Tafsir Surat An Nisa Ayat 7, 8, 9, 10

Yuk bagikan infonya...

AN NISA | DAFTAR SURAT | IBNU KATSIR 

An-Nisa’: 7

لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَ نَصِيبًا مَّفۡرُوضًا

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.

An-Nisa’: 8

وَإِذَا حَضَرَ ٱلۡقِسۡمَةَ أُوْلُواْ ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينُ فَٱرۡزُقُوهُم مِّنۡهُ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلًا مَّعۡرُوفًا

Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.

An-Nisa’: 9

وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلًا سَدِيدًا

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

An-Nisa’: 10

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا يَأۡكُلُونَ فِى بُطُونِهِمۡ نَارًا وَسَيَصۡلَوۡنَ سَعِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).

Tafsir Ibnu Katsir

An-Nisa’: 7-10

Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wania ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim, dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadamya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah.

yang mereka khawatir ter-adap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Sesurgguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Sa’id ibnu Jubair dan Qatadah mengatakan bahwa dahulu orang-orang musyrik memberikan hartanya kepada anak-anaknya yang besar-besar saja, dan mereka tidak mewariskannya kepada wanita dan anak-anak.

Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya. (An-Nisa: 7), hingga akhir ayat. Yaitu semuanya sama dalam hukum Allah subhanahu wa ta’ala Mereka mempunyai hak waris, sekalipun terdapat perbedaan menurut bagian-bagian yang ditentukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala bagi masing-masing dari mereka sesuai dengan kedudukan kekerabatan mereka dengan si mayat, atau hubungan suami istri, atau hubungan al-wala. Karena sesungguhnya hubungan wala itu merupakan daging yang kedudukannya sama dengan daging yang senasab. Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari jalur Ibnu Hirasah. dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil. dari Jabir yang menceritakan bahwa Ummu Kahhah datang nienghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai dua orang anak perempuan yang bapaknya telah mati, sedangkan keduanya tidak memperoleh warisan apa pun (dari ayahnya).” Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabat. (An-Nisa: 7), hingga akhir ayat.

Hadits ini akan diterangkan nanti dalam pembahasan kedua ayat tentang pembagian warisan. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat. (An-Nisa: 8) Menurut suatu pendapat makna yang dimaksud ialah apabila di saat pembagian warisan dihadiri oleh kaum kerabat yang bukan dari kalangan ahli waris. anak yatim dan orang miskin. (An-Nisa: 8) Maka hendaklah mereka diberi bagian sekadarnya sebagai persen. Sesungguhnya hal tersebut pada permulaan Islam diwajibkan.

Menurut pendapat yang lain adalah sunat. Para ulama berselisih pendapat, apakah hal ini dimansukh ataukah tidak; ada dua pendapat mengenainya. Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Abdullah Al-Asyja’i, dari Sufyan, dari Asy-Syaibani, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini. Dikatakan bahwa ayat ini muhkamah dan tidak dimansukh.

Pendapat Imam Al-Bukhari ini diikuti oleh Sa’id yang meriwayatkannya juga dari Ibnu Abbas. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnul Awwam, dari Al-Hajjaj, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini masih tetap berlaku dan dipakai. Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan ayat ini, bahwa pemberian tersebut hukumnya wajib atas ahli waris si mayat dalam jumlah yang disetujui oleh mereka dan mereka rela memberikannya.

Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Abdur Rahman ibnu Abu Bakar, Abul Aliyah, Asy-Sya’bi, dan Al-Hasan. Ibnu Sirin, Sa’id ibnu Jubair, Makhul, Ibrahim An-Nakha’i. ‘Atha’ ibnu Abu Rabah, Az-Zuhri, dan Yahya ibnu Ya’mur mengatakan bahwa pemberian tersebut hukumnya wajib. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Asyaj. dari Ismail ibnu Ulayyah, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Ibnu Sirin mengatakan bahwa Ubaidah mengurus suatu wasiat; ia memerintahkan agar didatangkan seekor kambing, lalu kambing itu disembelih, kemudian ia memberi makan orang-orang yang disebutkan dalam hadits ini, lalu berkata, “Seandainya tidak ada ayat ini, niscaya biayanya diambil dari hartaku.” Imam Malik dalam suatu riwayat yang ia ketengahkan di kitab tafsirbagian dari satu juzyang terhimpun dalam muwatha mengatakan bahwa urwah pernah memberi orang-orang dari harta Mus’ab ketika ia membagikan harta (yang ditinggalkan)nya.

