Tafsir Surat Al Maidah Ayat 32

Yuk bagikan infonya...

Al-Ma’idah: 32

مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِىٓ إِسْرَٰٓءِيلَ أَنَّهُۥ مَن قَتَلَ نَفْسًۢا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى ٱلْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحْيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَآءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِٱلْبَيِّنَٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِّنْهُم بَعْدَ ذَٰلِكَ فِى ٱلْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. QS. Al Maidah : 32

Tafsir Ibnu Katsir

Surat Al-Ma’idah: 32-34

Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, kecuali orang-orang yang bertobat (di antara mereka) sebelum kalian dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Karena anak Adam pernah membunuh saudaranya secara aniaya dan permusuhan.” (maka) Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil. (Al-Maidah: 32) Yakni Kami syariatkan kepada mereka dan Kami berlakukan terhadap mereka, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya (Al-Maidah: 32) Yakni barang siapa yang membunuh seorang manusia tanpa sebab seperti qisas atau membuat kerusakan di muka bumi, dan ia menghalalkan membunuh jiwa tanpa sebab dan tanpa dosa maka seakan-akan ia membunuh manusia seluruhnya, karena menurut Allah tidak ada bedanya antara satu jiwa dengan jiwa yang lainnya.

Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, yakni mengharamkan membunuhnya dan meyakini keharaman tersebut, berarti selamatlah seluruh manusia darinya berdasarkan pertimbangan ini. Untuk itulah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: maka seolah-olah dia memelihara kehidupan manusia semuanya. (Al-Maidah: 32) Al-A’masy dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang telah menceritakan bahwa pada hari Khalifah Usman dikepung, Abu Hurairah masuk menemuinya, lalu berkata, “Aku datang untuk menolongmu, dan sesungguhnya situasi sekarang ini benar-benar telah serius, wahai Amirul Muminin.” Maka Usman ibnu Affan berkata, “Wahai Abu Hurairah, apakah kamu senang bila kamu membunuh seluruh manusia, sedangkan aku termasuk dari mereka?” Abu Hurairah menjawab, “Tidak.” Usman berkata, “Karena sesungguhnya bila kamu membunuh seseorang lelaki, maka seolah-olah kamu telah membunuh manusia seluruhnya.

Maka pergilah kamu dengan seizinku seraya membawa pahala, bukan dosa.” Abu Hurairah melanjutkan kisahnya.Lalu aku pergi dan tidak ikut berperang.” Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa hal itu sama dengan makna firman-Nya yang mengatakan: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (Al-Maidah: 32); Memelihara kehidupan artinya “tidak membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah membunuhnya”, demikianlah pengertian orang yang memelihara kehidupan manusia seluruhnya.

Dengan kata lain, barang siapa yang mengharamkan membunuh jiwa, kecuali dengan alasan yang benar, berarti kelestarian hidup manusia terpelihara darinya; demikianlah seterusnya. Mujahid mengatakan bahwa barang siapa yang memelihara kehidupan jiwa seseorang, yakni menahan diri tidak membunuhnya. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: maka seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya. (Al-Maidah: 32); Ibnu Abbas mengatakan bahwa barang siapa yang membunuh jiwa seseorang yang diharamkan oleh Allah membunuhnya, maka perumpamaannya sama dengan membunuh seluruh manusia.

Said ibnu Jubair telah mengatakan, “Barang siapa yang menghalalkan darah seorang muslim, maka seakan-akan dia menghalalkan darah manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang mengharamkan darah seorang muslim, maka seolah-olah dia mengharamkan darah manusia seluruhnya.” Ini merupakan suatu pendapat, tetapi pendapat inilah yang terkuat. Ikrimah dan Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa barang siapa yang membunuh seorang nabi atau seorang imam yang adil, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.

Dan barang siapa yang mendukung sepenuhnya seorang nabi atau seorang imam yang adil, maka seakan-akan dia memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Mujahid menurut riwayat lain yang bersumberkan darinya mengatakan, “Barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena telah membunuh seseorang, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Demikian itu karena barang siapa yang membunuh seseorang, maka baginya neraka, dan perihalnya sama seandainya dia membunuh manusia seluruhnya.” Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Al-A’raj, dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: maka seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya. (Al-Maidah: 32); Bahwa barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka Allah menyediakan neraka Jahannam sebagai balasannya, dan Allah murka terhadapnya serta melaknatinya dan menyiapkan baginya azab yang besar.

Dikatakan bahwa seandainya dia membunuh manusia seluruhnya, maka siksaannya tidak melebihi dari siksaan tersebut (karena sudah maksimal). Ibnu Juraij telah meriwayatkan bahwa Mujahid pernah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (Al-Maidah: 32); Bahwa barang siapa yang tidak pernah membunuh seseorang pun, berarti manusia selamat darinya. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan, “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya, yakni diwajibkan atas dirinya menjalani hukum qisas (pembalasan), tidak ada bedanya antara yang dibunuh adalah seorang manusia ataupun sejumlah orang.

Dan barang siapa yang memelihara kehidupan, yakni pihak wali darah memaafkan si pembunuh, maka seakan-akan dia memelihara kehidupan manusia seluruhnya.” Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh ayahnya (yakni Juraij) menurut Mujahid mengatakan dalam suatu riwayat, “Barang siapa yang memelihara kehidupan, yakni menyelamatkan (orang lain) dari tenggelam atau kebakaran atau kebinasaan.” Al-Hasan dan Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. (Al-Maidah: 32); Di dalam makna ayat ini terkandung pengertian bahwa melakukan tindak pidana pembunuhan merupakan dosa yang sangat besar.

Lalu Qatadah mengatakan, “Demi Allah, dosanya amat besar; demi Allah, pembalasannya sangat besar.” Ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Salam ibnu Miskin, dari Sulaiman ibnu Ali Ar-Rab’i yang telah menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Hasan, “Ayat ini bagi kita, wahai Abu Sa’id, sama dengan apa yang diberlakukan atas kaum Bani Israil.” Al-Hasan menjawab, “Memang benar, demi Tuhan yang tiada Tuhan selain Dia, sama seperti yang diberlakukan atas kaum Bani Israil, dan tiadalah Allah menjadikan darah kaum Bani Israil lebih mulia daripada darah kita.

Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. (Al-Maidah: 32); Yaitu dalam hal dosanya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan_ dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya. (Al-Maidah: 32); Yakni dalam hal pahalanya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai’ah, telah menceritakan kepada kami Huyay ibnu Abdullah, dari Abu Abdur Rahman Al-Habli, dari Abdullah ibnu Amr yang telah mengatakan bahwa Hamzah ibnu Abdul Muttalib datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya: Wahai Rasulullah, berikanlah kepadaku sesuatu pegangan untuk kehidupanku.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Wahai Hamzah, jiwa seseorang yang kamu pelihara kehidupannya lebih kamu sukai ataukah jiwa seseorang yang kamu matikan?” Hamzah menjawab, “Tidak, bahkan jiwa yang aku pelihara kehidupannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Peliharalah dirimu. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan membawa keterangan-keterangan yang jelas. (Al-Maidah: 32) Yakni membawa hujah-hujah, bukti-bukti, dan keterangan-keterangan yang jelas lagi gamblang. kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (Al-Maidah: 32) Ini suatu kecaman terhadap mereka dan sebagai hinaan kepada mereka (kaum Bani Israil) karena mereka melakukan pelbagai hal yang diharamkan, sesudah mereka mengetahui keharamannya.

Seperti yang telah dilakukan oleh Bani Quraizah dan Bani Nadir serta orang-orang Yahudi lainnya, seperti Bani Qainuqa’ yang ada di sekitar Madinah. Dahulu di masa Jahiliah apabila terjadi peperangan, mereka ada yang berpihak kepada kabilah Aus, ada pula yang berpihak kepada kabilah Khazraj. Kemudian apabila perang berhenti, mereka menebus para tawanan perang dan membayar diat orang-orang yang telah mereka bunuh.

Allah subhanahu wa ta’ala mengecam perbuatan mereka itu dalam surat Al-Baqarah: Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kalian (yaitu): kalian tidak akan menumpahkan darah kalian (membunuh orang), dan kalian tidak akan mengusir diri (saudara kalian sebangsa) dari kampung halaman kalian, kemudian kalian berikrar (akan memenuhinya), sedangkan kalian mempersaksikannya. Kemudian kalian (Bani Israil) membunuh diri (saudara sebangsa) dan mengusir segolongan dari kalian dari kampung halamannya, kalian bantu-membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepada kalian sebagai tawanan, kalian tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagi kalian. Apakah kalian beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.

Allah tidak lengah dari apa yang kalian perbuat. (A1-Baqarah: 84-85) Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik (bersilang), atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). (Al-Maidah: 33), hingga akhir ayat Al-muharabah artinya “berlawanan dan bertentangan Makna kalimat ini dapat ditunjukkan kepada pengertian “kafir, membegal jalan, dan meneror keamanan di jalan Demikian pula membuat kerusakan di muka bumi mempunyai pengertian yang banyak mencakup berbagai aneka kejahatan.

Sehingga banyak dari kalangan ulama Salaf yang antara lain ialah Sa’id ibnul Musayyab mengatakan bahwa sesungguhnya menggenggam (menguasai) dirham dan dinar termasuk perbuatan menimbulkan kerusakan di muka bumi. Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang-binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. (Al-Baqarah: 205) Kemudian sebagian dari mereka (ulama Salaf) ada yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik. Sama halnya dengan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Jarir, bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Waqid, dari Yazid, dari Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri, keduanya telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. (Al-Maidah: 33) sampai dengan firman-Nya: bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Maidah: 34); diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik.

Barang siapa dari mereka yang bertobat sebelum kalian sempat menangkapnya, maka tiada jalan bagi kalian untuk menghukumnya. Tetapi ayat ini sama sekali tidak mengecualikan seorang muslim pun dari hukuman had jika ia melakukan pembunuhan atau mengadakan kerusakan di muka bumi, atau memerangi Allah dan Rasul-Nya, kemudian bergabung dengan orang-orang kafir sebelum kalian sempat menangkapnya. Hal tersebut tidak melindunginya dari hukuman had apabila dia memang melakukannya.

Imam Abu Dawud dan Imam An-An-Nasai meriwayatkan melalui jalur Ikrimah, dari Ibnu Abbas, yaitu mengenai firman-Nya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi. (Al-Maidah: 33); Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik. Dan siapa pun dari mereka yang telah bertobat sebelum kalian sempat menangkapnya, hal tersebut tidak dapat melindunginya dari hukuman had atas perbuatan yang telah dilakukannya.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi. (Al-Maidah: 33), hingga akhir ayat; Dikatakan bahwa ada segolongan kaum dari kalangan Ahli Kitab yang antara mereka dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat perjanjian perdamaian, lalu mereka melanggar perjanjian itu dan membuat kerusakan di muka bumi. Maka Allah menyuruh Rasul-Nya memilih antara membunuh mereka atau memotong tangan dan kaki mereka secara bersilang jika suka.

Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Syu’bah telah meriwayatkan dari Mansur. dari Hilal ibnu Yusaf. dari Mus’ab ibnu Sa’d, dari ayahnya yang telah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan golongan Haruriyah, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi. (Al-Maidah: 33); Demikianlah Riwayat menurut Ibnu Ibnu Mardawaih Tetapi pendapat yang benar ialah yang mengatakan bahwa ayat ini mengandung makna umum mencakup orang-orang musyrik dan lain-lainnya yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.

Seperti yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim: melalui hadits Abu Qilabah yang bernama asli Abdullah ibnu Zaid Al-Jurmi Al-Basri, dari Anas ibnu Malik, bahwa ada segolongan kaum dari Bani Ukal yang jumlahnya delapan orang; mereka datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berbaiat (berjanji setia) kepadanya untuk membela Islam, lalu mereka membuat kemah di Madinah. Setelah itu mereka terkena suatu penyakit, lalu mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit yang mereka alami itu. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Maukah kalian keluar bersama penggembala kami berikut unta ternaknya. lalu kalian berobat dengan meminum air seni dan air susu ternak itu.

