IHYA’UL MAWAT, FADHLUL MA’I, IQTHA’ DAN HIMA

Yuk bagikan infonya...

Ilustrasi Kebun / intrik.id

A. Ihya’ul Mawat

  1. Pengertian ihya’ul mawat

Ihya’ul mawat ialah seorang Muslim menempati tanah yang tidak ada pemiliknya seorang pun dan memakmurkannya dengan menanaminya dengan pohon dan tanaman atau mendirikan sebuah bangunan di atasnya atau menggali sebuah sumur di dalamnya, lalu tanah itu dikhususkan baginya dan menjadi miliknya.

  1. Hukum ihya’ul mawat

Ihya’ul mawat hukumnya boleh, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Barangsiapa yang menghidupkan (menggarap) tanah yang mati (tidak bertuan), maka tanah itu menjadi miliknya.”

[Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 14226 dan at-Tirmidzi, no. 1379. Hadits ini termasuk hadits shahih]

  1. Beberapa ketentuan-ketentuan hukum mengenai ihya’ul mawat

a). Kepemilikan tanah yang tidak bertuan tidak dengan serta merta menjadi milik orang yang menggarapnya; kecuali jika memenuhi dua persyaratan, yaitu:

Pertama, bahwa orang tersebut benar-benar menggarapnya dengan serius; yaitu dengan menanami pepohonan dan tanaman di atasnya atau mendirikan bangunan atau menggali sumur di tempat yang diperkirakan banyak mengandung airnya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan ihya‘ul mawat itu tidak cukup hanya dengan menanami tanah itu dengan tanaman dan pohon; atau meletakkan tanda; atau menghalanginya dengan duri dan yang lainnya. Hanya saja dengan adanya tanda-tanda tersebut telah menempatkannya sebagai orang yang lebih berhak atas tanah tersebut daripada orang lain.

Kedua, tanah itu bukan dikhususkan bagi seseorang atau bukan milik siapa pun. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Barangsiapa yang memakmurkan tanah yang bukan milik siapa pun, maka ia lebih berhak atas tanah tersebut.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 2335]

b). Jika tanah itu berdekatan dengan suatu perkampungan atau merupakan bagian dari wilayahnya, maka seseorang tidak diperbolehkan menggarapnya, kecuali atas izin penguasa daerah tersebut, karena hal itu mungkin terkait dengan kepentingan umum kaum Muslimin, sehingga dengan memiliki dan menggarapnya akan mendatangkan kesulitan bagi mereka.

c). Barang tambang yang ada di tanah yang tidak bertuan tidak dapat dimiliki oleh penggarapnya karena menggarapnya; baik barang tambang dimaksud itu berupa garam, minyak atau barang tambang yang lainnya, karena hal itu berkaitan dengan kepentingan umum kaum Muslimin. Hal itu berdasarkan keterangan di dalam sebuah riwayat, bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tambang garam yang terdapat di tanah yang tidak bertuan kepada penggarapnya, kemudian seorang sahabat mengusulkan supaya pemberian itu dikaji ulang, dan akhirnya Rasulullah SAW menarik kembali pemberian tambang garam itu dari penerimanya. [Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 3064 dan at-Tirmidzi, no. 1380 dan beliau menghasankannya]

d). Jika seseorang mendapatkan air yang berlimpah pada tanah mati (tidak bertuan) yang digarapnya, maka ia lebih berhak atas air itu daripada orang yang selainnya, sehingga ia boleh mengambilnya paling dahulu menurut kebutuhannya sebelum siapa pun. Sedang selebihnya diperuntukkan bagi kaum Muslimin, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Manusia bersekutu dalam tiga perkara: air, rumput dan api.”

[Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 22573 dan Abu Dawud, no. 3477, dan al-Hafizh menshahihkan sanadnya]

[Lafazh “manusia” tidak terdapat dalam riwayat Ahmad dan Abu Dawud, yang ada adalah dengan lafazh “kaum Muslimin”, adapun lafazh “manusia” adalah riwayat yang syadz. Lihat al-Irwa’, 6/ 8. Ed.T.]