Az-Zuhri mengatakan bahwa ayat ini muhkam. Telah diriwayatkan dari Abdul Karim, dari Mujahid yang mengatakan bahwa pemberian tersebut suatu hak yang wajib dalam batas yang disetujui oleh orang-orang yang bersangkutan. Alasan orang-orang yang berpendapat bahwa pemberian bagian tersebut merupakan perintah wasiat yang ditujukan kepada mereka yang bersangkutan. Abdur Razzaq mengatakan. telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Asma binti Abdur Rahman ibnu Abu Bakar As-Siddiq dan Al-Qasim ibnu Muhammad; keduanya telah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Bakar pernah membagikan harta warisan ayahnya (yaitu Abdur Rahman) yang saat itu Siti Aisyah masih hidup.

Selanjutnya Abdullah tidak membiarkan seorang miskin pun, tidak pula seorang kerabat, melainkan diberinya bagian dari harta peninggalan ayahnya. Lalu keduanya membacakan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat. (An-Nisa: 8) Al-Qasim mengatakan bahwa lalu aku ceritakan hal tersebut kepada Ibnu Abbas, maka ia berkata, “Kurang tepat, sebenarnya dia tidak usah melakukan hal itu. Sesungguhnya hal itu hanyalah berdasarkan wasiat, dan ayat ini hanyalah berkenaan dengan wasiat yang dikehendaki oleh si mayat buat mereka.” Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

Alasan orang yang berpendapat bahwa ayat ini dimansukh secara keseluruhan. Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir. (An-Nisa: 8), hingga akhir ayat. Bahwa ayat ini dimansukh. Ismail ibnu Muslim Al-Makki meriwayatkan dari Qatadah, dari Ikrimah. dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan ayat berikut. yaitu firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat. (An-Nisa: 8) Bahwa ayat ini dimansukh oleh ayat sesudahnya, yaitu oleh firman-Nya: Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian. (An-Nisa: 11) Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ini, yaitu firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat. (An-Nisa: 8) Hal ini berlaku sebelum turunnya ayat tentang bagian-bagian tertentu dalam harta pusaka.

Sesudah itu Allah menurunkan ayat bagian-bagian tertentu dan memberikan kepada ahli waris haknya. kemudian sedekah diadakan menurut apa yang disebutkan oleh si mayat (sewaktu masih hidupnya). Semua itu diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah. Telah menceritakan kepada kami Hajaj. dari Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ati. Dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir anak yatim dan orang miskin. (An-Nisa: 8) Ayat ini dimansukh oleh ayat tentang pembagian harta pusaka.

Maka Allah menjadikan bagi setiap ahli waris bagiannya yang tertentu dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kaum kerabatnya, ada yang men-dapat sedikit dan ada yang mendapat banyak. Telah menceritakan kepada kami Usaid ibnu ‘Ashim, telah menceritakan kepada kami Sa’id ibnu Amir, dari Hammam, dari Qatadah. dari Sa’id ibnul Musayyab; ia pernah mengatakan bahwa ayat ini telah dimansukh.

Sebelum ada ayat yang nicnentukan bagian-bagian tertentu bagi ahli waris. harta peninggaian seorang Lelaki sebagian darinya diberikan kepada anak yatim, orang fakir miskin, dan kaum kerabat apabila mereka menghadiri pembagiannya. Selanjutnya dimansukh oleh ayat yang menentukan bagian-bagian tertentu bagi ahli waris, maka Allah menetapkan bagi tiap-tiap ahli waris liak yang didapatnya. Wasiat diambil dari sebagian harta peninggalan si mayat yang ia wasiatkan buat kaum kerabat yang dikehendakinya.

Malik meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Sa’id ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa ayat ini telah dimansukh oleh ayat mawaris dan ayat mengenai wasiat. Hal yang sama diriwayatkan dari Ikrimah, Abusy Sya’sa, Al-Qasim ibnu Muhammad, Abu Saleh dan Abu Malik, juga oleh Zaid ibnu Aslam, Adh-Dhahhak, ‘Atha’ Al-Khurrasani, Muqatil ibnu Hayyan, dan Rabi’ah ibnu Abu Abdur Rahman.

Disebutkan bahwa mereka mengatakan ayat ini telah dimansukh. Hal ini merupakan mazhab jumhur ulama fiqih, Imam yang empat dan para pengikutnya masing-masing. Sehubungan dengan masalah ini Ibnu Jarir memilih suatu pendapat yang aneh sekali. Kesimpulannya menyatakan bahwa makna ayat menurutnya ialah: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir. (An-Nisa: 8) Yakni apabila pembagian harta wasiat itu dihadiri oleh kaum kerabat mayat: maka berilah mereka dari harta itu, dan ucapkanlah oleh kalian. (An-Nisa: 8) Kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin bila mereka menghadirinya.

perkataan yang benar. (An-Nisa: 8) Demikianlah makna yang disimpulkan oleh Ibnu Jarir sesudah pembicaraan yang bertele-tele dan berulang-ulang. Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir. (An-Nisa: 8) Yaitu pembagian warisan. Demikianlah yang dikatakan bukan hanya seorang ulama, dan makna inilah yang dinilai benar, bukan seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir tadi. Makna yang dimaksud ialah apabila dalam pembagian tersebut hadir orang-orang fakir dari kerabat si mayat, yaitu mereka yang tidak mempunyai hak waris, serta hadir pula orang-orane miskin, anak-anak yatim, sedangkan harta peninggalan yang ditinggalkan melimpah jumlahnya.