Mereka menjawab, “Tentu saja kami mau.” Lalu mereka keluar (berangkat menuju tempat penggembalaan ternak), kemudian meminum air seni serta air susu ternak itu. Tetapi setelah mereka sehat, penggembala itu mereka bunuh, sedangkan ternak untanya dilepasbebaskan. Ketika berita itu sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mengirimkan sejumlah orang untuk mengejar mereka. Akhirnya mereka tertangkap, lalu dihadapkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar tangan dan kaki mereka dipotong, matanya ditusuk, kemudian dijemur di panas matahari hingga mati. Demikianlah menurut lafal Imam Muslim. Menurut suatu lafal oleh keduanya (Bukhari dan Muslim) disebutkan dari Ukal atau Arinah, dan menurut lafal yang lain disebutkan bahwa mereka dilemparkan di padang pasir, lalu mereka meminta minum, tetapi tidak diberi minum (hingga mati).

Menurut suatu lafal oleh Imam Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengobati mereka lagi (melainkan pendarahannya dibiarkan hingga mati). Sedangkan menurut apa yang ada pada Imam Bukhari disebutkan bahwa Abu Qilabah mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang telah mencuri, membunuh, dan kafir sesudah imannya serta memerangi Allah dan Rasul-Nya.” Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui jalur Hasyim, dari Abdul Aziz ibnu Suhaib dan Humaid, dari Anas, lalu ia mengetengahkan hadits yang semisal. Dalam lafal riwayat ini disebutkan bahwa mereka terlebih dahulu murtad.

Keduanya (Bukhari dan Muslim) telah mengetengahkannya melalui riwayat Qatadah, dari Anas dengan lafal yang semisal. Sa’id telah meriwayatkan dari Qatadah, bahwa mereka dari Ukal dan Arinah. Imam Muslim telah meriwayatkan melalui jalur Sulaiman At-Taimi, dari Anas yang telah menceritakan bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencongkel mata mereka, karena mereka telah mencongkel mata si penggembala itu. Imam Muslim telah meriwayatkan pula melalui hadits Mu’awiyah ibnu Qurrah, dari Anas yang telah menceritakan bahwa datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam segolongan orang dari Bani Arinah, lalu mereka masuk Islam dan menyatakan baiatnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan saat itu di Madinah sedang mewabah sejenis penyakit yang dinamai Al-Mum, yaitu sama dengan penyakit Birsam.

Kemudian Imam Muslim mengetengahkan kisah mereka dan di dalamnya ditambahkan bahwa ternak unta itu digembalakan oleh seorang pemuda dari kalangan Anshar yang berusia hampir dua puluh tahun, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melepaskan mereka, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan pula seorang mata-mata untuk mengawasi gerak-gerik mereka. Semua yang telah disebutkan di atas menurut lafal Imam Muslim. Hammad ibnu Salamah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qatadah dan Sabit Al-Bannani serta Humaid At-Tawil, dari Anas ibnu Malik, bahwa sejumlah orang dari kabilah Arinah datang ke Madinah, lalu mereka terserang penyakit yang sedang melanda Madinah.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan mereka ke tempat penggembalaan ternak unta hasil zakat, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada mereka untuk meminum air seni dan air susu ternak unta itu (sebagai obatnya). Lalu mereka melakukannya dan ternyata mereka sehat kembali, tetapi sesudah itu mereka murtad dari Islam dan membunuh si penggembala itu, lalu menggiring ternak untanya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan suatu pasukan untuk mengejar mereka. Akhirnya mereka tertangkap dan dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,lalu tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang dan mata mereka dicongkel (dibutakan), setelah itu tubuh mereka dijemur di padang pasir. Anas mengatakan, “Sesungguhnya aku melihat seseorang dari mereka menjilat-jilat tanah dengan mulutnya karena kehausan, hingga akhirnya mereka semua mati. Dan turunlah firman-Nya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya ‘(Al-Maidah: 33), hingga akhir ayat” Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-An-Nasai serta Ibnu Mardawaih telah meriwayatkannya pula, dan inilah lafaznya.

Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Ibnu Mardawaih telah meriwayatkannya melalui berbagai jalur yang cukup banyak dari Anas Ibnu Malik, antara lain melalui dua jalur dari Salam ibnus Sahba, dari Sabit, dari Anas ibnu Malik. Salam mengatakan bahwa ia tidak pernah menyesal karena hadits yang pernah ditanyakan oleh Al-Hajjaj. Al-Hajjaj berkata kepadanya.Ceritakanlah kepadaku tentang hukuman yang paling keras yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”Lalu ia menjawab,”Pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu kaum dari kabilah Arinah yang tinggal di Bahrain.

Lalu mereka mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penyakit yang dirasakan oleh perut mereka. Saat itu warna tubuh mereka telah menguning dan perut mereka kembung. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka agar datang ke tempat penggembalaan ternak unta sedekah (zakat) untuk meminum air seni dan air susunya. Setelah kesehatan mereka telah pulih dan perut mereka telah kempes seperti sediakala, tiba-tiba mereka menyerang si penggembala dan membunuhnya serta membawa lari ternak untanya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan sejumlah pasukan untuk mengejar mereka, lalu tangan dan kaki mereka dipotong serta mata mereka dibutakan, kemudian dilemparkan di tengah padang pasir hingga mati.” Dinyatakan bahwa Al-Hajjaj, apabila naik ke atas mimbarnya acapkali mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memotong tangan dan kaki suatu kaum, kemudian melemparkan tubuh mereka ke padang pasir hingga mati, karena mereka merampok sejumlah ternak unta.” Dan tersebutlah bahwa Al-Hajjaj sering berdalilkan hadits ini terhadap orang-orang.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid yakni Ibnu Muslim, telah menceritakan kepadaku Sa’id, dari Qatadah, dari Anas yang telah menceritakan bahwa mereka berjumlah empat orang dari kabilah Arinah dan tiga orang dari kabilah Ukal. Ketika mereka telah ditangkap dan dihadapkan ke pengadilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tangan dan kaki mereka dipotong serta mata mereka dibutakan (dicongkel) tanpa diobati lagi.

