dan riwayatnya dari Al-A’masy jarang, tetapi selain dia ada yang meriwayat-kan hadits ini dari Al-A’masy.

Abu Yala mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abu Dawud, telah menceritakan kepada kami Abu Sinan, dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa pernah seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, seorang lelaki melakukan suatu amal kebaikan yang ia sembunyikan. Tetapi bila ada yang melihatnya, ia merasa kagum dengan amalnya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Dia mendapat dua pahala, pahala sembunyi-sembunyi dan pahala terang-terangan. Imam At-Tirmidzi telah meriwayatkannya dari Muhammad ibnul Musanna dan Ibnu Majah, dari Bandar, keduanya dari Abu Dawud At-Tayalisi, dari Abu Sinan Asy-Syaibani yang namanya Dirar ibnu Murrah.

Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib. Al-A’masy telah meriwayatkannya dan juga yang lainnya, dari Habib, dari Abu Saleh secara mursal. Abu Ja’far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah ibnu Hisyam, dari Syaiban An-Nahwi, dari Jabir Al-Ju’fi, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki, dari Abu Barzah Al-Aslami yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya. (Al-Ma’un: 5) Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allahu Akbar (AllahMahabesar), ini lebih baik bagi kalian daripada sekiranya tiap-tiap orang dari kalian diberi hal yang semisal dengan dunia dan seisinya.

Dia adalah orang yang jika shalat tidak dapat diharapkan kebaikan dari salatnya, dan jika meninggalkannya dia tidak takut kepada Tuhannya. Di dalam sanad hadits ini terdapat Jabir Al-Ju’fi, sedangkan dia orangnya daif dan gurunya tidak dikenal lagi tidak disebutkan namanya; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Zakaria ibnu Aban Al-Masri, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Tariq, telah menceritakan kepada kami Ikrimah ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepadaku Abdul Malik ibnu Umair, dari Mus’ab ibnu Sa’d, dari Sa’d ibnu Abu Waqqas yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang-orang yang lalai dari salatnya.

Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Mereka adalah orang-orang yang mengakhirkan shalat dari waktunya. Menurut hemat saya, pengertian mengakhirkan shalat dari waktunya mengandung makna meninggalkan shalat secara keseluruhan, juga mengandung makna mengerjakannya di luar waktu syar’i-nya, atau mengakhirkannya dari awal waktunya. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Hafidzh Abu Ya’la, dari Syaiban ibnu Farukh, dari Ikrimah ibnu Ibrahim dengan sanad yang sama. Kemudian ia meriwayatkannya dari Ar-Rabi’, dari Jabir, dari ‘Ashim, dari Mus’ab, dari ayahnya secara mauquf, bahwa karena lalai dari salatnya hingga waktunya terbuang.

Hal ini lebih shahih sanadnya. Imam Baihaqi menilai daif predikat marfu’-nya dan menilai shahih predikat mauquf-nya, demikian pula yang dikatakan oleh Imam Hakim. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Al-Ma’un: 7) Yakni mereka tidak menyembah Tuhan mereka dengan baik dan tidak pula mau berbuat baik dengan sesama makhluk-Nya, hingga tidak pula memperkenankan dipinjam sesuatunya yang bermanfaat dan tidak mau menolong orang lain dengannya, padahal barangnya masih utuh; setelah selesai, dikembalikan lagi kepada mereka.

Dan orang-orang yang bersifat demikian benar-benar lebih menolak untuk menunaikan zakat dan berbagai macam amal kebajikan untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala Ibnu Abu Najih telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa Ali pernah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-ma’un ialah zakat. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh As-Suddi, dari Abu Saleh, dari Ali. Hal yang sama telah diriwayatkan melalui berbagai jalurdari Ibnu Umar. Hal yang sama dikatakan oleh Muhammad ibnul Hanafiah, Sa’id ibnu Jubair, Ikrimah, Mujahid, ‘Atha’, Atiyyah Al-Aufi, Az-Zuhri, Al-Hasan, Qatadah, Adh-Dhahhak, dan Ibnu Zaid.

Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan bahwa jika dia shalat pamer dan jika terlewatkan dari salatnya, ia tidak menyesal dan tidak mau memberi zakat hartanya; demikianlah makna yang dimaksud. Menurut riwayat yang lain, ia tidak mau memberi sedekah hartanya. Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang munafik; mengingat shalat adalah hal yang kelihatan,’maka mereka mengerjakannya; sedangkan zakat adalah hal yang tersembunyi, maka mereka tidak menunaikannya.

Al-A’masy dan Syu’bah telah meriwayatkan dari Al-Hakam, dari Yahya ibnul Kharraz, bahwa Abul Abidin pernah bertanya kepada Abdullah ibnu Mas’ud tentang makna al-maun, maka ia menjawab bahwa makna yang dimaksud ialah sesuatu yang biasa dipinjam-meminjamkan di antara orang-orang, seperti kapak dan panci. Al-Mas’udi telah meriwayatkan dari Salamah ibnu Kahil, dari Abul Abidin, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang makna al-maun, maka ia menjawab bahwa makna yang dimaksud ialah sesuatu yang biasa dipinjam-meminjamkan di antara sesama orang, seperti kapak, panci, timba, dan lain sebagainya yang serupa.

Ibnu jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ubaid Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Abu Ishaq, dari Abul Abidin dan Sa’d ibnu Iyad, dari Abdullah yang mengatakan bahwa dahulu kami para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam membicarakan makna al-maun, bahwa yang dimaksud adalah timba, kapak, dan panci yang biasa digunakan. Telah menceritakan pula kepada kami Khallad ibnu Aslam, telah menceritakan kepada kami An-Nadr ibnu Syamil, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaq yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sa’d ibnu Iyad menceritakan hal yang sama dari sahabat-sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Al-A’masy telah meriwayatkan dari ibrahim, dari Al-Haris ibnu Suwaid, dari Abdullah, bahwa ia pernah ditanya tentang makna al-maun.