Maka akan timbul keinginan untuk mendapatkan sesuatu dari harta tersebut. Bila mereka melihat yang ini menerima dan yang itu menerima warisan, sedangkan mereka tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan seperti apa yang mereka terima. Maka Allah subhanahu wa ta’ala Yang Maha Pengasih dan Penyayang memerintahkan agar diberikan kepada mereka. Suatu pemberian dari harta warisan tersebut dalam jumlah yang sekadamya, sebagai sedekah buat mereka, dan sebagai kebaikan serta silaturahmi kepada mereka, sekaligus untuk menghapuskan ketidakberdayaan mereka.

Seperti pengertian yang terkandung di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya kepada fakir miskin). (Al-An’am: 141) Allah subhanahu wa ta’ala mencela orang-orang yang mengangkut harta dengan sembunyi-sembunyi agar tidak kelihatan oleh orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhajat kepadanya. Seperti yang diberitakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala tentang para pemilik kebun. yaitu melalui firman-Nya: ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari. (Al-Qalam: 17) Makna yang dimaksud ialah di malam hari. Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Maka pergilah mereka seraya saling berbisik-bisik.Pada hari ini janganlah ada seorang miskin masuk ke dalam kebun kalian.” (Al-Qalam: 23-24) Maka sebagai akibatnya mereka dibinasakan, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya yang lain, yaitu: Allah telah. rnenimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu. (Muhammad: 10) Barang siapa yang ingkar terhadap hak Allah, niscaya Allah akan menghukumnya dengan rnenimpakan malapetaka terhadap barang milik yang paling disayanginya.

Karena itulah maka disebutkan di dalam sebuah hadits: Tidak sekali-kali harta zakat mencampuri suatu harta, melainkan ia pasti merusaknya. Dengan kata lain, tidak menunaikan zakat merupakan penyebab bagi ludesnya harta tersebut secara keseluruhan. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka. (An-Nisa: 9), hingga akhir ayat. Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang sedang rnenjelang ajalnya, lalu kedengaran oleh seorang lelaki bahwa dia mengucapkan suatu wasiat yang menimbulkan mudarat terhadap ahli warisnya.

Maka Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada orang yang mendengar wasiat tersebut. hendaknya ia bertakwa kepada Allah, membimbing si sakit serta meluruskannya ke jalan yang benar. Hendaknya si sakit memandang kepada keadaan para ahli warisnya. sebagaimana diwajibkan baginya berbuat sesuatu untuk ahli warisnya, bila dikhawatirkan mereka akan terlunta-lunta. Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Di dalam sebuah hadits dalam kitab Shahihain disebutkan seperti berikut: .

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam rumah Sad ibnu Abu Waqqas dalam rangka menjenguknya, maka Sa’d bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta, sedangkan tidak ada orang yang mewarisiku kecuali hanya seorang anak perempuan. Maka bolehkah aku menyedekahkan dua pertiga dari hartaku?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak boleh.” Sa’d bertanya.Bagaimana kalau dengan separonya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jangan.” Sa’d bertanya, “Bagaimana kalau sepertiganya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sepertiganya sudah cukup banyak.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya kamu bila meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada kamu membiarkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang. Di dalam kitab shahih dari Ibnu Abbas mengatakan, “Seandainya orang-orang menurunkan dari sepertiga ke seperempat, maka sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sepertiganya sudah cukup banyak’.” Para ahli fiqih mengatakan, “Jika ahli waris si mayat adalah orang-orang yang berkecukupan, maka si mayat disunatkan berwasiat sebanyak sepertiga dari hartanya secara penuh. Jika ahli warisnya adalah orang-orang yang miskin.

maka wasiatnya kurang dari sepertiga.” Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud oleh ayat ialah takutlah kalian kepada Allah dalam memegang harta anak-anak yatim. Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas keperluan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa (membelanjakannya). (An-Nisa: 6) Demikianlah menurut yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Al-Aufi dari Ibnu Abbas. Hal ini merupakan pendapat yang baik lagi mengukuhkan makna ancaman yang terdapat dalam ayat berikutnya sehubungan dengan memakan harta anak-anak yatim secara aniaya.