lalu mereka dibiarkan memakan batu-batu kerikil di padang pasir. Sehubungan dengan peristiwa ini turunlah firman-Nya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. (Al-Maidah: 33), hingga akhir ayat Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Harb Al-Mausuli, telah menceritakan kepada kami Abu Mas’ud yakni Abdur Rahman ibnul Hasan Az-Zajjaj, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id yakni Al-Baqqal dari Anas ibnu Malik yang telah mengatakan bahwa ada segolongan orang dari kabilah Arinah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kepayahan, warna tubuh mereka telah menguning, dan perut mereka kembung.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada mereka agar tinggal di tempat ternak unta digembalakan untuk meminum air seni dan air susunya. Lalu mereka melakukannya hingga warna tubuh mereka kembali seperti sediakala, perut mereka kempes, dan tubuh mereka segar dan gemuk kembali. Tetapi mereka membunuh penggembala ternak unta itu dan menggiring ternak untanya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan sejumlah pasukan untuk mengejar mereka. Akhirnya mereka tertangkap, lalu dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; sebagian dari mereka dihukum mati, sebagian dicongkel matanya, sedangkan sebagian yang lain dipotong tangan dan kakinya. Kemudian turunlah ayat berikut: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. (Al-Maidah: 33), hingga akhir ayat.

Abu Ja’far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ali ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai’ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, bahwa Abdul Malik ibnu Marwan pernah berkirim surat kepada Anas untuk menanyakan tentang makna ayat ini. Maka Anas membalas suratnya yang isinya memberitakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang dari kabilah Arinah dan dari Bajilah.

Anas mengatakan bahwa mereka murtad dari Islam dan membunuh si penggembala serta menggiring untanya, membegal di jalanan, dan memperkosa wanita. Abu Ja’far mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb. telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris. dari Said ibnu Abu Hilal, dari Abuz Zanad, dari Abdullah ibnu Ubaidillah. dari Abdullah ibnu Umar atau Amr ragu dari pihak Yunus .dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kisah orang-orang Arinah ini dan diturunkan berkenaan dengan mereka ayat muharabah.

Abu Dawud dan Imam An-An-Nasai meriwayatkannya melalui jalur Abuz Zanad yang di dalam sanadnya disebutkan dari Ibnu Umar tanpa ragu. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Khalaf, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Hammad, dari Amr ibnu Hasyim, dari Musa ibnu Ubaidah, dari Muhammad ibnu Ibrahim, dari Jarir. Disebutkan bahwa telah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu kaum dari kabilah Arinah tanpa memakai alas kaki lagi dalam keadaan sakit.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka agar berobat. Setelah mereka sehat kembali dan kuat seperti semula, mereka membunuh penggembala unta, lalu kabur dengan membawa ternak untanya dengan tujuan tempat tinggal kaumnya. Jarir melanjutkan kisahnya.Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku bersama sejumlah orang dari kaum muslim, hingga kami dapat mengejar mereka, sesudah mereka hampir tiba di tempat tinggal kaumnya. Kemudian kami hadapkan mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang, serta mata mereka dicongkel. Mereka minta air karena kehausan, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dengan kalimat, ‘Api, hingga mereka mati.” Jarir melanjutkan kisahnya, “Setelah itu Allah tidak senang akan hukuman mencongkel mata, lalu Dia menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya (Al-Maidah: 33), hingga akhir ayat.” Hadits ini gharib, di dalam sanadnya terdapat Ar-Rabzi yang dha’if.

Tetapi di dalam matan hadisnya terkandung keterangan yang lebih, yaitu disebutkannya nama pemimpin dari sariyyah (pasukan) kaum muslim yang mengejar para pemberontak itu, yaitu Jarir ibnu Abdullah Al-Bajali. Dalam hadits yang lalu dari kitab Shahih Muslim telah disebutkan bahwa sariyyah ini berjumlah dua puluh orang pasukan berkuda, semuanya dari kalangan Anshar. Adapun mengenai kalimat yang mengatakan bahwa Allah tidak menyukai hukuman mencongkel mata, lalu Allah menurunkan ayat ini, sesungguhnya predikat kalimat ini munkar (tidak dapat diterima), karena dalam hadits yang lalu dari Shahih Muslim telah disebutkan bahwa orang-orang Arinah itu telah mencongkel mata si penggembala, maka apa yang diberlakukan terhadap mereka merupakan hukum qisas.

Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ibrahim ibnu Muhammad Al-Aslami, dari Saleh maula At-Tauamah, dari Abu Hurairah yang telah menceritakan bahwa pernah datang sejumlah lelaki dari Bani Fazzarah yang kelihatan kurus sekali, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk tinggal di tempat penggembalaan ternak untanya. Lalu mereka meminum air susu dan air seninya hingga sehat, kemudian mereka pun pergi ke tempat penggembalaannya, setelah itu mereka mencuri ternak unta tersebut. Lalu mereka dikejar dan dihadapkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong tangan dan kaki mereka, sedangkan mata mereka dicongkel.