Catatan:

1). Adapun batas daerah terlarang kepemilikan tanah dari sumur yang terdapat di tanah mati ialah jika sumur tersebut telah ada sejak lama sebelum digarap sementara penggarapnya hanya memperbarui penggaliannya, maka batas daerah terlarangnya adalah 50 hasta darinya, sedang jika sumur itu digali oleh penggarapnya dengan penggalian yang baru, maka batas daerah terlarangnya adalah 25 hasta darinya, di mana pemilik sumur berhak memiliki tanah yang ada di sekitar sumurnya dengan jarak tersebut, karena sebagian salaf pun telah melakukan hal tersebut, dan juga berdasarkan keterangan dalam sebuah riwayat:

“Batas daerah terlarang dari sumur (yang terdapat di tanah mati) adalah sepanjang tali timbanya.”

[Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang dhaif]

2). Batas daerah terlarang kepemilikan tanah dari pohon atau pohon kurma yang terdapat di tanah mati ialah sepanjang dahannya atau pelepahnya. Barangsiapa yang memiliki pohon di atas tanah mati, maka ia berhak atas tanah yang terdapat di sekitarnya sepanjang dahannya atau pelepahnya, berdasarkan sabda Nabi SAW,

“Batas daerah terlarang dari pohon kurma adalah sepanjang pelepahnya.”

[Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 2489 dengan sanad dhaif]

3). Batas kepemilikan tanah dari rumah yang dibangun di atas tanah mati adalah seluas tanah yang ada di sekitarnya tempat untuk pembuangan sampah atau pemberhentian unta atau parkir mobil. Seseorang yang membangun rumah di tanah mati, maka ia berhak atas tanah yang ada di sekitarnya menurut adat kebiasaan setempat.

***

B. Fadhlul Ma’i

  1. Pengertian fadhlul ma’i

Adapun yang dimaksud dengan fadhlul ma’i ialah seorang Muslim memiliki air sumur atau air kali yang melebihi batas kebutuhannya, baik untuk minumnya atau menyiram tanaman atau pepohonannya.

  1. Hukum fadhlul ma’i

Jika seorang Muslim memiliki kelebihan air dari ukuran kebutuhannya, maka ia wajib memberikannya kepada orang yang membutuhkannya dari kaum Muslimin tanpa dipungut bayaran. Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Kelebihan air tidak boleh dijual; sehingga (seakan-akan) rumput dijual dengannya”

[Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1566]

Kemudian sabda Rasulullah SAW,

“Kelebihan air tidak boleh ditahan; sehingga karenanya (seakan-akan) rumput ditahan (tidak boleh dimakan hewan ternak).” [Muttafaq ‘alaih; al-Bukhari, no. 2353; Muslim, no. 1566]

[Dalam redaksi yang lain dikatakan, “Janganlah kamu menahan kelebihan air, sehingga (seakan-akan) dia menahan rumput dengannya.” Karena di masa Rasulullah SAW para penggembala melarang penggembala lainnya untuk membeli minum hewan ternak mereka dari sumur/mata air yang ditemukan oleh penggembala pertama (yang konsekuensinya akan menyebabkan hewan gembalaan lainnya kehausan setelah memakan rumput-rumputan) agar mereka menjauh dari tempat tersebut (untuk mencari sumber air lain dan rerumputan) sehingga (rumput) di daerah tersebut hanya dimakan oleh hewan ternak penggembala yang pertama (oleh karena itu hal tersebut dilarang oleh Rasulullah SAW]

  1. Beberapa ketentuan hukum tentang fadhlul ma’i

a). Pemberian kelebihan air tidak ditentukan waktunya; kecuali setelah tercukupinya kebutuhan.

b). Orang yang diberi adalah orang yang membutuhkannya

c). Pemberian itu tidak boleh memudharatkan pemberinya.

