Seandainya kita mengambil dan mengikuti pendapat golongan yang pertama, yaitu mereka yang ekstrim dalam menetapkan qadar, niscaya sia-sia lah syari’at ini dari tujuan semula. Sebab bila dikatakan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak dalam perbuatannya, berarti tidak perlu dipuji atas perbuatannya yang terpuji dan tidak perlu dicela atas perbuatannya yang tercela. Karena pada hakikatnya perbuatan tersebut dilakukan tanpa kehendak dan keinginan darinya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Allah maha suci dari pendapat dan paham yang demikian ini.
Adalah merupakan kezhaliman, jika Allah menyiksa orang yang berbuat maksiat yang perbuatan maksiat tersebut terjadi bukan dengan kehendak dan keinginannya. Pendapat seperti ini sangat jelas bertentangan dengan firman Allah:
“Dan (malaikat) yang menyertai dia berkata: “inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku, Allah berfirman: “ lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala; yang sangat enggan melakukan kebaikan, melanggar batas lagi ragu-ragu; yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat (pedih ). Sedang (syaitan ) yang menyertai dia berkata: “ ya Rabb kami, aku tidak menyesatkannya, tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh”. Allah berfirman: “ Janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberikan ancaman kepadamu. Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah, dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku” (Qaaf : 23- 29).
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa siksaan dari-Nya itu adalah karena keadilan-Nya, dan sama sekali Dia tidak zhalim terhadap hamba-amba-Nya.
Sebab Allah telah memberikan peringatan dan ancaman kepada mereka, telah menjelaskan jalan kebenaran dan jalan kesesatan bagi mereka, akan tetapi mereka memilih jalan kesesatan, maka mereka tidak akan memiliki alasan di hadapan Allah untuk membantah keputusan-Nya.
Andai kita menganut pendapat yang batil ini, niscaya sia-sialah firman Allah ini:
“(Kami utus mereka) sebagai rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah di utusnya Rasul-rasul itu. Dan Allah maha Perkasa lagi maha Bijaksana “. (An- Nisaa’: 165).
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa tidak ada alasan lagi bagi manusia setelah di utusnya para Rasul, karena sudah jelas hujjah Allah atas mereka.
Maka seandainya masalah takdir bisa dijadikan alas an bagi mereka, tentu alasan ini akan tetap berlaku sekalipun sesudah di utusnya para Rasul. Karena qadar (takdir) Allah sudah ada sejak dahulu sebelum diutusnya para Rasul dan tetap ada sesudah mereka diutus.
Dengan demikian pendapat ini adalah batil karena tidak sesuai dengan nash (dalil) dan kenyataan, sebagaimana telah kami uraikan dengan contoh-contoh di atas.
Referensi : Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin, Qadha dan Qadar, Maktab Dakwah dan Bimbingan Jaliyat Rabwah, Riyad, 2007
Artikel terkait : Qadha dan Qadar (Takdir), Takdir : Sanggahan atas Pendapat Pertama, Takdir : Sanggahan atas Pendapat Kedua, Tingkatan Qadha dan Qadar (Takdir)
Baca juga :
- Minhajul Muslim (Konsep Hidup Ideal dalam Islam)
- Jangan Bersedih : Kompilasi Motivasi Islam Penyejuk Hati
- Lowongan Kerja Terbaru 43 Bank di Indonesia
- 5 Kunci untuk Menguak Rahasia SUKSES SEJATI dalam Kehidupan Anda
- Best Articles : Career Life, Personal Development, Entrepreneurship And Business
- Inilah 10 Besar Profesi dengan Gaji Tertinggi di Indonesia
- Inilah 7 Pondok Pesantren Tahfidz Al Qur’an Terbaik di Indonesia
- Al Quran Menjawab