Abu Hurairah melanjutkan kisahnya, bahwa berkenaan dengan merekalah ayat ini diturunkan, yakni firman-Nya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. (Al-Maidah: 33) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan hukuman mencongkel mata sesudah itu. Telah diriwayatkan melalui jalur lain, dari Abu Hurairah juga. Untuk itu, Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Ishaq At-Tusturi, telah menceritakan kepada kami Abul Qasim Muhammad ibnul Walid, dari Amr ibnu Muhammad Al-Madini, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Talhah, dari Musa ibnu Muhammad ibnu Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dari Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, dari Salamah ibnul Akwa’ yang telah menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai seorang budak laki-laki yang dikenal dengan nama Yasar.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya mengerjakan shalat dengan baik, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakannya, kemudian mengirimkannya untuk menggembalakan ternak unta milik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Harrah. Sejak saat itu Yasar tinggal di Harrah. Kemudian ada suatu kaum dari Arinah yang menampakkan diri masuk Islam dan mereka datang dalam keadaan sakit lagi lemah, sedangkan perut mereka kembung. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim mereka kepada Yasar, lalu mereka minum air susu ternak unta itu hingga perut mereka sembuh. Tetapi sesudah itu mereka menyerang Yasar dan menyembelihnya serta menusuk kedua matanya dengan duri, lalu ternak untanya mereka bawa kabur. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan sejumlah pasukan berkuda untuk mengejar mereka di bawah pimpinan Kurz ibnu Jabir Al-Fihri. Akhirnya mereka dapat mengejarnya, lalu ditangkap dan dihadapkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong tangan dan kaki mereka serta menusuk mata mereka. Hadits ini berpredikat gharib jiddan. Kisah mengenai orang-orang Arinah ini telah diriwayatkan melalui hadits sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, antara lain Jabir, Aisyah, dan lain-lainnya. Al-Hafidzh Al-Jalil Abu Bakar ibnu Mardawaih telah menyusun jalur-jalur hadits ini melalui berbagai periwayatan yang cukup banyak.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnul Hasan ibnu Syaqiq yang mengatakan bahwa ayahnya pernah berkata, “Aku pernah mendengar Abu Hamzah bercerita, dari Abdul Karim yang ditanya mengenai masalah air seni unta. Maka Abdul Karim menjawab, ‘Telah menceritakan kepadaku Sa’id ibnu Jubair mengenai kisah muharibin (para pemberontak).’ Sa’id ibnu Jubair mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kedatangan sejumlah orang, lalu mereka berkata, ‘Kami berbaiat kepadamu untuk masuk Islam.’ Maka mereka menyatakan baiatnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal mereka dusta, dan bukan Islam yang mereka kehendaki.

Kemudian mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami terserang penyakit di Madinah ini.’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ternak unta ini datang dan pergi kepada kalian, maka minumlah dari air seni dan air susunya. Ketika mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba datanglah seseorang meminta tolong kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. lalu berkata, ‘Mereka telah membunuh penggembala ternak unta dan membawa kabur ternak untanya.’ Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan perintahnya dan menyerukan kepada para sahabatnya: Wahai pasukan berkuda Allah, berangkatlah! Maka mereka menaiki kudanya masing-masing tanpa menunggu-nunggu yang lainnya, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengendarai kudanya di belakang mereka. Pasukan kaum muslim terus mencari dan mengejar mereka hingga mereka memasuki daerah yang aman bagi mereka.

Lalu para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali (ke Madinah) dengan membawa tawanan sebagian dari mereka. Mereka menghadapkan para tawanan itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu turunlah firman-Nya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. (Al-Maidah- 33) hingga akhir ayat Dan tersebutlah bahwa hukuman pembuangan yang dialami oleh mereka ialah di tempat yang aman bagi mereka, tetapi jauh dari negeri tempat tinggalnya dan jauh dari negeri tempat tinggal kaum muslim. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghukum mati sebagian dari mereka, lalu disalib, dipotong (tangan dan kakinya), dan ditusuk matanya.” Sa’id ibnu Jubair mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan hukuman cincang, baik sebelum ataupun sesudahnya, melainkan hanya kali itu saja. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang muslah melalui sabdanya, “Janganlah kalian melakukan hukuman cincang.” Said ibnu Jubair mengatakan bahwa Anas mengucapkan kalimat tersebut, hanya saja dia mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membakar mereka sesudah mereka mati. Ibnu Jarir mengatakan, sebagian di antara mereka ada yang mengatakan bahwa para pemberontak itu dari Bani Salim, dan sebagiannya dari Arinah serta sejumlah orang dari Bajilah.

Para imam berselisih pendapat mengenai hukum orang-orang Arinah itu, apakah mansukh atau muhkam. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa hukum itu telah di-mansukh oleh ayat ini, dan mereka menduga bahwa di dalam ayat ini terkandung teguran terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sama halnya dengan teguran yang terkandung di dalam firman-Nya: Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang)? (At-Taubah: 43) Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa hukum ini di-mansukh oleh larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan tidak boleh me-muslah (menghukum cincang); tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan, kemudian orang yang mengatakannya dituntut untuk menjelaskan keterbelakangan nasikh yang didakwakannya itu dari mansukh-nya.

Sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa hukum ini terjadi sebelum diturunkan hukum-hukum mengenai had. Muhammad Ibnu Sirin mengatakan bahwa pendapat ini perlu dipertimbangkan, mengingat kisah kejadiannya terbelakang. Di dalam riwayat Jarir ibnu Abdullah mengenai kisah mereka disebutkan hal yang menunjukkan keterbelakangannya, karena Jarir ibnu Abdullah masuk Islam sesudah surat Al-Maidah diturunkan. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membutakan mata mereka, melainkan hanya berniat akan melakukan hal tersebut, tetapi keburu diturunkan ayat Al-Qur’an yang menjelaskan hukum para pemberontak.

Pendapat ini pun masih perlu dipertimbangkan, karena dalam hadits yang telah muttafaq di atas disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membutakan mata mereka. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim yang telah menceritakan bahwa ia pernah membicarakan dengan Al-Al-Laits ibnu Sa’d mengenai hukuman membutakan mata yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap mereka dan membiarkan mereka tanpa mengobatinya hingga mati semua. Maka Al-Al-Laits ibnu Sa’d mengatakan, “Aku pernah mendengar Muhammad ibnu Ajlan mengatakan bahwa ayat ini diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teguran terhadapnya dalam peristiwa itu, dan mengajarkan kepadanya cara menjatuhkan hukum terhadap orang-orang yang semisal dengan mereka, yaitu dihukum mati, dipotong anggota tubuhnya, dan diasingkan.