Maka ia menjawab, bahwa yang dimaksud adalah sesuatu yang biasa saling dipinjamkan di antara orang-orang, seperti kapak, timba, dan lain sebagainya yang semisal. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnul Ala Al-Fallas, telah menceritakan kepada kami Abu Dawud At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari ‘Ashim ibnu Bahdalah, dari Abu Wa-il, dari Abdullah yang mengatakan bahwa kami di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-maun ialah timba dan lain sebagainya yang sejenis, yakni tidak mau meminjamkannya kepada orang yang mau meminjamnya.

Abu Dawud dan An-Nasai telah meriwayatkan hal yang semisal dari Qutaibah, dari Abu Uwwanah berikut sanadnya. Menurut lafal Imam An-Nasai, dari Abdullah, setiap kebajikan adalah sedekah. Dan kami di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap bahwa al-maun artinya meminjamkan timba dan panci. Ibnu Abu hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari ‘Ashim, dari Zurr, dari Abdullah yang mengatakan bahwa al-maun artinya barang-barang yang dapat dipinjam-pinjamkan, seperti panci, timbangan, dan timba.

Ibnu Abu Najih telah meriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Al-Ma’un: 7) Yakni peralatan rumah tangga. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ibrahim An-Nakha’i, Sai’id ibnu Jubair, Abu Malik, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa sesungguhnya makna yang dimaksud ialah meminjamkan peralatan rumah tangga (dapur). Lais ibnu Abu Sulaim telah meriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Al-Ma’un: 7) Bahwa orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini masih belum tiba masanya.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Al-Ma’un: 7) Ulama berbeda pendapat mengenai maknanya; di antara mereka ada yang mengatakan enggan mengeluarkan zakat, ada yang mengatakan enggan mengerjakan ketaatan, dan ada yang mengatakan enggan memberi pinjaman. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ya’qub ibnu Ibrahim, dari Ibnu Aliyyah, dari Lais ibnu Abu Sulaim, dari Abu Ishaq, dari Al-Haris ibnu Ali, bahwa makna yang dimaksud dengan ayat ini ialah enggan meminjamkan kapak, panci, dan timba kepada orang lain yang memerlu-kannya.

Ikrimah mengatakan bahwa puncak al-ma’un ialah zakatul mal, sedangkan yang paling rendahnya ialah tidak mau meminjamkan ayakan, timba, dan jarum. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Pendapat yang dikemukakan oleh Ikrimah ini baik, karena sesungguhnya pendapatnya ini mencakup semua pendapat yang sebelumnya, dan semuanya bertitik tolak dari suatu hal, yaitu tidak mau bantu-membantu baik dengan materi maupun jasa (manfaat).

Karena itulah disebutkan oleh Muhammad ibnu Ka’b sehubungan dengan makna firman-Nya: dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Al-Ma’un: 7) Bahwa makna yang dimaksud ialah tidak mau mengulurkan kebajikan atau hal yang makruf. Di dalam sebuah hadits disebutkan: Tiap-tiap kebajikan adalah sedekah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Said Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Waki’, dari Ibnu Abu Zi-b, dari Az-Zuhri sehubungan dengan makna firman-Nya: dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Al-Ma’un: 7) Al-ma’un menurut dialek orang-orang Quraisy artinya materi (harta).

Sehubungan dengan hal ini telah diriwayatkan sebuah hadits yang gharib lagi aneh sanad dan matannya. Untuk itu Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku dan Abu Dzar’ah, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Qais ibnu Hafs, Ad-Darimi, telah menceritakan kepada kami Dalham ibnu Dahim Al-Ajali, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Rabi’ah An-Numairi, telah menceritakan kepadaku Qurrah ibnu Damus An-Numairi, bahwa mereka menjadi delegasi kaumnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang akan engkau wasiatkan kepada kami?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah kamu enggan menolong dengan al-maun.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan al-ma’un itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dengan batu, besi, dan air.” Mereka bertanya, “Besi yang manakah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Panci kalian yang terbuat dari tembaga, kapak yang terbuat dari besi yang kamu gunakan sebagai sarana bekerjamu.” Mereka bertanya, “Lalu apakah yang dimaksud dengan batu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kendil kalian yang terbuat dari batu.” Hadits ini gharib sekali dan predikat marfu ‘-nya munkar, dan di dalam sanadnya terhadap nama perawi yang tidak dikenal; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Ibnul Asir di dalam kitab As-Sahabah telah menyebutkan dalam biografi Ali An-Numairi; untuk itu ia mengatakan bahwa Ibnu Mani’ telah meriwayatkan berikut sanadnya sampai kepada Amir ibnu Rabi’ah ibnu Qais An-Numairi, dari Ali ibnu Fulan An-Nuamairi, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Orang muslim adalah saudara orang muslim lainnya; apabila mangucapkan salam, maka yang disalami harus menjawabnya dengan salam yang lebih baik darinya, ia tidak boleh mencegah al-maun. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan al-ma’un?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: (Perabotan yang terbuat dari) batu dan besi dan lain sebagainya. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.'”

Sumber : tafsir.learn-quran.co

Yuk bagikan sebagai sedekah…

Yuk bagikan infonya...

About Auther:

Info Biografi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

BUKU TES TNI POLRI AKMIL AKPOL 2024
Hello. Add your message here.