Dengan kata lain, sebagaimana kamu menginginkan bila keturunanmu sesudahmu diperlakukan dengan baik, maka perlakukanlah keturunan orang lain dengan perlakuan yang baik bila kamu memelihara mereka. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala memberitahukan kepada mereka bahwa orang yang memakan harta anak-anak yatim secara aniaya, sesungguhnya ia memakan api sepenuh perutnya. Karena itulah maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (An-Nisa: 10) Bila mereka makan harta anak yatim tanpa alasan yang dibenarkan. sesungguhnya yang mereka makan itu adalah api yang menyala-nyala di dalam perut mereka di hari kiamat kelak.

Di dalam kitab Shahihain melalui hadits Sulaiman ibnu Bilal.dari Tsaur ibnu Zaid, dari Salim Abul Gais, dari Abu Hurairah, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Jauhilah oleh kalian tujuh macam dosa yang membinasakan.” Ditanyakan, “Apa sajakah dosa-dosa itu, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mempersekutukan Allah. Sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, menuduh berzina wanita-wanita mukmin yang memelihara kehormatannya yang sedang lalai.” Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ubaidah, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdus Samad Al-Ama, telah menceritakan kepada kami Abu Harun Al-Abdi, dari Abu Said Al-Khudri yang mengatakan bahwa kami pernah bertanya.Wahai Rasulullah, apa sajakah yang telah engkau lihat sewaktu engkau melakukan isra?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku dibawa ke arah sekumpulan makhluk Allah yang jumlahnya banyak, semuanya terdiri atas kaum laki-laki.

Masing-masing dari mereka memegang sebuah pisau besar seperti yang digunakan untuk menyembelih unta. Mereka ditugaskan untuk menyiksa sejumlah orang yang terdiri atas kaum laki-laki. Mulut seseorang dari mereka dibedah, lalu didatangkan sebuah batu besar dari neraka, kemudian dimasukkan ke dalam mulut seseorang di antara mereka hingga batu besar itu keluar dari bagian bawahnya, sedangkan mereka menjerit dan menggeram (karena sakit yang sangat).

Lalu aku bertanya. ‘Wahai Jibril. siapakah mereka? Jibril menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara aniaya, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya, dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)’.” As-Suddi mengatakan bahwa di hari kiamat kelak pemakan harta anak yatim dibangkitkan, sedangkan dari mulut dan telinganya, kedua lubang hidung dan kedua matanya keluar api; setiap orang yang melihatnya mengetahui bahwa dia adalah pemakan harta anak yatim.

Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Makram, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Ziad ibnul Munzir, dari Nafi’ ibnul Haris, dari Abu Barzah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Dibangkitkan di hari kiamat suatu kaum dari kuburan mereka, sedangkan dari mulut mereka keluar api yang menyala-nyala. Ketika ditanyakan, “Wahai Rasulullah, siapakah mereka?” Beliau bersabda, “Tidakkah kamu membaca firman-Nya yang mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim’ (An-Nisa: 101.

hingga akhir ayat.” Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari ibnu Makram. Ibnu Hibban mengetengahkannya di dalam kitab shahih-nya, dari Ahmad ibnu Ali ibnul Musanna, dari Uqbah ibnu Makram. Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja’far, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Isam, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al-Abdi telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Jafar Az-Zuhri Muhammad, dari Al-Maqbari, dari abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: Aku enggan terhadap harta dua orang yang lemah, yaitu wanita dan anak yatim.

Makna yang dimaksud ialah ‘aku berwasiat kepada kalian agar menjauhi harta kedua orang tersebut’. Telah diketengahkan di dalam surat Al-Baqarah sebuah atsar melalui jalur ‘Atha’ ibnus Saib, dari Sa’id ibnu Jubair. dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya. (An-Nisa: 10), hingga akhir ayat. Maka berangkatlah orang-orang yang di dalam pemeliharaannya terdapat anak yatim, lalu ia memisahkan makanannya dengan makanan anak yatimnya. begitu pula antara minumannya dengan minuman anak yatimnya.

sehingga akibatnya ada sesuatu dari makanan itu yang lebih tetapi makanan tersebut disimpan buat si anak yatim hingga si anak yatim memakannya atau makanan menjadi basi. Maka hal tersebut terasa amat berat bagi mereka, lalu mereka menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim, katakanlah mengurus urusan mereka secara patut adalah baik.” (Al-Baqarah: 220), hingga akhir ayat. Maka mereka kembali mencampurkan makanan dan minurnan mereka dengan makanan dan minurnan anak-anak yatimnya.”

Sumber : tafsir.learn-quran.co

Yuk bagikan sebagai sedekah…

Yuk bagikan infonya...

About Auther:

Info Biografi

Formasi CPNS untuk SMA Di 8 Instansi Pemerintah
Hello. Add your message here.