Setelah peristiwa itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan hukuman membutakan mata lagi terhadap yang lainnya.” Al-Walid ibnu Muslim mengatakan, “Lalu pendapat ini dikemukakan kepada Abu Amr, yakni Al-Auza’i. Maka Al-Auza’i menyanggah pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan sebagai teguran kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia mengatakan bahwa bahkan sanksi itu ditetapkan sebagai hukuman terhadap orang-orang tersebut secara khusus, kemudian diturunkan ayat ini yang menjelaskan hukuman terhadap orang-orang selain mereka yang melakukan pemberontakan sesudahnya, dan hukuman membutakan mata dihapuskan.” Jumhur ulama telah menyimpulkan dari keumuman makna ayat ini, bahwa hukum muharabah yang dilakukan di kota-kota besar dan di jalan-jalan penghubung sama saja, karena berdasarkan firman-Nya: Dan membuat kerusakan di muka bumi (Al Maidah 33) Demikianlah menurut mazhab Imam Malik, Al-Auza’i, Al-Al-Laits ibnu Sa’d, Asy-Syafii.

dan Ahmad ibnu Hambal. Sehingga Imam Malik mengatakan sehubungan dengan seseorang yang diculik, lalu ditipu dimasukkan ke dalam sebuah rumah, kemudian dibunuh dan semua barangnya dirampok bahwa hal ini dimasukkan ke dalam kategori muharabah. Maka darahnya diberikan kepada sultan, bukan kepada wali si terbunuh. Untuk itu, tidak dianggap pemaafan dari pihak wali si terbunuh dalam menggugurkan hukuman mati terhadap pelakunya.

Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya mengatakan bahwa muharabah hanya dilakukan di jalan-jalan yang sepi. Jika dilakukan di dalam kota, maka bukan muharabah, karena si teraniaya dapat meminta tolong kepada orang lain. Lain halnya jika dilakukan di tengah jalan, jauh dari orang-orang yang dimintai tolong dan dari orang yang mau membantunya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). (Al-Maidah: 33) Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini mengenai hukuman mengangkat senjata terhadap golongan Islam dan melakukan teror di tengah jalan, kemudian dapat ditangkap dan dihadapkan ke pengadilan, maka imam kaum muslim boleh memilih salah satu di antara hukuman-hukuman berikut, yaitu jika ia suka boleh menghukum mati, menghukum salib, boleh pula menghukum potong tangan dan kaki secara bersilang.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa’id ibnul Musayyab, Mujahid, ‘Atha’, Al-Hasan Al-Basri, Ibrahim An-Nakha’i, dan Ad-Dhahhak. Semuanya itu diriwayatkan oleh Abu Ja’far ibnu Jarir. Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Malik ibnu Anas. Sandaran pendapat ini berdasarkan analisis nahwu yang menyatakan bahwa lahiriah au menunjukkan makna takhyir, sama halnya dengan hal-hal lainnya yang semisal di dalam Al-Qur’an, seperti dalam masalah denda berburu, yaitu firman-Nya: maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian sebagai hadya yang dibawa sampai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kifarat dengan memberi makan orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu. (Al-Maidah: 95) Juga seperti dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala mengenai kifarat fidyah, yaitu: Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah.

yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. (Al-Baqarah: 196) Dan seperti dalam firman-Nya mengenai kifarat sumpah, yaitu: ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. (Al-Maidah: 89) Semuanya ini menunjukkan makna takhyir (pilihan), maka demikian pula makna di dalam ayat ini Jumhur ulama mengatakan bahwa ayat ini (Al-Maidah: 33) penerapan hukumnya melihat keadaan-keadaan yang terjadi, seperti yang dikatakan oleh Abu Abdullah Asy-Syafii, bahwa telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abu Yahya, dari Saleh Maula At-Tauamah, dari Ibnu Abbas yang telah mengatakan sehubungan dengan masalah pembegal jalan apabila membunuh, merampok harta, maka hukumannya adalah dibunuh dan disalib.

Apabila mereka membunuh tanpa merampok harta, maka hukumannya ialah dibunuh tanpa disalib. Apabila mereka hanya merampok harta tanpa membunuh, maka mereka tidak dihukum mati, melainkan hanya dipotong tangan dan kakinya secara bersilang. Apabila mereka hanya membuat orang-orang takut melewati jalan tanpa merampok, maka hukumannya hanya diasingkan dari negeri tempat tinggalnya. Ibnu Abu Syaibah telah meriwayatkan dari Abdur Rahim ibnu Sulaiman, dari Hajjaj.

dari Atiyyah. dari Ibnu Abbas hal yang semisal: dan telah diriwayatkan hal yang semisal dari Abu Mijlaz, Sa’id ibnu Jubair, Ibrahim An-Nakhai. Al-Hasan. Qatadah, As-Suddi, dan ‘Atha’ Al-Khurrasani. Hal yang sama telah dikatakan pula oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan para imam. Mereka berselisih pendapat, apakah hukuman salib dilakukan dalam keadaan si terpidana masih hidup, lalu dibiarkan hingga mati tanpa diberi makan dan minum, atau dibunuh dengan tombak dan senjata lainnya; ataukah dibunuh terlebih dahulu, kemudian disalib, sebagai pelajaran dan peringatan buat yang lainnya dari kalangan orang-orang yang gemar membuat kerusakan di muka bumi (pemberontak).

Apakah masa penyalibannya tiga hari, lalu diturunkan; ataukah dibiarkan sampai nanahnya keluar mengalir dari tubuhnya. Sehubungan dengan masalah ini semuanya masih terdapat perbedaan pendapat, hal ini akan diterangkan pada bagian tersendiri. Hanya kepada Allah sajalah kami percaya dan hanya kepada-Nyalah kami bertawakal. Perincian hukuman ini diperkuat dengan adanya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab Tafsir-nya, jika sanadnya shahih.

Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ali Ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Ibnu Lahiah dari Yazid ibnu Abu Habib, bahwa Abdul Malik ibnu Marwan berkirim surat kepada Anas ibnu Malik menanyakan kepadanya tentang makna ayat ini (Al-Maidah 33). Maka Anas ibnu Malik menjawab suratnya yang di dalamnya disebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang dari Bani Arinah, mereka dari Bajilah.