***

C. Iqtha’

  1. Pengertian iqtha’

Adapun yang dimaksud dengan Iqtha’ adalah penetapan seorang hakim atau seorang imam (pemimpin) atas suatu lahan dari lahan umum yang tidak ada pemiliknya kepada seseorang yang hendak memanfaatkannya dengan menanami berbagai macam tanaman atau menjadikannya sebagai tempat menggembala yang rumputnya dipelihara atau mendirikan sebuah bangunan dengan status hak guna pakai atau hak milik.

  1. Hukum iqtha’

Hukum memberikan sesuatu lahan dari tanah mati kepada seseorang yang akan memakmurkannya yang dilakukan seorang imam adalah boleh, tetapi tidak bagi yang selainnya. Karena pada masa Rasulullah SAW pemberian suatu lahan dari tanah mati dilakukan langsung oleh beliau sendiri, kemudian sepeninggal beliau dilakukan oleh Abu Bakar RA, selanjutnya dilakukan oleh Umar RA, setelah itu dilakukan oleh khalifah atau pemimpin umat yang berikutnya.

[Sebagaimana diterangkan oleh Asma’ binti Abu Bakar, istri az-Zubair dalam hadits Muttafaq ’alaih al-Bukhari, no, 3151; Muslim, no. 2182, “Aku memikul bibit kurma di atas kepala dari tanah yang diberikan oleh Rasulullah SAW kepada az-Zubair yang berjarak, 2/3 farsakh”]

  1. Beberapa ketentuan hukum tentang iqtha’

a). Pemberian lahan hanya boleh dilakukan oleh seorang imam dan tidak boleh dilakukan oleh selainnya, karena tidak diperbolehkan bagi seseorang yang bukan imam untuk mengelola aset milik umum.

b). Seorang imam tidak boleh memberikan suatu lahan kepada seseorang melebihi batas kemampuannya dalam mengolah atau memakmurkannya.

c). Jika penerimanya tidak mampu memakmurkannya, maka seorang imam berhak menarik kembali lahan tersebut dengan tujuan memelihara kemaslahatan umum.

d). Seorang imam berhak memberikan suatu lahan kepada seseorang yang dikehendakinya untuk sarana umum, misalnya: Tempat berjualan di pasar (lapak), halaman-halaman umum dan jalan raya yang luas selama hal itu tidak menimbulkan mudarat bagi kepentingan manusia secara umum. Dalam hal ini penerima lahan tersebut tidak boleh memilikinya, tetapi ia lebih berhak memanfaatkannya daripada orang selainnya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Barangsiapa yang lebih dahulu atas sesuatu yang tidak dicapai oleh seorang Muslim pun, maka ia lebih berhak atasnya”

[Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 3071. Dishahihkan oleh adh-Dhiya` dalam al-Mukhtarah, 4/228]

e). Seseorang yang diberi tempat duduk oleh seorang imam atau ia lebih dahulu rnendudukinya tanpa dipersilahkan lebih dahulu oleh seorang imam, maka ia tidak boleh memudharatkan siapa pun dengan menghalangi cahaya yang memancar kepadanya atau menghalangi pandangan para pembeli untuk melihat barang dagangan yang diperlihatkannya untuk dijual, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh membalas (bahaya yang ditimbulkan orang lain) dengan membahayakan(nya).” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 2340]

Catatan:

Jika air suatu lembah mengalir, maka kaum Muslimin boleh memanfaatkannya; yang dimulai dari orang Islam yang berada di atas lembah tersebut, kemudian orang Islam yang berada di atasnya lagi dan seterusnya hingga habis lahan-lahan yang hendak disiram atau air itu habis.