Anas r.a melanjutkan kisahnya, “Lalu mereka murtad dari Islam dan membunuh penggembala ternak unta serta menggiring untanya, kemudian mengadakan teror di tengah jalan dengan membegal (merampok) dan memperkosa.” Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, “Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Malaikat Jibril ‘alaihissalam mengenai hukum orang yang memberontak. Maka Malaikat Jibril menjawab, ‘Barang siapa yang mencuri (merampok) harta dan meneror di jalanan, maka potonglah tangannya karena mencuri, dan potonglah kakinya karena perbuatan terornya. Barang siapa yang membunuh, maka bunuh pulalah dia; dan barang siapa yang membunuh dan melakukan teror serta memperkosa, maka saliblah dia’.” Adapun mengenai firman-Nya yang mengatakan: atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). (Al-Maidah: 33) Sebagian dari mereka mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah “pelakunya dikejar hingga tertangkap, lalu dijatuhi hukuman had, atau ia lari dari negeri Islam

Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir, dari Ibnu Abbas, Anas ibnu Malik, Sa’id ibnu Jubair, Adh-Dhahhak, Ar-Rabi’ ibnu Anas, Az-Zuhri, Al-Al-Laits ibnu Sa’d, dan Malik ibnu Anas. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah “pelakunya dibuang dari negeri tempat tinggalnya ke negeri lain, atau hubungan muamalah dengannya diputuskan sama sekali oleh sultan atau wakilnya, tidak boleh ada seorang pun yang bermuamalah dengannya.” Menurut Asy-Sya’bi, makna yang dimaksud ialah “dipecat dari semua pekerjaannya”, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hubairah.

‘Atha’ Al-Khurrasani mengatakan, pelakunya dipenjara dari satu penjara ke penjara yang lainnya selama beberapa tahun, tetapi tidak dikeluarkan dari negeri Islam. Hal yang sama telah dikatakan oleh Said ibnu Jubair, Abusy Sya’sa, Al-Hasan, Az-Zuhri, Adh-Dhahhak, dan Muqatil ibnu Hayyan. Disebutkan bahwa pelakunya diasingkan, tetapi tidak dikeluarkan dari negeri Islam. Ulama lainnya mengatakan, yang dimaksud dengan pengasingan atau an-nafyu ialah dipenjara.

Demikianlah menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya. Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud istilah an-nafyu dalam ayat ini ialah diasingkan dari suatu negeri ke negeri lain dan dipenjara di dalamnya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (Al-Maidah: 33) Yakni apa yang telah Kusebutkan mengenai dibunuhnya mereka dan disalibnya mereka serta tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang, serta dibuangnya mereka dari negeri tempat tinggalnya; hal tersebut merupakan kehinaan bagi mereka di mata manusia dalam kehidupan dunia ini, di samping azab besar yang telah disediakan oleh Allah buat mereka di hari kiamat nanti.

Pengertian ini memperkuat pendapat orang yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik. Mengenai baiat yang ditetapkan kepada pemeluk Islam, disebutkan di dalam kitab Shahih Muslim melalui Ubadah ibnus Samit yang telah menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengambil janji dari kami sebagaimana beliau telah mengambil janji dari kaum wanita, yaitu kami tidak boleh mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, tidak boleh mencuri, tidak boleh berzina, tidak boleh membunuh anak-anak kita, dan tidak boleh membenci (memusuhi) sebagian yang lain. Maka barang siapa yang menunaikannya di antara kalian, pahalanya ada pada Allah.

Dan barang siapa yang melakukan sesuatu dari larangan tersebut, lalu ia dihukum, maka hukuman itu merupakan kifarat bagi (dosa)nya. Barang siapa yang ditutupi oleh Allah, maka perkaranya terserah kepada Allah; jika Dia menghendaki mengazabnya, pasti Dia mengazabnya; dan jika Dia menghendaki memaafkannya, niscaya Dia memaafkannya” Dari Ali disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan dosa di dunia, lalu ia dihukum karenanya, maka Allah Mahaadil untuk menduakalikan hukuman-Nya terhadap hamba-Nya. Dan barang siapa yang melakukan suatu perbuatan dosa di dunia, lalu Allah menutupinya dan memaafkannya, maka Allah Maha Pemurah untuk menggugatnya dalam sesuatu dosa yang telah dimaafkan-Nya.

Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam At-Tirmidzi, dan Imam Ibnu Majah, dan Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Al-Hafidzh Ad-Daruqutni pernah ditanya mengenai hadits ini, maka ia mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan secara marfu’ dan mauquf. Selanjutnya ia mengatakan bahwa yang marfu’ adalah shahih. Ibnu Jarir telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia. (Al-Maidah: 33); Yakni keburukan, keaiban, pembalasan, kehinaan, dan hukuman yang disegerakan di dunia sebelum siksaan di akhirat.

dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (Al-Maidah:33); Yakni apabila mereka tidak bertobat dari perbuatannya itu hingga mati, maka di akhirat selain dari pembalasan yang Kutimpakan atasnya di dunia dan siksaan yang Kutimpakan padanya di dunia, mereka mendapat siksaan yang besar, yakni dimasukkan ke dalam neraka Jahannam. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: kecuali orang-orang yang bertobat (di antara mereka) sebelum kalian dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Maidah: 34) Jika pengertian ayat ini ditujukan kepada orang-orang musyrik, maka sudah jelas.

Jika ditujukan terhadap orang-orang muslim yang memberontak, maka bila mereka bertobat sebelum sempat ditangkap, maka gugurlah dari mereka kepastian hukuman mati, hukuman disalib, dan hukuman pemotongan kaki. Tetapi apakah hukuman potong tangan ikut gugur pula? Ada dua pendapat di kalangan para ulama mengenainya Makna lahiriah ayat memberikan pengertian gugurnya semua hukuman. Pendapat inilah yang diberlakukan oleh para sahabat.

Seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim. bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Mujalid, dari Asy-Sya’bi yang telah mengatakan, “Dahulu Harisah ibnu Badr At-Tamimi dari kalangan penduduk Basrah melakukan kerusakan di bumi dan memberontak. Lalu ia meminta perlindungan keamanan kepada beberapa orang Quraisy, antara lain ialah Al-Hasan ibnu Ali, Ibnu Abbas, dan Abdullah ibnu Ja’far.

Kemudian mereka berbicara kepada Khalifah Ali mengenainya, dan ternyata Khalifah Ali tidak mau memberikan jaminan keamanan kepadanya. Lalu ia datang kepada Sa’id ibnu Qais Al-Hamdani, maka Sa’id meninggalkannya di rumah. Kemudian ia sendiri datang menghadap Khalifah Ali dan berkata kepadanya, ‘Wahai Amirul Muminin, bagaimanakah pendapatmu mengenai orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta menimbulkan kerusakan di muka bumi?’ Ali membacakan Al-Quran sampai kepada firman-Nya: kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kalian dapat menguasai (menangkap) mereka. (Al-Maidah: 34) Maka Khalifah Ali memberikan jaminan keamanan kepadanya.” Sa’id ibnu Qais mengatakan bahwa sesungguhnya dia adalah Harisah ibnu Badr.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui berbagai jalur dari Mujalid dan Asy-Sya’bi dengan lafal yang sama, dan ditambahkan bahwa Harisah ibnu Badr mengucapkan sebuah syair yang artinya: Mengapa ia tidak sampai kepada Hamdan, mengapa tidak menjumpainya, sekalipun jauh tiada seorang musuh pun yang mencelanya selamat darinya Demi umur ayahnya, sesungguhnya Hamdan bertakwa kepada Tuhan dan khatibnya memutuskan dengan Al-Kiiab.

Ibnu Jarir telah meriwayatkan melalui jalur Sufyan Ats-Tsauri, dari As-Suddi, dan dari jalur Asy-‘as, keduanya dari Amir Asy-Sya’bi yang telah menceritakan bahwa seorang lelaki dari Murad datang kepada Abu Musa yang saat itu berada di Kufah dalam masa pemerintahan Khalifah Usman sesudah shalat fardu. Lalu lelaki itu berkata, “Wahai Abu Musa, ini adalah kedudukan orang yang meminta perlindungan kepadamu, aku adalah Fulan bin Fulan Al-Muradi, dan sesungguhnya dahulu aku memerangi Allah dan Rasul-Nya serta berjalan di muka bumi dengan menimbulkan kerusakan.

Dan sesungguhnya aku telah bertobat sebelum kalian sempat menangkapku.” Maka Abu Musa menjawab, “Sesungguhnya orang ini adalah Fulan bin Fulan, dan sesungguhnya dahulu ia memerangi Allah dan Rasul-Nya serta berjalan di muka bumi dengan menimbulkan kerusakan. Dan sesungguhnya dia sekarang telah bertobat sebelum kita sempat menangkapnya. Karena itu, barang siapa yang bersua dengannya, janganlah ia menghalang-halanginya kecuali dengan baik.

Jika dia benar-benar bertobat, maka jalan yang dia tempuh adalah benar; dan jika dia dusta, niscaya dosa-dosanya akan menjerat dirinya sendiri.” Kemudian lelaki itu bermukim selama masa yang dikehendaki oleh Allah, tetapi setelah itu ia memberontak, maka Allah menjeratnya karena dosa-dosanya, akhirnya ia terbunuh. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ali, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim yang telah mengatakan bahwa Al-Al-Laits mengatakan, “Demikian pula telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Ishaq Al-Madani yang menjadi amir di kalangan kami, bahwa Ali Al-Asadi melakukan pemberontakan dan membegal (merampok) di jalanan serta membunuh dan merampok harta, lalu ia dicari oleh para imam dan kalangan awam.

tetapi ia bertahan dan mereka tidak mampu menangkapnya hingga dia datang sendiri seraya bertobat.” Demikian itu terjadi ketika ia mendengar seorang lelaki membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Az-Zumar: 53) Lalu ia berhenti untuk mendengarkannya secara baik-baik, dan berkata, “Wahai hamba Allah, ulangilah bacaannya.” Maka lelaki yang membaca Al-Qur’an itu mengulangi lagi bacaannya untuk dia.

Setelah itu Al-Asadi menyarungkan pedangnya, dan datang ke Madinah dalam keadaan telah bertobat di waktu sahur. Lalu ia mandi terlebih dahulu dan datang ke masjid Rasul untuk melakukan shalat Subuh. Setelah shalat ia duduk di dekat Abu Hurairah yang dikelilingi oleh murid-muridnya. Setelah pagi agak cerah, orang-orang mengenalnya, lalu mereka bangkit hendak menangkapnya, tetapi ia berkata, ‘Tiada jalan bagi kalian untuk menghukumku, karena aku datang dalam keadaan telah bertobat sebelum kalian sempat menangkapku.” Maka Abu Hurairah berkata, “Dia benar.” Lalu Abu Hurairah menarik tangannya hingga sampai di tempat Marwan ibnul Hakam yang saat itu adalah Amir kota Madinah di masa pemerintahan Mu’awiyah.

Kemudian Abu Hurairah berkata, “Orang ini datang dalam keadaan telah bertobat, tiada jalan bagi kalian untuk menghukumnya, dan tidak boleh dibunuh (dihukum mati).” Berkat penjelasan dari Abu Hurairah itu, ia dibebaskan. Musa ibnu Ishaq Al-Madani melanjutkan kisahnya, bahwa Ali Al-Asadi berangkat ke medan jihad di jalan Allah di laut setelah bertobat, lalu ia bersua dengan pasukan Romawi, maka ia mendekatkan kapalnya ke salah satu kapal milik mereka.

Kemudian ia maju sendirian ke dalam kapal pasukan Romawi, ia mengamuk mengobrak-abriknya hingga mereka menghindar darinya ke sisi yang lain. Akibatnya kapal menjadi miring sehingga tenggelam dan mati semuanya bersama dengan dia.”

Sumber : tafsir.learn-quran.co

Ayo bagikan sebagai sedekah…


Yuk bagikan infonya...

About Auther:

Info Biografi

BUKU TES TNI POLRI AKMIL AKPOL 2024
Hello. Add your message here.