Lahan-lahan yang sama dekatnya dengan sumber air harus dibagi di antara mereka sesuai dengan besar dan kecilnya lahan mereka, jika mereka saling berebutan, hendaklah dilakukan pengundian di antara mereka. Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah [Hadits, no. 2483] dari Ubadah bin ash-Shamit bahwa Rasulullah SAW telah memutuskan dalam mengairi kebun kurma yang airnya berasal dari sumber air, bahwa kebun kurma yang ada di atas mendapatkan air sebelum kebun kurma yang ada di bawah; dan airnya dibiarkan menggenang hingga mencapai dua mata kaki, kemudian air dialirkan ke kebun kurma yang ada di bawahnya. Demikian seterusnya hingga air meliputi seluruh kebun kurma yang ada, atau hingga air itu habis. Juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Hai Zubair, siramlah (lahanmu), kemudian setelah itu alirkanlah air ke (lahan) tetanggamu.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4585]

***

D. Hima

  1. Pengertian hima (lahan Suaka Marga Satwa)

Hima ialah sebuah lahan mati yang dilindungi dari para penggembala yang akan menggembalakan binatang ternaknya di dalamnya supaya rumputnya banyak, kemudian digembalakan di dalamnya binatang ternak tertentu.

  1. Hukum hima

Siapa pun tidak boleh melindungi lahan umum milik kaum Muslimin meski hanya sehasta apalagi lebih banyak dari itu; kecuali seorang imam, jika hal itu untuk kemaslahatan kaum Muslimin. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah SAW,

“Tidak ada hima (perlindungan lahan) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 2370]

Dari hadits tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa tidak diperbolehkan bagi siapa pun melindungi suatu lahan milik umum; kecuali Allah dan RasulNya atau khalifah, yaitu seorang imam, akan tetapi seorang imam tidak boleh melakukannya dengan tujuan di luar kemaslahatan umum. Karena sesuatu yang jelas-jelas diperuntukkan semata-mata bagi Allah dan RasulNya, maka selamanya akan mengandung kemaslahatan umum, misalnya: Seperlima dari harta ghanimah dan fa’i, seperlima dari zakat rikaz (harta peninggalan masa lalu yang terpendam) dan lain-lain.

Karena Rasulullah SAW juga pernah melindungi sebuah sumur untuk memberi minum unta-unta atau kuda-kuda perang. [Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 2370] Kemudian Umar RA pun pernah melindungi sebidang tanah, dan saat beliau ditanya tentang kebijakannya itu, maka beliau pun menjawab, “Harta itu adalah harta Allah dan hamba-hamba itu adalah hamba-hamba Allah. Demi Allah! Demi Allah, jika aku tidak menggunakannya di jalan Allah, niscaya aku tidak akan pernah melindungi sejengkal tanah pun.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan lafazh yang berbeda]

  1. Beberapa ketentuan hukum tentang hima

a). Tidak diperbolehkan melakukan hima kecuali khalifah atau imam kaum Muslimin, berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Tidak ada hima (perlindungan lahan) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nyu.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 2370]

b). Tidak diperbolehkan melakukan hima kecuali terhadap tanah mati yang tidak ada pemiliknya

c). Seorang khalifah tidak diperbolehkan melakukan hima untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi harus dimaksudkan untuk kemaslahatan umum.

d). Dianalogikan kepada lahan mati ialah sejumlah lahan yang dilindungi negara, seperti: Perlindungan atas sejumlah gunung dengan tujuan melestarikan sejumlah pepohonan (hutan lindung). Dalam hal tersebut, maka harus dilihat apakah hal itu ada kaitannya dengan kemaslahatan kaum Muslimin atau tidak. Jika ada kaitannya dengan kemaslahatan kaum Muslimin (umum), maka hal tersebut harus disetujui. Sedangkan jika hal tersebut menimbulkan mudarat bagi kaum Muslimin dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan kemaslahatan mereka, maka tidak boleh disetujui, karena tidak ada hima (perlindungan lahan) kecuali bagi Allah dan RasulNya.

Oleh : Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jaza’iri

BACA JUGA  


Yuk bagikan infonya...

About Auther:

Info Biografi

BUKU TES TNI POLRI AKMIL AKPOL 2024
Hello. Add your message here.